Teror terhadap Tempo: Ancaman Nyata bagi Kebebasan Pers dan Demokrasi

Redaksi
Opini
31 Mar 2025
Thumbnail Artikel Teror terhadap Tempo: Ancaman Nyata bagi Kebebasan Pers dan Demokrasi
Akhir-akhir ini, ancaman terhadap kebebasan pers semakin nyata dan mengkhawatirkan. Kasus teror yang menimpa media Tempo mulai dari pengiriman paket berisi kepala babi dan bangkai tikus hingga doksing terhadap jurnalisnya, yaitu Francisca Christy Rosana atau yang lebih dikenal dengan Cica. Ini bukan sekadar gangguan, melainkan bentuk nyata intimidasi yang mengarah pada upaya sistematis untuk melemahkan kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi yang haram hukumnya untuk ditawar. Jika kebebasan berekspresi dan menyampaikan fakta dibungkam, maka kita harus bertanya dalam sistem seperti ini, apakah kita masih bisa menyebutnya demokrasi?

Peristiwa ini memperlihatkan betapa rentannya perlindungan terhadap jurnalis di Indonesia dan mengisyaratkan kegagalan negara dalam memastikan kebebasan berekspresi serta keamanan bagi insan pers. Kebebasan pers bukan hanya tentang hak para jurnalis untuk menulis berita tanpa rasa takut, tetapi juga tentang hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan independen. Tanpa pers yang bebas, demokrasi akan kehilangan elemen fundamentalnya, yakni keterbukaan dan transparansi dalam pemerintahan. Karena itu, peristiwa pengiriman bangkai hewan ke kantor Tempo menunjukkan bagaimana ancaman terhadap jurnalis semakin brutal. Tindakan ini tidak hanya bermaksud mengintimidasi, tetapi juga menciptakan atmosfer ketakutan bagi para pekerja media. Jika teror semacam ini dibiarkan tanpa tindakan tegas dari pemerintah dan aparat penegak hukum, maka akan semakin banyak kasus serupa yang terjadi di masa mendatang.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, dalam pernyataannya menegaskan bahwa tindakan teror terhadap jurnalis merupakan bentuk nyata ancaman terhadap independensi dan kemerdekaan pers. Ia juga menekankan bahwa jika ada pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, seharusnya mereka menempuh mekanisme hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, bukan dengan menggunakan cara kekerasan dan intimidasi. Perlindungan terhadap jurnalis bukan hanya menjadi tanggung jawab organisasi pers atau komunitas jurnalis saja, tetapi juga pemerintah dan aparat hukum. Jika kasus ini tidak diusut dengan serius, maka akan tercipta preseden berbahaya yang menunjukkan bahwa ancaman terhadap jurnalis dapat terjadi tanpa konsekuensi hukum. Hal ini tidak hanya melemahkan perlindungan terhadap kebebasan pers, tetapi juga membuka peluang bagi intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis untuk terus berulang tanpa adanya pertanggungjawaban. Pemerintah seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan jurnalis bisa bekerja tanpa rasa takut.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam Pasal 2, menegaskan bahwa Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Artinya, negara seharusnya menjamin bahwa jurnalis dapat bekerja tanpa intervensi atau ancaman dari pihak manapun. Selain itu, Pasal 4 juga secara tegas menyatakan bahwa kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dan bahwa pers nasional berhak untuk mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi tanpa adanya penyensoran atau pembredelan. Sayangnya, dalam implementasinya di lapangan, masih terdapat banyak bentuk pembungkaman terhadap media yang terjadi, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Banyak jurnalis yang mengalami kekerasan, baik secara fisik maupun digital, ketika meliput isu-isu yang dianggap sensitif oleh pihak-pihak berkepentingan.

Ketika kebebasan pers terancam, demokrasi juga ikut terguncang. Tanpa pers yang bebas, masyarakat hanya akan mendapatkan informasi yang telah disaring oleh kepentingan tertentu yang pada akhirnya bisa mengarah pada manipulasi opini publik. Kebebasan pers merupakan elemen penting dalam pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan kebijakan publik. Jika media terus dikekang dan diintimidasi, maka transparansi pemerintahan pun akan semakin melemah. Karena itu, masalah ini bukan hanya masalah Tempo, tetapi masalah seluruh insan pers dan masyarakat Indonesia. Jika jurnalis terus dibungkam dengan ancaman dan kekerasan, maka informasi yang kita terima akan semakin terbatas dan dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi yang sehat dan berimbang. Masyarakat juga memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan pers. Kita harus mendukung media independen yang berani mengungkap kebenaran dan tidak mudah tunduk pada tekanan. Tanpa dukungan dari publik, media akan semakin terpinggirkan, dan suara kita sebagai warga negara pun akan semakin redup. Demokrasi yang sehat membutuhkan media yang independen sebagai pengawas kekuasaan (watchdog), yang mampu mengungkap berbagai penyimpangan dan memberikan informasi yang benar kepada masyarakat. Tanpa peran ini, kekuasaan dapat dengan mudah disalahgunakan tanpa adanya pengawasan yang memadai.

