Takdir

Redaksi
Cerpen
05 Jul 2024
Thumbnail Artikel Takdir
Penyesalan /pe·nye·sal·an/ n ; perasaan menyesal (menyesali): - yang tidak berguna 

Subhanallah! Umiii, aku diterima! Ya Allah, Alhamdulillah,” teriakku tak percaya di depan layar laptop. 

Memang sudah menjadi mimpiku untuk kuliah di salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta pada jenjang sarjana dengan mengambil program studi Bahasa dan Kebudayaan Korea. Kakak pertamaku sedang menempuh kuliah S2 di Arab Saudi, sedangkan kakak keduaku bekerja di Jakarta. Oleh karena itu, aku ingin menggapai mimpiku di kota kesayanganku, Yogyakarta.

Umi masuk membawa segelas air. 

Aya naon, Neng Geulis? Astagfirullah, teu nanaon atuh. Umi bilang juga ti Bandung wae, si eneng hoyongna Jogja,” ujar Umi, tangannya mengusap lembut punggungku. 

"Ini diminum dulu," katanya sambil memberikan minuman kepadaku dengan tangan satunya.

“AKU KETERIMA!” teriakku gembira. Aku memeluk Umi dengan tangan yang masih memegang gelas. 

Lalaunan atuh suarana, gendang telinga Umi berubah jadi gamelan nanti. Alhamdulillah, Neng!” 

Tangan umi meraih gelas yang kugenggam dan menaruhnya di meja. Kemudian tangannya mengusap punggungku; membawaku ke pelukannya. Menenangkan rasanya, hangat dan candu. Pelukan Umi tidak ada duanya, aku menumpahkan semua tangis haruku pada pelukan Umi, memberikan rasa terima kasih banyak kepada kerja kerasku selama ini. 

“Terima kasih banyak Umi doanya,” sahutku sambil menyudahi acara menangis barusan. 

Umi meraih kotak tisu yang sudah kusiapkan, lalu menjulurkan selembar tisu. “Jalma kalau keterima mah harusnya jingkrak-jingkrak, kamu malah nangis,” katanya sambil tersenyum maklum.

“Ini teh nangis bahagia Umi mah ….” 

Aku menerima tisu yang diberikan Umi menggunakannya untuk menghapus air mata dan ingusku.

“Padahal kalo di Bandung aja jadi guru ngaji teu nanaonan Adiba. Sayang banget hafalanmu bisa langsung bermanfaat.” 

“Adiba gak bakal lupain hafalan Adiba, Umi. Udah, Adiba mau siap-siap salat ashar dulu ya, Umi.” 

Aku pergi membawa laptopku, meninggalkan Umi yang terduduk di ruang tamu. Entahlah, belakangan ini Umi selalu melarangku kuliah di Yogya. Mungkin karena aku anak bungsu? 



Sudah 3 bulan aku menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Tidak ada yang berubah semua sama, aku masih sama lemotnya dalam memahami mata kuliah. Namun, aku mulai membiasakan diri untuk membagi waktu.

Satu hari yang melelahkan berakhir juga. Dengan lunglai aku mencari kunci kosku. Kunci sepertinya selalu bersembunyi dariku. Dua menit usahaku mencari kunci tidak sia-sia. Aku membuka pintu dengan sisa tenaga yang ku punya. Melempar barangku di atas kasur dan melakukan perpisahan dengan para kuman dan bakteri yang menempeliku seharian ini. 

Sebelum tidur aku melaksanakan ritual, seperti scroll Twitter dan membalas Whatsapp. Kucari benda persegi panjang di dalam tote bag-ku. Ketemu, tapi ternyata tak bisa menyala. Aku merebahkan badanku sambil mengisi daya handphone ku. Terkejutnya aku saat handphoneku menyala, banyak sekali nontifikasi.

Teh Tuti Jaksel 50 panggilan tak terjawab 

AA Umar 12 panggilan tak terjawab 

Angkatan 2022 . . .  1009 pesan 

Teh Tuti Jaksel 108 pesan

AA Umar  10 pesan

.

.

.

My Hero (UMI) 5 pesan 

Tumben rame banget,” gumamku. Memutuskan untuk membuka notif  pesan dari Umi terlebih dahulu. Tanganku dihentikan oleh telpon masuk dari a Umar.

