Sejarah Pembredelan Buku-Buku Indonesia, Apakah Kembali Terjadi Saat Ini?
Redaksi
Esai
07 Apr 2025

Pembredelan karya seni terjadi kembali saat ini, mulai dari pembatalan pameran lukisan hingga penurunan lagu band Sukatani. Beberapa karya seni tersebut diturunkan sebab dianggap mengancam. Dalam konteks ini, pembredelan bukan hanya sekedar masalah individu atau kelompok, melainkan juga ancaman terhadap kebebasan berpikir dan berkreasi. Adanya kasus pembredelan yang kembali muncul telah membuat keresahan jika karya lainnya akan ikut “diamankan”, salah satu kewaspadaan target selanjutnya adalah buku-buku yang dianggap kritis atau tidak sejalan dengan pandangan tertentu.
Pelarangan buku di Indonesia merupakan tindakan yang sudah tidak asing sebab bangsa ini telah melewati sejarah panjang sejak masa kerajaan, penjajahan, era presiden Sukarno, dan Orde Baru. Pada tahun 1963, Sukarno mengeluarkan UU No.4/PNPS/1963 tentang pengamanan barang cetakan. Puncak pelarangan buku terjadi pada saat pemerintahan Soeharto. Salah satu buku-buku yang dikecam beredar ialah karya sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer.
Sebenarnya, razia buku tetap masih berjalan hingga kini, tetapi penyitaan buku tidak begitu kejam seperti dahulu. Sejak era reformasi, sejumlah buku disita karena dianggap mengandung topik seputar tragedi 1965, komunisme, PKI, sejarah, bahkan buku-buku mengenai Sukarno.
Kembali munculnya RUU TNI membangkitkan keresahan masyarakat terkait beberapa karya sastra yang mungkin akan dilarang kembali. Karya-karya yang dianggap melawan atau memberikan kritik kepada pemerintah kemungkinan akan kembali dibungkam. Pengawasan penerbitan serta peredaran buku kembali melalui masa ketat. Penulis akan dibatasi dalam menyuarakan kebebasan berekspresi melalui tulisannya. Tetapi, bukankah karya seni menjadi salah satu alat kritik masyarakat terhadap pemerintah?
Saat ini, masyarakat masih bisa merasakan kebebasan untuk menulis dan membaca buku apapun. Namun, bagaimana jika kebebasan tersebut direnggut kembali? Memiliki dan membaca buku akan terasa sulit. Memegang sebuah buku seakan sedang mempertaruhkan nyawa. Akankah bangsa ini kembali mengulang sejarah kelam dan menghadapi ketakutan yang sama?
Jika kebijakan ini kembali diberlakukan maka akan menciptakan ruang berpendapat yang sempit, pemikiran kritis akan dibatasi, dan masyarakat akan kembali dihantui oleh rasa ketakutan dalam menyuarakan kritik. Hal ini akan memperlemah demokrasi dan hak asasi manusia, mempersempit ruang gerak serta berekspresi melalui karya bagi bangsa Indonesia. Kebijakan ini juga berpengaruh bagi dunia akademik yang membutuhkan pengetahuan luas serta mendalam untuk mengetahui sejarah-sejarah yang telah terjadi pada bangsa Indonesia.
Situasi ini menjadi peringatan bagi masyarakat Indonesia untuk lebih waspada dan aktif dalam bersuara guna mempertahankan hak atas kebebasan berpendapat melalui karya seni. Penting untuk diingat bahwa keberagaman pandangan dan adanya kritik merupakan bagian dari suatu negara demokrasi. Buku sebagai sumber ilmu seharusnya tidak diberikan batasan. Bangsa ini harus senantiasa melawan bentuk pembredelan buku dan memastikan bahwa sejarah tidak akan terulang kembali, baik di pemerintahan ini atau pemerintahan di masa mendatang.
Referensi:
Amindoni, A. (2019, Januari 9). Razia buku: Mengapa buku-buku berhaluan kiri menjadi sasaran? Diambil kembali dari BBC NEWS INDONESIA: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46796449
Tony, F. (2019, Januari 26). Orde Baru: Rezim Pelarang, Perampas, dan Pembakar Buku. Diambil kembali dari Tirto.id: https://tirto.id/orde-baru-rezim-pelarang-perampas-dan-pembakar-buku-de7K
Penulis: Nebula
Desainer: CBS