Unpaid Internship: Investasi Karier atau Eksploitasi?

Redaksi
Opini
17 Mar 2025
Thumbnail Artikel Unpaid Internship: Investasi Karier atau Eksploitasi?
Unpaid internship atau magang tanpa bayaran, terus menjadi perdebatan di kalangan mahasiswa dan fresh graduate. Jika ditelaah lebih dalam, unpaid internship merupakan program yang tidak adil dan cenderung merugikan peserta magang. Memang kerap kali dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk mendapatkan pengalaman, membangun koneksi, serta memahami dinamika industri. Program ini tetap menimbulkan pertanyaan, “apakah pantas seseorang bekerja tanpa mendapatkan kompensasi yang layak?” 

Secara ideal, program magang seharusnya menjadi wadah pembelajaran, bukan sekadar cara bagi perusahaan untuk memperoleh tenaga kerja gratis. Sayangnya, banyak perusahaan yang memanfaatkan magang sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja tanpa harus membayar mereka. Perusahaan sering kali beralasan bahwa mereka memberikan ilmu, pengalaman, dan akses ke dunia profesional sebagai bentuk kompensasi. Namun, hal ini tidak sebanding dengan kerja keras yang diberikan oleh peserta magang. Jika perusahaan memang benar-benar peduli terhadap pengembangan keterampilan peserta magang, mereka seharusnya memberikan kompensasi yang layak.

Bagi sebagian individu, unpaid internship memang bisa menjadi batu loncatan yang bernilai, terutama jika program tersebut dirancang dengan baik dan memberikan pengalaman substansial. Akan tetapi, tidak semua individu mampu mengikuti magang tanpa imbalan finansial.  Peluang ini lebih mudah diakses oleh mereka yang memiliki dukungan ekonomi, sementara banyak mahasiswa harus membiayai kehidupan sehari-hari. Akibatnya, unpaid internship justru menjadi beban yang semakin memperkuat kesenjangan sosial di dunia kerja. 

Selain itu, unpaid internship juga dapat membuka celah bagi eksploitasi bagi beberapa perusahaan dengan memanfaatkan peserta magang, sebagai tenaga kerja gratis yang dipekerjakan untuk melakukan tugas-tugas administratif tanpa memberikan pengalaman yang berarti. Jika tugas yang diberikan tidak memberikan manfaat pembelajaran maka unpaid internship lebih menyerupai eksploitasi tenaga kerja ketimbang investasi pengalaman.

Dari perspektif hukum, unpaid internship yang tidak memberikan imbalan sama sekali sebenarnya melanggar regulasi yang berlaku. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Bab II Pasal 22 Ayat (2) menyatakan bahwa peserta magang berhak memperoleh uang saku dan/atau uang transportasi, jaminan sosial tenaga kerja, serta sertifikat jika lulus di akhir program. Hal ini juga, ditegaskan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Bab IV Pasal 13 Ayat (1) mengatur bahwa peserta magang berhak:

a. memperoleh bimbingan dari pembimbing pemagangan atau instruktur;
b. memperoleh pemenuhan hak sesuai dengan perjanjian pemagangan;
c. memperoleh fasilitas keselamatan dan kesehatan kerja selama mengikuti pemagangan;
d. memperoleh uang saku;
e. diikutsertakan dalam program jaminan sosial; dan
f. memperoleh sertifikat pemagangan atau surat keterangan telah mengikuti pemagangan.

Sementara itu, Ayat (2) menyebutkan bahwa uang saku yang dimaksud meliputi biaya transportasi, uang makan, dan insentif peserta pemagangan.

Artinya, unpaid internship yang tidak memberikan imbalan sama sekali sebenarnya melanggar regulasi. Sayangnya, realitas di lapangan tidak selalu sejalan dengan aturan yang ada. Masih banyak perusahaan yang mengabaikan ketentuan ini dan tetap menjalankan magang tanpa memberikan hak peserta magang. Lemahnya pengawasan serta kurangnya kesadaran dari perusahaan membuat praktik ini terus berlanjut.

Lalu, “apakah unpaid internship masih layak untuk dijalani?” Jawabannya bergantung pada bagaimana program tersebut dirancang. Jika perusahaan benar-benar berkomitmen untuk memberikan pengalaman berharga, membimbing peserta dengan baik, serta memastikan bahwa mereka mendapatkan manfaat sebanding dengan kemampuannya maka masih ada nilai yang bisa diperoleh. Namun, jika magang tersebut hanya menjadi alat bagi perusahaan untuk mendapatkan tenaga kerja gratis tanpa kompensasi dan pembelajaran yang jelas, lebih baik mencari alternatif lain. Unpaid internship tidak hanya merugikan peserta magang secara finansial, tetapi juga membentuk budaya kerja yang tidak sehat. Dengan membiarkan praktik ini terus berlangsung, dunia kerja menciptakan standar bahwa pengalaman kerja lebih penting daripada kesejahteraan pekerja. Seharusnya, kerja keras dan kontribusi seseorang harus selalu dihargai dengan layak.

Sebagai calon tenaga kerja, mahasiswa atau fresh graduate perlu lebih kritis dalam memilih program magang. Jika perusahaan hanya ingin mendapatkan tenaga kerja gratis tanpa memberikan bimbingan dan pengembangan keterampilan yang nyata, lebih baik menolak kesempatan tersebut dan mencari alternatif lain. Di sisi lain, pemerintah dan institusi terkait juga harus lebih aktif dalam mengawasi program ini. Regulasi yang telah ada, seharusnya ditegakkan dengan lebih ketat agar tidak ada lagi peserta magang dieksploitasi oleh perusahaan. Dunia kerja yang ideal tidak hanya berbicara tentang “pengalaman”, tetapi juga tentang kesejahteraan dan keadilan bagi setiap individunya.

Pada akhirnya, pengalaman kerja memang penting, tetapi penghargaan terhadap usaha individu juga tak kalah krusial. Magang seharusnya menjadi jembatan menuju dunia profesional, bukan sekadar jebakan yang menguntungkan perusahaan tanpa memberikan keadilan bagi peserta magang. 


Penulis : Khoir Nurul Hisan
Desainer: Dhafa Ahmad Ghafari


Sumber:


Permenaker No. 6 Tahun 2020. (n.d.). Diakses dari https://peraturan.bpk.go.id/Details/145067/permenaker-no-6-tahun-2020

LPM Channel

Podcast NOL SKS