Respons pemerintah terhadap kasus ini dinilai masih kurang serius. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, dalam pernyataannya menyatakan bahwa kebebasan pers dijamin oleh pemerintah, namun ia juga menekankan bahwa media harus memberikan informasi yang akurat dan benar. Pernyataan ini seolah-olah mengalihkan perhatian dari ancaman yang dialami oleh jurnalis dan justru menempatkan media dalam posisi defensif. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kritik terhadap pemerintah atau institusi lainnya adalah hal yang wajar dan bahkan diperlukan. Jika ada pihak yang merasa keberatan dengan pemberitaan tertentu, mekanisme hak jawab dan hak koreksi sudah tersedia sebagai solusi yang legal dan beradab. Namun, jika kritik dibalas dengan ancaman dan teror, maka hal itu menunjukkan betapa lemahnya komitmen negara dalam menegakkan kebebasan pers. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memerintahkan Kabareskrim untuk menyelidiki kasus ini lebih lanjut. Ini merupakan langkah awal yang penting, tetapi tidak cukup jika tidak diiringi dengan keseriusan dalam menangani kasus serupa di masa mendatang. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus memastikan bahwa para pelaku di balik teror ini ditindak dengan tegas dan transparan.


Kesimpulan
Insiden ini bukan hanya masalah satu institusi media, tetapi masalah fundamental yang menyangkut masa depan demokrasi di Indonesia. Jika jurnalis terus dibungkam, maka kebebasan berekspresi dan hak masyarakat untuk mengetahui kebenaran akan semakin tergerus. Ini bukan hanya persoalan Tempo, tetapi persoalan seluruh rakyat Indonesia yang ingin hidup dalam demokrasi yang sehat. Pemerintah, dalam hal ini, harus menunjukkan keberpihakannya pada kebebasan pers dengan tidak hanya sekedar memberikan janji perlindungan, tetapi juga mengambil tindakan nyata dalam menindak pelaku teror dan memastikan jurnalis dapat bekerja dengan aman. Jika tidak, maka kebebasan pers yang telah diperjuangkan sejak reformasi akan semakin terkikis, dan demokrasi kita akan berjalan menuju keterpurukan. Sebagai negara yang mengklaim dirinya sebagai demokrasi, Indonesia tidak boleh membiarkan ketakutan menjadi alat untuk membungkam suara kebenaran. Sebab, jika pers dibungkam, maka pada akhirnya yang dirugikan bukan hanya jurnalis, tetapi kita semua sebagai masyarakat yang berhak mendapatkan informasi yang jujur dan transparan.

Penulis: Khoir Nurul Hisan
Desainer: Silvia Aidha Rohma

Sumber:
4 Hari 3 Teror Dialami Tempo: Paket Kepala Babi, Bangkai Tikus, dan Doksing Wartawan. (Egi Adyatama, Vedro Imanuel Girsang, M. Raihan Muzzaki, dan Yudono Yanuar) Diakses dari https://www.tempo.co/hukum/4-hari-3-teror-dialami-tempo-paket-kepala-babi-bangkai-tikus-dan-doksing-wartawan--1223881

Regulasi Kebebasan Pers: Apa Saja Hak dan Perlindungan bagi Jurnalis? (Lestyanto Baskoro). Diakses dari https://www.tempo.co/hukum/regulasi-kebebasan-pers-apa-saja-hak-dan-perlindungan-bagi-jurnalis--1223996

Desak Teror ke Tempo Diusut, PKB: Tanpa Pers, Demokrasi Terkikis. ( Yustinus Patris Paat, dan CAH). Diakses dari https://www.beritasatu.com/nasional/2879003/desak-teror-ke-tempo-diusut-pkb-tanpa-pers-demokrasi-terkikis

Hasan Nasbi: Tidak Ada yang Berubah dari Komitmen Pemerintah Tentang Kebebasan Pers. (Lizsa Egeham). Diakses dari https://www.liputan6.com/news/read/5973257/hasan-nasbi-tidak-ada-yang-berubah-dari-komitmen-pemerintah-tentang-kebebasan-pers?page=3

Teror terhadap Tempo Dianggap Kegagalan Pemerintah Lindungi Kebebasan Pers. (Novali Panji Nugroho). Diakses dari https://www.tempo.co/politik/rentetan-teror-terhadap-tempo-dianggap-kegagalan-pemerintah-lindungi-kebebasan-pers-1223311

LPM Channel

Podcast NOL SKS