'Tamparan' Keras untuk Mahasiswa di Hardiknas: Ki Hadjar Pasti Menangis Lihat Pendidikan Kita Sekarang
Redaksi
Opini
02 May 2025

Lebih dari seratus tahun lalu, Ki Hadjar Dewantara telah merumuskan gagasan pendidikan yang membebaskan. Ironisnya, banyak dari ide beliau terasa lebih progresif dibandingkan sistem pendidikan kita hari ini. Di tengah kesibukan mengejar deadline tugas, organisasi kampus, dan dinamika sosial kampus yang kadang melelahkan, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Setiap tanggal 2 Mei datang dan pergi, tetapi rasanya kok kita masih stuck dengan pertanyaan yang sama apakah ini sekadar menjadi hari peringatan nasional, atau momen merefleksikan sejauh mana kita benar-benar dalam mewujudkan mimpi besar Ki Hadjar?
Ki Hadjar pernah mengatakan, "Tut Wuri Handayani" yaitu mendampingi dan memberikan ruang bagi peserta didik untuk tumbuh. Dalam pandangan beliau, dosen atau guru seharusnya menjadi support system, bukan sekadar pemberi tugas dan nilai. Namun, realitas kehidupan kampus hari ini masih jauh dari cita-cita itu. Kuliah sering kali lebih menekankan hafalan daripada pemahaman kritis. Riset dipandang hanya sebagai syarat skripsi yang menyiksa untuk kelulusan, bukan sebagai wadah eksplorasi intelektual. Tidak sedikit mahasiswa yang lebih takut menghadapi dosen yang galak ketimbang gagal memahami materi pembelajaran. Sebenarnya Ki Hadjar membayangkan pendidikan di mana mahasiswa bebas mengejar passion, berani mempertanyakan segala hal, dan merancang jalannya sendiri. Beliau ingin mahasiswa menjadi pemeran utama dalam perjalanan akademiknya, bukan sekadar mengikuti jalur yang sudah dipetakan seperti sistem pendidikan kita hari ini. Coba bayangkan suasana kampus di mana mahasiswa bebas mengejar rasa ingin tahunya, bereksperimen dengan ide-ide gila, dan tak takut gagal, karena kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Itulah kemerdekaan belajar yang sesungguhnya, bukan sekadar hashtag yang trending di media sosial.
Sebelum istilah "critical thinking” ramai diperbincangkan di media sosial dan seminar pengembangan diri, Ki Hadjar sudah menanamkan prinsip berpikir mandiri dalam konsep "Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso". Pendidikan ideal menurutnya adalah yang membentuk individu yang mampu berpikir untuk dirinya sendiri dan membangun semangat bagi orang lain. Debat akademik kerap kalah viral dibandingkan drama di media sosial. Bahkan, kelompok belajar terkadang lebih banyak digunakan untuk berbagi keluh kesah daripada membahas ide-ide inovatif. Dalam era banjir informasi seperti sekarang, kemampuan berpikir kritis adalah keterampilan bertahan hidup. Ki Hadjar tentu akan bangga melihat mahasiswa yang mampu melawan hoax dan berani menyuarakan kebenaran di tengah derasnya arus opini.
Ki Hadjar tidak akan respect mahasiswa yang cuman kuliah buat title dan pamer di media sosial. Buat beliau, pendidikan itu alat untuk membangun masyarakat yang lebih baik, bukan batu loncatan sebagai personal branding. Pendidikan sejati harus punya dampak langsung ke masyarakat, bukan cuman menambah deretan gelar di belakang nama. Tetapi lihat realitanya sekarang, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) atau pengabdian masyarakat yang seharusnya jadi jembatan antara kampus dan masyarakat sering berakhir untuk mahasiswa jadi bahan foto atau konten update buat feeds Instagram. Terkadang penelitian di kampus sering tidak menjawab permasalahan yang dihadapi masyarakat. Berbagai skripsi dan tugas akhir kerap berakhir sebagai tumpukan dokumen di rak perpustakaan yang seharusnya solving real problems. Coba bayangin deh sebuah dunia di mana setiap riset mahasiswa punya dampak ke masyarakat. Di mana setiap skripsi bukan cuma dokumen berdebu tetapi jadi alat untuk solusi masalah sosial. That's the kind of education Ki Hadjar was manifesting! Dia memimpikan pendidikan yang bukan untuk membangun ego, tetapi untuk membangun bangsa.
Sepertinya kalau Ki Hadjar hidup di era TikTok dan Artificial Intelligent (AI), beliau akan tetap memperjuangkan visi dan values yang sama yaitu: merdeka belajar, critical thinking, dan social impact. Bedanya, mungkin beliau akan membuat konten edukatif yang viral di TikTok atau membuat thread pemikiran beliau di X (Twitter). Mungkin beliau akan memanfaatkan podcast untuk menyebarkan ide-idenya atau menggunakan teknologi untuk membuat pendidikan dapat mudah diakses bagi semua kalangan.
Jadi, intinya di Hardiknas ini, yuk kita refleksikan diri sendiri. Seberapa merdeka kita sebagai mahasiswa? Atau malah masih jadi budak dari sistem yang mengekang kreativitas? Seberapa kritis kita menghadapi banjir informasi yang menghantam kita setiap hari? Seberapa dampak yang berguna yang kita buat untuk masyarakat di sekitar kita?
Tugas kita pastinya bukan untuk meniru sosok Ki Hadjar sepenuhnya, melainkan untuk meneruskan semangat perubahan yang beliau wariskan. Pendidikan Indonesia yang berkualitas, dan membebaskan bukan sekadar mimpi lalu itu adalah proyek yang harus terus kita hidupkan pendidikan yang tidak meninggalkan siapapun, yang memahami keberagaman gaya belajar, dan yang relevan dengan tantangan zaman sekarang itu bukan mimpi yang impossible. Itu benar-benar impian yang Ki Hadjar tinggalkan untuk kita semua. Dan sebagai mahasiswa, kita berada di garis depan untuk mewujudkannya. Kita punya privilege akses pendidikan yang tidak dimiliki oleh banyak orang. Dan dengan privilege itu, mempunyai tanggung jawab yang besar.
Jadi, kalau misal masih ada yang nanya "Hardiknas itu peringatan apa sih?" kasih paham mereka itu bukan peringatan hari nasional biasa. Tetapi sebagai hari refleksi kita bahwa pendidikan adalah alat revolusi dan setiap mahasiswa adalah agen revolusi itu sendiri. Pendidikan bukan cuman tentang nilai dan gelar, tetapi tentang transformasi diri dan masyarakat. Tentang menjadi versi terbaik dari diri kita dan membantu orang lain melakukan hal yang sama.
Penulis: Adittiya Warman
Desainer: Ulil Albab