Sejarah Perkembangan dan Harapan Industri Film Indonesia
Redaksi
Artikel
30 Mar 2024

Film adalah bentuk seni yang terdiri dari gambar bergerak atau media komunikasi yang dapat disaksikan dan dipertontonkan dengan tujuan untuk menyampaikan pesan kepada penontonnya. Film dianggap sebagai media yang sangat efektif dalam menggambarkan kehidupan manusia dan realitas dunia.
Sebagai sebuah karya seni, film memiliki peran penting dalam mengabadikan sejarah, menginspirasi, dan memperkaya pengalaman manusia. Dengan menggabungkan elemen visual, audio, dan naratif, film mempunyai kekuatan untuk menghadirkan cerita-cerita yang mendalam serta merangsang imajinasi. Film juga merupakan cerminan dari berbagai aspek kehidupan manusia, mulai dari kisah cinta, persahabatan hingga perjuangan dan konflik sosial.
Selain itu, sebagai bentuk ekspresi kreatif, film memberikan ruang bagi para pembuatnya untuk menyampaikan pesan-pesan moral, sosial, atau politis kepada penontonnya. Melalui karakter-karakter yang mereka ciptakan, sutradara dan penulis skenario dapat mengangkat isu-isu penting dalam masyarakat dan memicu diskusi yang mendalam.
Sejarah Film di Indonesia
Sejarah sinema di Indonesia mencatat berbagai momen penting dari kelahiran Hari Film Nasional yang ditetapkan pada tanggal 30 Maret setiap tahunnya hingga kehadiran bioskop pertama di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900.
Di tahun 1926 pada masa kolonial ada satu film yang cukup populer, yaitu “Loetoeng Kasaroeng (1926)” yang disutradarai oleh sutradara asal Belanda, L.Heuveldorp. Film ini merupakan film bisu pertama di Indonesia (Hindia Belanda) yang terinspirasi dari cerita rakyat Jawa Barat. Film ini lebih banyak dibintangi oleh warga Belanda yang saat itu masih menduduki tanah Indonesia (Hindia Belanda).
Pada tahun 1940 perfilman di Indonesia dijadikan propaganda politik oleh Jepang selama 7 tahun lamanya. Pada masa ini hanya film politik Jepang yang diperbolehkan tayang.
Titik terang kebangkitan film Nasional adalah satu dekade setelahnya, yaitu pada 30 Maret 1950. Tanggal tersebut menandai hari pertama pengambilan gambar film “Darah dan Doa” atau dikenal dengan “Long March (Of Siliwangi).”
“Darah dan Doa” merupakan sebuah film perang Indonesia tahun 1950 yang disutradarai dan diproduseri oleh Usmar Ismail. Darah dan doa juga menjadi film nasional pertama Indonesia yang diproduksi secara resmi setelah Indonesia merdeka oleh Pusat Film Nasional (Perfini) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Ini merupakan film pertama yang diproduksi langsung dan dibintangi oleh penduduk asli Indonesia.
Melihat titik bangkit industri film nasional, maka dari itu setiap tanggal 30 Maret ditetapkan sebagai “Hari Film Nasional.”
Hari Film Nasional ditetapkan oleh Presiden RI Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 29 Maret 1999. Melalui keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 25 tahun 1999. Hari Film Nasional dicanangkan untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional, dan internasional.
Usmar Ismail: Bapak Film Indonesia
Usmar Ismail yang lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921 itu kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Tutup usia pada 2 Januari 1971, pada usia 50 tahun, namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah gedung perfilman Pusat Perfilman Usmar Ismail di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Sejak kecil darah seni yang mengalir di tubuh Usmar telah terlihat. Ia gemar menulis cerpen dan sajak yang pada akhirnya menjadi bekal baginya untuk mempunyai karir sebagai penulis skenario dan sutradara.
Selain menjadi pelopor film, Usmar juga berperan dalam lahirnya teater modern di Indonesia melalui dibentuknya kelompok sandiwara Maya pada tahun 1943. Namun pada tahun 1948, saat ia menjalani profesinya sebagai wartawan, ia sempat dipenjara selama 1 tahun karena tuduhan subversi.
Namun, pada tahun 1950 Usmar mampu bangkit dan mulai mendirikan Perfini (Persatuan Film Nasional Indonesia) yang dibentuknya bersama seniman lain. Pada hari yang sama itu juga, Usmar Ismail membuat film pertama yang menjadi tonggak sejarah awal mulanya perfilman di Indonesia, yaitu “Darah dan Doa.” Pada tahun 1952, pria asal Bukittinggi ini meneruskan studinya di Universitas California, Los Angeles, melalui beasiswa Rockefeller. Usmar kembali ke Indonesia dengan gelar Bachelor of Arts.
