Sosok itu Bernama, Tan Malaka
Redaksi
Artikel
30 Jun 2023

Suatu hari, ketika saya sedang berkunjung ke rumah Paman di Bekasi, saya melihat banyak buku terpajang di rak buku di ruang tamu rumah Paman saya itu. Fokus saya langsung mengarah ke barisan buku-buku yang berisikan tema kemahasiswaan. Di antara buku-buku itu, saya melihat salah satu buku yang ditulis oleh Tan Malaka. Saya pun mengambil buku itu dan Paman bertanya “Emangnya ade tau itu buku apaan de?” tanya Paman saya. Saya pun menjawab. “Tau, nama Tan Malaka sering disebut di kampus,” ujar saya. Selepas obrolan singkat saya dengan Paman itu, istri paman yang saya panggil Tante pun menyahut. “Kenapa ya mahasiswa banyak yang menjadikan Tan Malaka sebagai figurnya, kalo gak Tan Malaka, Soe Hok Gie,” ujar Tante saya. Pertanyaan Tante itu dijawab langsung oleh Paman. “Ya karena pemikiran Tan Malaka yang idealis jadi bahan mahasiswa buat jadi “Mahasiswa”,” ujar Paman. Pernyataan terakhir Paman inilah yang membuat saya makin penasaran, siapa sebenarnya Tan Malaka.
Ibrahim Datuk Sultan Malaka atau biasa dikenal sebagai Tan Malaka adalah seorang pemikir yang berasal dari tanah Sumatera Barat, lebih tepatnya di Pandam Gadang. Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897. Nama asli Tan Malaka adalah Sultan Ibrahim dan ia mempunyai gelar yaitu Datuk Tan Malaka. Nama gelar itu diberikan dalam sebuah upacara adat dan gelar itu menunjukan jika seseorang itu adalah orang yang istimewa. Orang tua Tan Malaka adalah seorang bangsawan yang bekerja sebagai pekerja tani Hindia Belanda, sehingga pekerjaan itu membuat kedudukan orang tua Tan Malaka tidak jauh berbeda dengan warga desa lainnya.
Pendidikan yang diampu Tan Malaka pada masa sekolah tidak terlalu spesial, malah bisa dibilang pendidikan yang diampu Tan Malaka adalah pendidikan sekolah yang rendah. Ia pernah bersekolah di Sekolah Guru Pribumi (Inlandshe Kweekscholl Voor Onderwijzers) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Selepas lulus dari Sekolah Guru Pribumi, Tan Malaka akhirnya melanjutkan studinya ke Belanda atas rekomendasi dari salah satu guru di Sekolah Guru Pribumi. Tan Malaka mengenyam pendidikan di Belanda pada saat umurnya baru menginjak 17 tahun, dan Tan Malaka bersekolah di Sekolah Guru Pemerintah (Rijksk Weekschool) di Harlem, Belanda.
Pada masa belajar di Belanda inilah merupakan titik balik seorang Tan Malaka. Ia banyak membaca buku-buku yang berpaham “kiri” seperti buku karangan dari Karl Marx, Vladimir Lenin, dan tokoh tokoh komunis lainnya. Buku-buku yang dibacanya itu membuat Tan Malaka membenci budaya Belanda dan lebih setuju dengan pemikiran Amerika dan Jerman. Mungkin banyak yang beranggapan, “Wah Tan Malaka komunis!”. Memang betul jika ia mempelajari paham kiri, namun kita tidak bisa menganggap jika pemikiran Tan Malaka untuk Indonesia tidak relevan hanya karena menganggap Tan Malaka adalah seorang yang memiliki pemahaman “kiri”.
Saat kembali ke tanah Indonesia setelah lulus dari Sekolah Guru Pemerintah pada tahun 1919, Tan Malaka menjadi seorang pengajar anak-anak di Deli, Sumatera Barat. Saat ia menjadi seorang guru, Tan Malaka mulai memberikan ilmu-ilmu yang didapatkannya di tanah Belanda itu kepada anak-anak dari para petani. Ia berharap anak-anak itu suatu saat nanti akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi di tanah airnya sendiri, dan anak-anak itu nantinya berani untuk melawan penjajahan yang sedang terjadi di Indonesia dengan cara menolak perundingan-perundingan sebelum ada kata merdeka. Dan hal inilah yang dibenci oleh Belanda pada saat itu. Tan Malaka pun diusir dari tanah rumahnya sendiri oleh bangsa Belanda karena dianggap tidak sejalan dengan Belanda. Namun perjuangan Tan Malaka tidak usai, ia terus melakukan upaya-upaya untuk memerdekakan Indonesia yang saat itu masih dibayang-bayangi oleh Belanda, dengan cara menulis buku-buku yang sekarang ini banyak dibaca oleh mahasiswa sebagai bacaannya.
Saat kembali ke tanah Indonesia setelah lulus dari Sekolah Guru Pemerintah pada tahun 1919, Tan Malaka menjadi seorang pengajar anak-anak di Deli, Sumatera Barat. Saat ia menjadi seorang guru, Tan Malaka mulai memberikan ilmu-ilmu yang didapatkannya di tanah Belanda itu kepada anak-anak dari para petani. Ia berharap anak-anak itu suatu saat nanti akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi di tanah airnya sendiri, dan anak-anak itu nantinya berani untuk melawan penjajahan yang sedang terjadi di Indonesia dengan cara menolak perundingan-perundingan sebelum ada kata merdeka. Dan hal inilah yang dibenci oleh Belanda pada saat itu. Tan Malaka pun diusir dari tanah rumahnya sendiri oleh bangsa Belanda karena dianggap tidak sejalan dengan Belanda. Namun perjuangan Tan Malaka tidak usai, ia terus melakukan upaya-upaya untuk memerdekakan Indonesia yang saat itu masih dibayang-bayangi oleh Belanda, dengan cara menulis buku-buku yang sekarang ini banyak dibaca oleh mahasiswa sebagai bacaannya.
Tan Malaka dianggap sebagai sosok Founding Father sebenarnya oleh beberapa orang, hal itu dikarenakan pemikiran yang dituangkan Tan Malaka di dalam buku-bukunya menginspirasi tokoh-tokoh revolusi lainnya tentang kemerdekaan. Dalam salah satu buku yang juga ditulis Tan Malaka yang berjudul Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka menuangkan konsep pemikirannya tentang kemerdekaan Indonesia dan dianggap sebagai cikal bakal dari terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekarang ini kita tahu. Mungkin semangat dan pemikiran dari Tan Malaka inilah yang membuat sosoknya terus digaungkan oleh para mahasiswa di dalam maupun di luar kampus. Semoga semangat dari Tan malaka dalam mempertaruhkan nyawanya untuk negara tertular kepada kaum yang katanya kaum intelek pada masa kini.
Penulis: Tubagus Muhammad Naufal Dzikrilah