Selama ini Karawang dikenal luas sebagai daerah industri sekaligus lumbung padi nasional. Namun, di balik identitas tersebut, wilayah ini menyimpan kekayaan warisan budaya dan spiritual yang masih hidup hingga kini. Salah satu warisan tersebut adalah tradisi ziarah ke Makam Syekh Quro di Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang. Tradisi ini tidak hanya bernilai religius, tetapi juga menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Karawang yang memadukan sejarah penyebaran Islam di tanah Sunda dengan kearifan lokal turun temurun.
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah seorang ulama besar yang diyakini datang dari Champa (sekarang wilayah Vietnam Selatan) pada abad ke-15. Pada tahun 1418 M, beliau mendirikan Pondok Quro, pesantren tertua di wilayah Karawang yang menjadi salah satu pusat awal perkembangan Islam di Jawa Barat.
Pada masa itu, kehidupan sosial-budaya Karawang masih berada di bawah pengaruh Kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu-Buddha. Hingga akhirnya, kehadiran Syekh Quro membawa warna baru dalam kehidupan masyarakat karena menggabungkan ajaran Islam dengan pendekatan kultural yang halus. Beliau tidak hanya berperan dalam penyebaran agama, tetapi juga membangun tatanan sosial berbasis pendidikan dan moral.
Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Pulokalapa sekaligus pengelola makam, Amud, menyampaikan bahwa tradisi ziarah ke Makam Syekh Quro ini mulai intensif sejak sekitar tahun 1978 dan berkembang secara bertahap.
“Dulu hanya malam Jumat biasa, tapi sekitar tahun 1978 mulai banyak yang datang setiap malam Sabtu untuk tahlilan dan istighatsah. Sampai sekarang masih berlangsung,” ujar Amud saat diwawancarai secara langsung, Selasa (22/7/2025).
Awalnya, peziarah datang dari daerah sekitar Karawang. Namun, seiring waktu, pengunjung mulai berdatangan dari Indramayu, Subang, dan daerah Jawa Sunda lainnya. Setiap malam Sabtu, suasana di sekitar kompleks makam berubah. Jalan desa yang biasanya sepi menjadi ramai oleh peziarah yang berjalan kaki atau datang berombongan menggunakan kendaraan. Meskipun penerangan jalan masih terbatas, lampu-lampu minyak di awal tradisi kini telah berganti dengan beberapa lampu listrik yang menerangi jalan menuju makam.
Kegiatan ziarah ini dimulai dengan pembacaan tahlil, lalu istighatsah, dan diakhiri dengan doa bersama. Selain itu, terdapat kegiatan tahunan paling meriah dan ditunggu-tunggu oleh jamaah, yakni Haul Syekh Quro, yang digelar setiap Sabtu terakhir bulan Syaban menjelang Ramadhan atau hari-hari penting bagi masyarakat. Acara ini mencakup berbagai kegiatan budaya dan religius. Mulai dari arak-arakan, kirab hewan, pengajian akbar, pertunjukan wayang golek, hingga olahraga rakyat. Tradisi haul kini telah menjadi momen silaturahmi besar bagi masyarakat Karawang.

Suasana saat acara Haul, Jumat (25/7/2025).
Selain makam, di kompleks ini terdapat peninggalan bersejarah bernama Sumur Awisan. Kata awisan dalam bahasa Sunda berarti cadangan air. Menurut Amud, sumur ini dulunya digunakan oleh para santri Pondok Quro untuk bersuci. Hingga kini, sumur tersebut masih aktif digunakan dan dipercaya memiliki keberkahan. Keunikannya adalah beberapa titik sumur memiliki karakteristik rasa yang berbeda.
“Beberapa sumur ada yang berisi air tawar, tapi ada juga yang asin, itu justru dicari karena dipercaya berkhasiat, mereka sih beranggapannya seperti itu ya,” ujar Amud.
Masyarakat percaya bahwa air Sumur Awisan memiliki khasiat untuk pengobatan karena dianggap telah diberkahi oleh doa-doa yang terus dipanjatkan di sekitar makam setiap hari. Hingga kini, banyak peziarah yang membawa pulang air sumur dalam botol untuk dijadikan obat atau sekadar untuk keberkahan rumah. Kisah kisah kesembuhan setelah meminum air ini telah menjadi bagian dari cerita turun temurun masyarakat Desa Pulokalapa. Meski demikian, pengelola makam menegaskan bahwa tidak ada ritual khusus di sumur tersebut selain untuk bersuci dan diambil seperlunya.
Seiring perkembangan zaman, perjalanan tradisi ziarah di Makam Syekh Quro mengalami perubahan. Jika dulu nuansanya kental dengan budaya buhun atau tradisi Sunda kuno, kini orientasinya lebih mengarah pada pendekatan syariah.
“Dulu itu kegiatan doa lebih santai, pake bahasa Sunda, terus juga kadang ada musik-musik tradisionalnya. Kalo sekarang lebih terstruktur aja, lebih formal, doa-doanya bahasa Arab, kadang juga ada tausiyah dari ustadz,” tutur Amud.
Meski demikian, unsur budaya lokal tidak sepenuhnya ditinggalkan. Salah satu contohnya adalah pembentukan kelompok sholawat yang menggunakan gamelan Sunda sebagai pengiring. Inovasi ini wujud nyata adanya akulturasi antara ajaran Islam dengan tradisi seni lokal yang menjaga identitas budaya sekaligus berpegang pada nilai-nilai agama.
Amud juga menyoroti aspek teologis terkait praktik tawasul di makam ini, yang sering disalahpahami. Ia menegaskan bahwa ziarah di Makam Syekh Quro tetap berada dalam ajaran Ahlu Sunnah wal Jamaah, dan menolak pandangan yang menganggapnya sebagai bentuk kemusyrikan.
“Banyak yang salah paham. Ziarah itu untuk mendoakan, bukan meminta pada yang sudah wafat. Kami tidak meminta kepada wali, kami berdoa kepada Allah dengan berwasilah melalui para ulama,” jelas Amud.

Tradisi ziarah di Makam Syekh Quro, Jumat (25/7/2025).
Tradisi ziarah di Makam Syekh Quro bukan hanya sarana ibadah, tetapi juga media pelestarian budaya lokal. Melalui acara-acara seperti haul, masyarakat dapat mempertahankan berbagai seni tradisional seperti wayang golek, musik gamelan, dan kirab budaya. Kehadiran peziarah dari berbagai daerah pun memberikan dampak positif pada perekonomian lokal, terutama bagi pelaku UMKM yang berjualan di sekitar makam.
Amud berharap agar tradisi ini mengajarkan pentingnya mengenal dan mencintai budaya sendiri. Ia juga berpesan agar para generasi muda bisa melanjutkan langkah pelestarian ini agar tidak tergerus oleh budaya-budaya dari luar.
“Tidak ada yang akan mencintai budaya kita selain kita sendiri. Kalau tidak dijaga, lama-lama bisa diambil orang lain,” ujarnya.
Dengan memadukan nilai-nilai Islam dan budaya Sunda, tradisi ini menjadi bukti bahwa pelestarian warisan leluhur dapat berjalan harmonis dengan ajaran agama dan mampu menjadi benteng identitas masyarakat Karawang di tengan derasnya arus globalisasi.
(JOY)