Polemik ini bermula dari pernyataan jujur Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat diwawancarai mengenai persiapan bantuan teknologi untuk korban banjir di Sumatera. Dilansir dari berbagai media massa pada Kamis (4/12/2025), Jenderal Maruli Simanjuntak mengakui adanya kebingungan soal pembiayaan operasional perangkat tersebut.

 

"Itu memang peralatan kami dari Kemhan... memang pulsanya belum tahu siapa yang mau bayar, tapi itu kondisinya," ujarnya kepada wartawan di Jakarta.

 

Kalimat tersebut terdengar sederhana, namun respons yang muncul dari publik bukan sekadar pertanyaan teknis tentang siapa penyandang dananya. Pernyataan itu justru membuka tabir persoalan yang jauh lebih mendasar, yaitu bahwa mereka yang memegang kendali teknologi di republik ini ternyata belum sepenuhnya memahami cara kerja teknologi modern.

 

Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mungkin adalah sosok yang sangat kompeten di medan pertempuran. Namun, jelas beliau bukan bagian dari generasi yang tumbuh dengan berlangganan Netflix atau Spotify. Hal ini wajar mengingat perbedaan generasi. Masalahnya, saat ini beliau sedang menangani teknologi satelit internet dengan mekanisme sangat berbeda dari sistem pulsa prabayar yang biasa kita kenal.

 

Mari kita luruskan fakta dasarnya terlebih dahulu. Starlink adalah layanan internet satelit yang dikelola oleh SpaceX dengan model berlangganan bulanan. Sistemnya mirip dengan layanan streaming, bukan sistem top-up seperti pulsa telepon seluler. Tidak ada istilah "isi pulsa Starlink" dalam ekosistem ini. Pengguna cukup berlangganan sekali per bulan, pembayaran berjalan otomatis, dan layanan terus aktif tanpa perlu pengisian ulang manual.

 

Penggunaan istilah yang keliru ini bukan perkara sepele. Ketika pejabat tinggi negara menggunakan diksi yang tidak tepat, dampaknya bisa menjadi sistemik. Publik menjadi bingung tentang cara operasi sistem yang sebenarnya, spekulasi muncul di berbagai arah. Dan paling berbahaya adalah terbukanya celah bagi oknum yang ingin memanfaatkan situasi. Sayangnya, prediksi ini terbukti tidak lama kemudian.

 

Peristiwa di Langsa, Aceh, menjadi bukti nyata bagaimana komunikasi yang tidak jelas bisa berujung pada penderitaan masyarakat. Warga korban banjir yang seharusnya mendapat akses internet gratis justru diminta membayar. Ada yang dikenakan tarif Rp20 ribu per jam, bahkan ada yang hanya menggunakan lima menit namun tetap dibebankan biaya Rp5 ribu. Bayangkan situasinya: orang-orang yang kehilangan tempat tinggal dan butuh akses informasi atau ingin menghubungi keluarga, malah harus berhadapan dengan pungutan liar.

 

Memang benar, investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa pungutan tersebut bukan berasal dari perangkat Starlink bantuan pemerintah, melainkan dari perangkat pribadi yang disewakan. Namun, bagaimana masyarakat di lokasi bencana bisa membedakannya? Bentuk perangkatnya identik, mereknya sama, dan cara penggunaannya pun tidak berbeda. Tidak ada penanda jelas untuk membedakan mana Starlink gratis dari pemerintah dan mana yang berbayar milik swasta.

 

TNI Angkatan Darat akhirnya mengeluarkan klarifikasi bahwa layanan Starlink untuk korban bencana sepenuhnya gratis hingga akhir Desember karena biaya ditanggung penyedia layanan. Sayangnya, klarifikasi ini datang terlambat. Kerusakan sudah terjadi, kepercayaan publik tergores, dan kebingungan sudah menyebar luas.

 

Kini saatnya berbicara jujur. Generasi yang saat ini menduduki posisi kepemimpinan strategis memang tidak dipersiapkan untuk menghadapi era teknologi seperti sekarang. Ini bukan kesalahan mereka karena konteks zamannya memang berbeda. Mereka tumbuh ketika telepon masih menggunakan piringan putar, faks menjadi andalan komunikasi, dan internet masih mengandalkan koneksi dial-up yang lambat.

Bagi generasi tersebut, teknologi adalah sesuatu yang dipelajari belakangan, bukan bagian organik dari keseharian. Mereka terbiasa dengan sistem yang linear dan nyata: membeli kartu perdana, mengisi pulsa, menggunakan hingga habis, lalu mengisi kembali. Prosesnya sederhana, terukur, dan mudah dipahami.

