Tantangan Hidup Mahasiswa Ekonomi Menengah dalam Meraih Gelar Sarjana di Unsika
Redaksi
Berita
25 Aug 2024

Tidak hanya aktif dalam proses pembelajaran, mahasiswa juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi Uang Kuliah Tunggal (UKT) di setiap semester agar dapat menerima proses perkuliahan pada suatu universitas. Maka dari itu, hal ini tidak dapat dipisahkan karena merupakan hak dan kewajiban mahasiswa dalam menjalani pendidikan yang lebih lanjut. Namun, setiap mahasiswa mempunyai keterbatasan atau ketidaksamaan dalam hal perekonomiannya, banyak dari mereka merasa terbebani dengan biaya kuliah, sehingga mereka harus mengatur waktu dan uang saku agar dapat bertahan hidup di daerah perantauan. Mahasiswa dengan kelas ekonomi menengah terkadang menghadapi kesulitan dalam memenuhi biaya kebutuhannya.
Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) merupakan universitas yang berada di Karawang, Telukjambe Timur. Kampus yang memiliki sembilan fakultas tersebut menetapkan bahwa mahasiswa jalur mandiri secara langsung mendapatkan UKT tertinggi atau golongan 8, hal ini tercantum pada Surat Keputusan (SK) Rektor Unsika nomor 245/UN64/KPT/2024.
Salah satu Mahasiswa Unsika membagikan ceritanya sebagai mahasiswa jalur mandiri yang mendapatkan golongan UKT terakhir.
“Aku masuk jalur mandiri, jadinya UKT paling akhir, golongan terakhir yang nominalnya 5,9 juta terus masih ada Iuran Pengembangan Institusi (IPI),” ujar Mahasiswa Unsika Siti (Nama Samaran) saat diwawancarai via Google Meeting, Kamis (25/7/2024).
Dalam kondisi ekonomi menengah, Keluarga Siti tidak hanya menanggung beban biaya kuliahnya, tetapi juga harus biayai kuliah Kakaknya yang mendapatkan UKT tinggi.
“Abangku juga mandiri, UKT golongan 8 dan dia di angka 5,1 juta dan itu benar-benar ngeberatin banget ya. Apalagi, kemarin ayahku sendiri tuh kerjanya cuma di Indonesia yang gajinya kadang di bawah UMR, kadang pas UMR, kayak gitu doang terus harus bisa dibagi dua,” jelas nya.
Keluarga Siti hanya mengharapkan gaji dari Ayahnya yang setiap bulan tidak menentu untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Dalam usahanya, Siti mencoba untuk meringankan beban biaya kuliah dengan mengikuti pencicilan biaya UKT yang diadakan hanya setiap semester.
"Waktu itu aku mandiri, nyicil ke Pandu (Pusat Layanan Terpadu) ga lewat fakultas, karena mereka ga ada yang mau bantu ke Pandu. Persyaratannya buat surat keterangan pencicilan nanti pake materai. Untuk pencicilannya dilakuin 2 kali. Aku kan 5,9 juta, pertamanya 3 juta terus yang keduanya 2,9 juta. Buat cicilan kedua biasanya ditentukan sama pandu dan pencicilan selesai harus sebelum UAS (Ujian Akhir Semester). Kalo pencicilan engga lewat pandu sih pake slip gaji, surat bebas tunggakan, surat kesanggupan membayar, sama satu lagi lupa,” ungkap Siti.
Selain pencicilan UKT, kampus membuka penurunan UKT setiap semester ganjil yang harapan lolosnya kecil dan jika lolos hanya turun 1 golongan. Siti membagikan pengalamannya saat mengikuti prosedur penurunan UKT yang menurut nya menyulitkan oleh kampus.
“Sejujurnya iya, persyaratan penurunan UKT menyulitkan karena kemarin kalau ga salah ada slip gaji terus surat keterangan dari desa ya. Lumayan banyak lagi tuh data-datanya yang harus dipersiapkan. Nah, untuk ajuin itu juga cuma dikasih waktu 3-4 hari doang. Jadi kayak, wah kekejar nggak ya, apalagi kalau ngurus ke desa itu lama banget kan. Jadi kayak was-was duluan gitu, ah kayaknya nggak bisa nih, yaudah nyoba semester depan aja kayak gitu.”
Selain UKT yang menjadi faktor utama, biaya hidup di perantauan juga menjadi salah satu beban finansial yang menyulitkan. Sehingga banyak dari mereka menahan lapar dan sakit demi mencukupi pengeluaran
“Aku dikasih uang saku sekitar 150 per minggu itu udah sekalian ongkos pulang. Karena membudget kebutuhan hidup, waktu itu pernah sakit maag. Jadi temanku lagi pulang, aku di kosan cuma ada telur satu biji dan aku cuma megang duit 20 ribu dan itu 20 ribu buat ongkos pulang ke rumah jadi seharian itu cuma makan telur aja sama nasi gitu diirit-irit banget lah,” jelas Siti.
Dengan kondisi tersebut, Siti mempertimbangkan untuk cuti kuliah demi meringankan beban finansial, namun kampus hanya bisa memberikan cuti untuk 2 semester. Hal tersebut, membuat bimbang Siti untuk mengajukan cuti karena lamanya waktu yang diberikan pihak kampus untuk masa cuti kuliah.
“Aku dua semester kemarin sebenernya pengen cuti gitu karena kendala di ekonomi juga gitu, ayah juga kerjanya masih di Indonesia jadi kayak susah banget gitu kan terus ngajuin cuti waktu itu pengennya satu semester tapi ternyata tidak boleh jadinya harus dua semester. Jadinya orang tuaku mengusahakan untuk tidak jadi cuti tapi pernah dua kali bahkan ada surat untuk cutinya gitu,” tambahnya.
Dihadapi dengan kehidupan yang sulit oleh mahasiswa ekonomi menengah dan perantauan, seringkali mereka mengalami depresi dan melampiaskannya dengan tindakan-tindakan yang menyakiti diri nya sendiri.
“Aku melampiaskan emosi aku dulu melalui ngecat rambut dan garis-garis tangan pake benda tajam,” tutur Siti.
Siti mengungkapkan harapannya agar kampus lebih terbuka untuk mahasiswa yang meminta solusi jika ada kesulitan.
“Sebenarnya aku mengharapkan dari kampus khususnya dari fakultas ku sendiri ya untuk lebih terbuka untuk mahasiswa yang minta solusi atau dikasih solusi lah gitu untuk gimana caranya. Misalkan kayak aku kan pernah mau cuti gitu, cuma gak dapat solusinya dari mereka malah kayak yaudah cuti aja, kayak gitu jadi sebenarnya mahasiswa tuh masih pengen kuliah gitu tapi kampus sendiri yang menyulitkan gitu. Seperti tadi yang mengisi berkas untuk mengajukan penurunan UKT atau pencicilan UKT, itu sebenarnya susah banget dan waktunya juga cuma tiga hari kan untuk mengisi itu dan itu juga belum tentu lolos. Terus juga sekarang, kita pakai siska kalau misalkan kita nunggak UKT itu bakalan siskanya sistemnya diblokir gitu sama kampus. Jadi, kayak susah banget ya untuk mahasiswa yang sebenarnya menengah atau yang pas-pasan gitu atau yang kurang kayak gak ada solusi gitu dari kampus,” pungkasnya.
(WDR)