Namanya terpatri gagah pada gerbang universitas negeri kebanggaan kota: Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika). Sebagian besar warga mengenalnya sebagai Bupati pertama Karawang. Namun, dibalik narasi tunggal itu, tersembunyi sosok misterius yang lebih mirip panglima perang gerilya daripada seorang birokrat; seorang tokoh yang jejaknya lebih banyak ditemukan dalam legenda daripada dalam arsip sejarah.
Investigasi yang dilakukan baru-baru ini mengungkap sebuah paradoks: semakin dalam kita mencari Singaperbangsa, semakin gaib sosoknya. Ia adalah tokoh yang riwayatnya terputus, terlupakan oleh generasi muda, dan bahkan bukti tertulis paling fundamental tentang dirinya pun kini tak diketahui wujud fisiknya.
Dalam sebuah wawancara, budayawan sekaligus arkeolog, Dharma Putra Gotama, membongkar miskonsepsi paling mendasar tentang tokoh ini.
"Jadi kalo orang orang bilang kan Singaperbangsa itu Bupati pertama karawang ya, nah kalo menurut saya sih kurang tepat," ujarnya membuka percakapan pada saat diwawancarai secara langsung, Jumat (1/8/2025).
Panggung sejarah bagi kedatangan Singaperbangsa adalah konflik panas antara Kesultanan Mataram dan VOC. Data historis mencatat, setelah serangan besar pertama ke Batavia gagal pada 1628-1629 akibat runtuhnya jalur logistik, Sultan Agung menyusun strategi baru. Kunci dari strategi tersebut adalah memastikan pasokan pangan tidak terputus untuk serangan berikutnya. Di sinilah Karawang, dengan hamparan sawahnya yang subur, menjadi wilayah yang sangat vital.
Konteks inilah yang menurut budayawan sekaligus arkeolog, Dharma, menjadi kunci untuk memahami peran Singaperbangsa yang sesungguhnya.
"Peran Karawang saat itu adalah sebagai lumbung pangan Mataram," jelas Dharma.
"Jadi dituliskan lah surat kerja lah istilahnya, tugas bahwa saat itu Wirasaba dan Singaperbangsa ditugaskan untuk menjaga kabupaten Karawang atau menjaga lumbung pangan dari Mataram itu sendiri."
Tugas inilah yang membentuk gaya kepemimpinannya. Laporan asisten residen Belanda yang pernah dibaca Dharma melukiskan Singaperbangsa sebagai sosok yang "cerdik". Ia tak pernah menetap di satu tempat, terus bergerak dari satu pos ke pos lain untuk mengawasi masa tanam dan panen. Taktik perangnya adalah gerilya, membuatnya menjadi sosok hantu yang sulit dilacak oleh mata-mata kompeni.
"Singaperbangsa tidak pernah teridentifikasi oleh Belanda sekalipun," tambah Dharma.
Kepandaiannya menyembunyikan diri inilah yang diyakini menjadi akar dari lahirnya berbagai mitos kesaktian yang melegenda hingga kini. Karena sulit ditemukan, apalagi dikalahkan, muncullah cerita-cerita hiperbolis untuk menjelaskan kehebatannya. Salah satu yang paling terkenal adalah mitos bahwa anggota tubuh Singaperbangsa harus dimakamkan secara terpisah untuk menangkal kekuatan magisnya.
"Kemungkinan cerita itu terlahir karena kesulitan mereka untuk membunuh Singaperbangsa ini sendiri," analisis Dharma.
Legenda ini masih hidup. Hingga kini, banyak masyarakat yang melakukan ziarah ke situs yang diyakini sebagai makamnya di Manggungjaya. Di tempat lain yang juga dikaitkan dengannya, seperti di sekitar Gunung Sanggabuana, muncul pantangan lokal. Misalnya, larangan menyembelih kambing. Mitos dan ritus ini menjadi satu-satunya "peninggalan" yang hidup dan diwariskan, meski kebenarannya tak dapat diverifikasi.
Ironisnya, di saat namanya diabadikan sebagai institusi pendidikan tinggi, sosok Singaperbangsa justru semakin asing bagi generasi muda Karawang. Dharma menyoroti ini sebagai masalah fundamental yang lebih luas.
"Sejarah dianggap kolot, dianggap tua, tidak menyenangkan. dan mungkin juga itu pengaruh terkait dengan pelajaran sejarah yang juga sifatnya Mitologis," katanya.
Akibatnya, mahasiswa di kampus yang menyandang namanya pun banyak yang tidak tahu siapa dia
Ketiadaan sumber menjadi tantangan lain. Saat ditanya mengenai buku rujukan, Dharma menggeleng. "Saya tidak bisa merekomendasikan buku, karena memang tidak ada yang komprehensif. Saya justru mengajak kita semua untuk berkolaborasi menelitinya," ungkapnya.
Bahkan Piagam Kandang Sapi Gede, dokumen bertahun 1633 yang menjadi dasar penetapan Hari Jadi Karawang dan bukti penugasan Singaperbangsa, wujud fisiknya banyak yang tidak mengetahui. Teksnya hanya bertahan melalui salinan dan kutipan dalam arsip-arsip kolonial.
Meski begitu, Dharma menyebut satu jejak peninggalan budaya yang paling mungkin untuk ditelusuri: sistem kalender.
"Terkait penggunaan kalender yang di combine atau yang dipadukan antara kalender Islam dengan kalender Jawa," hipotesisnya.
Pencarian Singaperbangsa akhirnya membawa kita pada sebuah simpulan. Ia bukanlah bupati, melainkan panglima penjaga ketahanan pangan. Warisannya bukanlah gedung pemerintahan, melainkan legenda kesaktian dan—mungkin—sebuah sistem penanggalan yang menyatu dengan denyut agraris masyarakatnya.
Kini, tantangannya adalah bagaimana mengubah sosok "gaib" ini dari sekadar nama di gerbang universitas menjadi bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Karawang yang sesungguhnya. Sebuah tugas yang, seperti diungkapkan Dharma, menanti untuk ditulis bersama.
Penulis: INA
Desainer: Fathya Salsabila