 

Sebaliknya, teknologi kontemporer beroperasi dengan paradigma yang sangat berbeda. Sistem berlangganan otomatis mendominasi hampir semua layanan digital, mulai dari hiburan, penyimpanan data, hingga konektivitas internet. Tidak ada lagi mekanisme "isi ulang" manual karena pembayaran berjalan otomatis melalui kartu kredit atau dompet digital. Bahkan ketika terjadi masalah, solusinya juga digital lewat live chat, email, atau asisten berbasis kecerdasan buatan.

 

Generasi yang lahir setelah tahun 1990-an tumbuh bersama ekosistem ini. Mereka tidak perlu mempelajari konsep berlangganan karena sudah menggunakannya sejak sekolah. Mereka paham cloud storage karena tugas akademis tersimpan di sana. Istilah seperti bandwidthlatency, API, atau IoT adalah makanan sehari-hari tanpa perlu pelatihan khusus.

 

Bayangkan jika koordinator bantuan teknologi bencana dipegang oleh seseorang yang sejak kuliah sudah terbiasa mengelola server atau aktif di komunitas teknologi. Respons pertamanya pasti bukan bertanya "siapa yang bayar pulsa", melainkan langsung berkoordinasi dengan tim teknis SpaceX, membangun dashboard monitoring real-time, dan menyampaikan informasi transparan kepada publik lewat platform digital.

 

Dengan begitu, tidak akan ada kebingungan istilah yang membuat publik bertanya-tanya. Koordinasi dengan vendor akan lebih lancar karena menggunakan "bahasa" yang sama. Transparansi terjaga, dan yang terpenting, peluang pungutan liar dapat diminimalisir sejak awal karena sistem komunikasinya jelas.

 

Namun, kita tidak boleh naif. Pungutan liar di Indonesia adalah penyakit kronis yang sudah mengakar. Mulai dari bantuan sembako, tenda, selimut, obat-obatan, hingga kini internet satelit, hampir tidak ada jenis bantuan bencana yang kebal dari tangan-tangan jahil yang mencari untung.

 

Situasi ini kian memprihatinkan karena adanya kontras antara kecanggihan teknologi dengan primitifnya sistem pengawasan. Starlink dilengkapi GPS tracking pada setiap perangkatnya. SpaceX bisa mengetahui dengan presisi lokasi unit, siapa penggunanya, durasi penggunaan, dan tujuannya. Namun, apakah data ini dimaksimalkan untuk pengawasan? Jawabannya tidak. Apakah tersedia dashboard publik yang menampilkan lokasi unit bantuan? Tidak juga. Apakah ada layanan pengaduan 24 jam bagi korban bencana? Sayangnya juga tidak.

 

Kita memiliki teknologi abad ke-21, namun sistem pengawasannya masih tertinggal di masa lalu. Solusi sebenarnya sederhana jika ada kemauan politik serius. Implementasi sistem pelacakan berbasis aplikasi sudah cukup memadai sebagai langkah awal. Setiap unit Starlink bantuan dapat dilengkapi kode QR unik yang bisa dipindai masyarakat untuk verifikasi keaslian dan akses gratis.

 

Pemerintah dapat membangun dashboard monitoring yang bisa diakses publik secara real-time untuk menampilkan jumlah unit, lokasi, dan pengguna aktif. Transparansi seperti ini akan mempersempit ruang gerak oknum nakal. Selain itu, platform pelaporan pungli anonim dengan waktu respons maksimal dua jam akan sangat membantu. Kasus yang terbukti harus segera dipublikasikan lengkap dengan sanksi agar memberikan efek jera nyata, bukan sekadar wacana.

 

Edukasi masif kepada masyarakat juga tidak kalah penting. Infografis sederhana perlu dipasang di posko pengungsian, disebar lewat grup WhatsApp RT/RW, dan diviralkan di media sosial.

Semua solusi ini sangat mungkin diwujudkan. Perusahaan rintisan teknologi di Indonesia sudah menerapkan sistem serupa dengan hasil memuaskan. Lantas, mengapa pemerintah belum melakukannya? Jawabannya sederhana, karena pengambil keputusan masih terjebak pola pikir lama seperti membuat surat edaran, mengirim pengawas lapangan, dan rapat berhari-hari. Padahal, masalah sudah viral di media sosial dalam hitungan jam.

 

Kepada pemerintah, perlu disampaikan dengan tegas bahwa tidak ada yang memalukan dalam mengakui keterbatasan. Yang keliru adalah bersikukuh mempertahankan kendali atas sesuatu yang tidak dikuasai, sementara rakyat menjadi korban.