“Assalamualaikum, Adiba di mana? Buka WA teh Tuti. Sekarang cepat pergi ke Bandung. A umar berangkat besok pagi. Tidak dapat tiket untuk hari ini,” cerocos A Umar. Aku mengerutkan dahi ku mencoba mencerna apa yang baru saja diucapkan.

Waalaikumsalam. Ada apa sih, A?”

“Adiba tenang saja ya, Umi masuk rumah sakit, keadaannya sedang koma. Sore tadi ditemukan sama anak-anak yang diajar ngaji sama Umi, pingsan di kamar. Kata dokter kemungkinan pingsan dari siang.” 

Aku reflek terduduk, air mataku lolos begitu pula dengan tanganku yang mulai gemetar, tiba-tiba badanku memproduksi keringat berlebih. 

“Adiba sekarang langsung ke stasiun. Sudah Aa pesankan tiket. Keretanya berangkat masih tiga jam lagi. Ayo Adiba doain umi terus, Adiba anak kebanggan Umi kuat ya, Umi pengen ketemu Adiba. Terakhir bangun nyariin Adiba terus kata Teh Tuti.”

Aku memutuskan panggilan dari A Umar. Aku langsung mengganti bajuku asal-asalan, aku asal membereskan barang. Dengan tangan yang gemetar dan sisa baterai yang tidak banyak aku memesan taksi online. Terlalu sulit mencari di sekitar sini. Aku berlari dan memutuskan mencari taksi yang lewat. Otakku tak dapat memproses apapun sekarang ini. Pandanganku pun terus buram. Malam itu air mata dan doa yang menemaniku sampai Bandung. 



Sampai di Bandung dini hari. Perawakanku kacau. Otakku menampilkan kemungkinan terburuk yang terjadi jika aku terlambat sedetik saja di rumah sakit. Aku mencari ojek pangkalan. Handphone-ku mati. Untung saja aku menghafal nama rumah sakit yang merawat Umi, rumah sakit yang biasa Umi datangi untuk cek kesehatan setiap minggu.

Sesampainya aku di rumah sakit, aku langsung menghampiri meja resepsionis.

“Suster, ya—yang anu Umi, maksudna pasien atas nama Kustiyah Andini neng endi? Eh, aduh ya Allah!” Aku tergagap, tanganku masih terus bergetar. Di otakku sekarang terus berputar kemungkinan terburuk yang terjadi pada Umi.

“Tenang dulu, ada yang bisa dibantu?” Suster itu nampak kebingungan, aku pun bingung. Tenggorokan kelu, aku masih sesenggukan.

“Adiba!” teriak seseorang dari belakangku yang langsung menoleh menghadapnya. Teh Astuti dengan perawakan yang tak kalah kacau dariku. Matanya memelototiku, tangannya mencengkeram pundakku.

“Senang kan di Yogya? Dari awal gua bilang Bandung aja, gua bayarin hidup lo. Jadi guru ngaji sama Umi susah? Uang dari A Umar sama dari gue kurang?” Aku tak dapat menjawab pertanyaannya. Apa kata Teh Tuti benar. 

Harusnya aku menuruti perkataan Umi, harusnya aku pulang ke Bandung saat Umi merindukanku. Seharusnya aku tidak usah mendaftar kuliah di Yogya. Semua kata seharusnya terus berputar di otakku memberitahu bahwa semua adalah salahku.

“Buruan ditungguin Umi. Segala nungguin anak kayak lo!” Tangan Teh Tuti mencengkram tanganku dan menariknya pada ruangan bertuliskan ruang mayat.

“Gak usah kaget jam satu Umi dinyatakan meninggal, Umi nitip ini buat lo. Jam 8 langsung ke Sukabumi. Umi mau dimakamin disamping makam Abi.” Teh Tuti menyodorkan sebuah kertas lusuh kepadaku. Aku menerimanya, menggenggamnya erat. Memilih untuk memasuki kamar mayat yang dipandu oleh Teh Tuti.

“Umi pengen pegang tangan lo katanya,” kata terakhir Teh Tuti sebelum meninggalkan aku bersama para mayat. Aneh, aku sangat takut kepada mayat tapi kali ini rasanya berbeda. Rasanya hanya ada aku dan Umi di dalam ruangan ini.

Aku membuka kain putih yang menutupi wajah cantik Umi. Ku perhatikan dengan seksama wajah Umi sangat pucat. Bahkan saat ini pun Umi tersenyum indah. Ku genggam dengan erat tangan kaku nan dingin umi. Mataku tak henti memproduksi air.