Masa Surut Film Indonesia
Di akhir tahun 1980-an, distribusi film mulai dimonopoli oleh pihak swasta, yakni Bioskop 21. Sejak diberlakukannya kebijakan distribusi film tersebut oleh pemerintah, bioskop-bioskop hanya menayangkan film-film dari Hollywood.
Sempat bangkit selama satu dasawarsa, perfilman Indonesia kembali memasuki masa surut pada tahun 90-an. Terjadi penurunan drastis dari sisi produksi dan juga peminat. Hal itu lantaran televisi yang berkembang kian pesat, banjir film asing dan ketidakmampuan untuk bersaing, krisis ekonomi, serta sederet faktor lainnya. Alhasil, jumlah film nasional pun kian merosot sampai di titik terendah.
Untuk mengatasi masa-masa sulit tersebut, berbagai langkah telah diambil. Salah satunya adalah merilis sejumlah film dewasa. Ini terjadi hingga era 90-an, yang ditandai oleh popularitas film panas Indonesia. Tetapi, upaya tersebut ternyata tidak mampu memberikan dorongan yang cukup bagi perfilman dalam negeri.
Era Kebangkitan
Pada 1990-an, terhitung sedikit sekali jumlah film lokal yang diproduksi. Film “Daun di Atas Bantal” yang merupakan karya dari sutradara Garin Nugroho, mampu meraih berbagai penghargaan di festival film internasional. Ini merupakan bukti bahwa masih ada karya anak bangsa yang berkualitas di balik terpuruknya industri film tanah air pada saat itu.
Perkembangan zaman dan teknologi, terus berkembang serta berinovasi dari masa ke masa. Dua momentum penting dalam pembabakan sejarah sinema Indonesia adalah periode era keemasan tahun 1970-1980-an dan era kebangkitan sinema tahun 2000-an. Pada era keemasan tahun 1970-1980-an, karya film secara produktif banyak dihasilkan, dan beberapa diantaranya dianggap sebagai karya masterpiece. Beberapa sutradara kawakan yang muncul pada era ini diantaranya, seperti Wim Umboh, Sjumandjaja, serta Teguh Karya.
Selanjutnya, era kebangkitan sinema tahun 2000-an, memunculkan film-film roman remaja dan horor dengan formula baru, yang dianggap sebagai sebuah angin segar bagi industri kala itu.
Perkembangan film nasional, bisa ditinjau dari genre-genre populer yang didominasi oleh horor, komedi, romance, juga genre religi. Keempat genre ini menjadi yang paling sering diproduksi dan diminati oleh penonton bahkan sampai saat ini.
Sedangkan Genre horor masih menjadi primadona hingga saat ini lalu diurutan kedua diduduki oleh genre romance remaja.
Dengan kepercayaan-kepercayaan mistik yang terus diromantisasi serta cowo badboy ganteng dan kaya ciri khas novel-novel kebanyakan terus dijadikan cerita berulang-ulang. Hal tersebutlah yang membuat dua genre ini selalu berada di urutan atas dalam jumlah penonton.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan genre-genre lainnya bisa populer dikalangan masyarakat, seperti genre komedi. Sejak tahun 2011-an awal hingga saat ini banyak film genre komedi yang laris di pasaran. Mulai dari “Koala Kumal” milik Raditya Dika, “Cek Toko Sebelah” milik Ernest Prakasa, sampai “Agak Laen” yang disutradarai oleh Acho.
Meskipun beberapa film dengan genre komedi banyak sekali menyinggung masyarakat-masyarakat yang peduli banget kemanusiaan dan bercandaan ableist. Namun, dengan munculnya ketersinggungan itu mampu menghasilkan diskusi-diskusi menarik yang bisa meningkatkan kualitas film tanah air.
Harapan Untuk Industri Film Nasional
Dari masa keemasan, masa surut, hingga masa kebangkitan, sinema Indonesia terus melaju maju dan menunjukan kualitasnya. Dukungan, apresiasi, serta diskusi-diskusi tentang film yang selalu hadir dari masyarakat menjadi kunci keberhasilan dalam mempertahankan dan mengembangkan industri film nasional. Semoga untuk saat ini sampai seterusnya industri film Indonesia semakin berkembang dan menghasilkan film-film menarik yang bisa memancing masyarakat untuk berdiskusi bersama.
Selamat hari film Nasional ke-74!
Penulis: Maikeljerem