 

Rekrutlah tim teknologi muda yang benar-benar paham ekosistem digital untuk mengelola aspek teknologi dalam respons bencana. Bentuk gugus tugas berisi digital native yang bisa merespons cepat. Berikan mereka otoritas dan sumber daya memadai, lalu percayalah pada keputusan mereka. Poin terpentingnya: jangan intervensi pekerjaan mereka dengan logika lama yang sudah tidak relevan.

 

Kepada masyarakat, jangan diam jika melihat pungutan liar. Laporkan segera ke media sosial, tandai akun resmi pemerintah dan penyedia layanan, serta viralkan jika perlu. Dokumentasikan bukti lewat foto dan video. Solidaritas memang penting, namun dokumentasi dan viralitas adalah senjata paling efektif di era digital.

 

Untuk vendor seperti Starlink, sediakan mekanisme pengaduan yang mudah diakses dalam bahasa Indonesia, misalnya lewat nomor WhatsApp atau Telegram khusus. Kerja sama dengan organisasi sipil lokal juga diperlukan untuk monitoring lapangan.

 

Banjir di Sumatera bukan sekadar ujian kesiapan infrastruktur fisik, tetapi juga ujian literasi digital pemimpin kita. Sejujurnya, kita gagal sejak hari pertama. Ketika seorang jenderal bintang empat menyebut Starlink sebagai "pulsa", itu adalah alarm keras bahwa sistem kepemimpinan kita belum siap menghadapi era digital.

Kita hidup di masa ketika drone bisa mengirim bantuan, AI bisa memprediksi jalur evakuasi, dan internet satelit bisa menghubungkan desa terisolasi. Namun, semua kecanggihan itu sia-sia jika pengelolanya tidak paham cara kerjanya.

 

Sudah saatnya Indonesia menempatkan orang tepat pada posisi yang tepat. Pengalaman generasi senior tentu berharga, namun tidak boleh menjadi penghalang inovasi, terutama saat darurat. Rakyat terdampak bencana butuh bantuan segera dengan sistem yang jelas. Untuk mewujudkan itu, dibutuhkan generasi yang tumbuh di era digital untuk memimpin transformasi teknologi dalam respons bencana.

 

Ini bukan soal menyingkirkan generasi tua, sebab kebijaksanaan dan pengalaman mereka tetap diperlukan di aspek lain. Namun untuk urusan teknologi, serahkanlah kepada ahlinya. Ini bukan egoisme antargenerasi, melainkan pendekatan praktis dan logis. Sama seperti kita tidak menugaskan lulusan baru menjadi jenderal, kita juga tidak seharusnya menugaskan pejabat yang gagap teknologi untuk mengelola sistem digital. Sesederhana itu.

 

DAFTAR PUSTAKA

Liputan6.com (4 Desember 2025). "Siapkan Starlink di Daerah Banjir Sumatra, KSAD: Pulsanya Belum Tahu Siapa yang Bayar". https://www.liputan6.com/news/read/6229515/siapkan-starlink-di-daerah-banjir-sumatra-ksad-pulsanya-belum-tahu-siapa-yang-bayar

 

Republika.co.id (5 Desember 2025). "KSAD Sebut Belum Tahu Siapa yang Bayar Pulsa Starlink di Lokasi Bencana, TNI AD Klarifikasi: Gratis". https://news.republika.co.id/berita/t6sma4409/ksad-sebut-belum-tahu-siapa-yang-bayar-pulsa-starlink-di-lokasi-bencana-ini-klarifikasi-tni-ad

 

Kompas.com (5 Desember 2025). "TNI AD Jelaskan Maksud KSAD Bilang Belum Tahu Siapa yang Bayar Starlink". https://nasional.kompas.com/read/2025/12/05/16364861/tni-ad-jelaskan-maksud-ksad-bilang-belum-tahu-siapa-yang-bayar-starlink

 

Tribunnews.com (2 Desember 2025). "Pungli Starlink Merajalela, Korban Banjir di Langsa Ngaku Diminta Bayar Rp 20 Ribu per Jam". https://aceh.tribunnews.com/news/1000644/pungli-starlink-merajalela-korban-banjir-di-langsa-ngaku-diminta-bayar-rp-20-ribu-per-jam

 

Tempo.co (5 Desember 2025). "Layanan Starlink di Lokasi Banjir Sumatera Gratis hingga Akhir Desember". https://www.tempo.co/ekonomi/layanan-starlink-di-lokasi-banjir-sumatera-gratis-hingga-akhir-desember-2096221

 

Penulis: Saber Roam

Desainer: CBS