“Umi, Adiba di sini. Maaf, seribu maaf pun rasanya gak cukup ya Umi ... Umi Adiba jadi guru ngaji aja harusnya sama Umi ya? Maaf Umi Adiba egois. Umi nafasnya udah gak sesek lagi kan? Umi kakinya udah gak suka kebas lagi? Kepalanya udah gak suka pusing lagi? Umi kenapa gak nahan Adiba lagi? Umi di sana enak? Ketemu Abi ya? Umi ….” Rasanya tenggorokanku kering. Mataku tak sanggup lagi melihat Umi. 

Otakku terus saja menggunakan kata “seharusnya” dan “andai saja”. Penyesalan selalu seperti ini, aku bertanya mengapa aku tega meninggalkan Umi yang sudah tua dan tidak dapat hidup sendiri. Menyalahkanku, bukankah aku anak paling tidak tahu diri?  Rasanya aku tidak pantas menangisi Umi. 

Bukankah ini semua terjadi karena ku? 

Aku merapihkan kain seperti semula. Meninggalkan Umi. Tangisku pecah, terus menggumankan kata maaf. Aku memutuskan untuk membuka kertas yang diberikan oleh Teh Tuti tadi.

Untuk Adiba anak tersayang Umi

Membaca kata pembuka yang Umi tulis sudah membuat air mataku semakin deras. Apakah pantas aku mendapat kata anak tersayang dari Umi?

Gimana kabarnya neng geulis? Kangen pisan Umi. Tapi takut ganggu waktu kamu. Teh Tuti dulu juga kayak kamu, susah dihubungi. Hari ini rasanya kosong sekali, tidak ada Adiba yang teriak-teriak nonton oppa kesayangannya. Tidak ada Adiba yang biasanya menangis karena drama Korea. Tidak ada tawa Adiba yang biasanya terbahak bahak sampai kedengeran sama tetangga. Sepi tidak ada Adiba. 

Maaf Umi egois, Umi pengen Adiba tetap di samping Umi terus. Maaf Adiba, Umi pernah menghalangi kamu meraih mimpi. Jangan salahin diri kamu atas keputusan yang kamu pilih. Semua sudah disusun sama Allah SWT. Adiba tau kan? Skenario Allah itu tidak ada yang buruk. Skenario Allah indah sekali Adiba. Seribu kali Umi bersyukur sepertinya tidak sebanding dengan Umi yang dianugrahkan 3 anak pintar, shaleh dan shalehah. 

Kulihat terdapat tetesan darah yang sudah pudar. Ku kuatkan diriku kembali membaca tulisan Umi. 

Akur-akur ya sama Teh Tuti. Sebenernya Teh Tuti sayang banget sama kamu. Dia gak pengen kamu hidup susah sendirian. Adiba anak pintar, anak baik. Jangan lupa tersenyum ya. Umi suka kalo kamu senyum, rasanya sakit Umi sembuh semua. Umi 

Suratnya berakhir begitu saja. 

Sepertinya surat ini yang ditulis sebelum Umi pingsan. Umi pasti sedang kesakitan saat menulis surat ini. Kenapa Umi tidak keluar cari pertolongan saja? Kenapa harus menyempatkan waktu menulis surat yang bahkan belum selesai Umi tulis.

Teh Tuti datang. Tidak sekasar saat aku baru memasuki rumah sakit. Teh Tuti berlutut di depanku, membawaku kedalam dekapannya. “Maaf Adiba, teteh yang harusnya disalahkan ya? Adiba jangan nyalahin diri sendiri terus. Maaf tadi teteh lepas kendali.”

Teh Tuti tak sekasar yang orang pikirkan. Teh Tuti hanya tidak bisa mengontrol emosinya.

Aku membalas pelukan teh Tuti tidak kalah erat. “Memang salah aku teh ....” Acara saling menyalahkan diri sendiri berlangsung sangat lama. 

Tak terasa waktu sudah pagi. Saatnya Umi ditempatkan di peristirahatan terakhir. 

A Umar sangat tegar di depan kedua adiknya, Ia tidak mengeluarkan air mata. Keluarga dari Umi dan Abi sama sedihnya dengan kami. Hari kelam itu ditutup dengan hujan yang langit turunkan. 

Umi, bahkan langit berduka saat ini.



Penulis: Usok 
Desainer: IDN

LPM Channel

Podcast NOL SKS