#SaveRajaAmpat: Eksploitasi Surga Terakhir

Redaksi
Opini
13 Jun 2025
Thumbnail Artikel #SaveRajaAmpat: Eksploitasi Surga Terakhir
Tagar #SaveRajaAmpat, yang diprakarsai oleh Greenpeace Indonesia sebagai bentuk protes terhadap rencana pertambangan nikel, kini tengah viral di media sosial. Awalnya, tagar tersebut dibuat sebagai kampanye untuk menolak izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat. Greenpeace mempopulerkan tagar ini dalam berbagai unggahan di Instagram, TikTok, dan X (Twitter), lengkap dengan permintaan mereka, yaitu mencabut izin tambang, meninjau kebijakan nikel nasional, dan melindungi masyarakat adat serta ekosistem laut. Kasus ini menjadi gambaran betapa kuatnya rakyat yang bersatu di ruang digital mampu mengangkat isu lokal menjadi pembahasan nasional, bahkan internasional. Saya, sebagai mahasiswa yang memiliki peran penting sebagai agent of change, tidak bisa tinggal diam menyaksikan tanah dan laut yang kaya dirusak atas nama pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat maupun alam itu sendiri.

Raja Ampat bukan sekadar objek wisata atau kawasan yang indah untuk dilihat. Raja Ampat memiliki julukan “surga terakhir di bumi” karena kekayaan keanekaragaman hayati di darat maupun laut. Menurut Greenpeace, Raja Ampat adalah rumah bagi ribuan spesies laut yang langka, 75% spesies terumbu karang dunia dan memiliki lebih dari 2.500 spesies ikan, 47 spesies mamalia, serta 274 spesies burung. Raja Ampat juga merupakan wilayah adat yang sakral, serta sumber penghidupan dan identitas masyarakat lokal. Kondisi kekayaan alam Raja Ampat seketika hilang akibat pengerukan tambang nikel yang dilakukan oleh perusahaan PT. GAG Nikel dan beberapa perusahaan lainnya. Penambangan ini ternyata telah diberikan izin oleh pemerintah tanpa mengindahkan suara masyarakat luas maupun masyarakat adat.

Sebelum rencana tambang muncul, pulau-pulau kecil, terumbu karang, dan semua hal mengenai keindahan alam di Raja Ampat telah diakui dunia melalui media sosial. Raja Ampat semestinya menjadi ikon ekowisata global, simbol masa kini yang menyatukan konservasi, pariwisata, budaya lokal, juga menjadi lambang masa depan selaras dengan alam. Namun jika tambang dibiarkan masuk, kita hanya akan menyaksikan sebuah ironi besar, negeri yang kaya akan alam, tetapi miskin keberanian untuk menjaganya. Alasan masyarakat sangat tidak setuju dengan adanya pembangunan tambang nikel di Raja Ampat karena melihat air laut yang dulunya jernih sekarang menjadi keruh. Lumpur tambang menyelimuti dasar laut, menutupi lamun dan terumbu karang yang menjadi rumah bagi ribuan ikan maupun spesies langka. Air yang tercemar dan dipenuhi logam berat membuat banyak masyarakat mengalami gangguan kesehatan seperti kulit gatal, gangguan pernapasan, dan masalah pencernaan. Untuk mandi dan minum saja mereka harus bertarung dengan air yang tercemar. Mirisnya lagi, masyarakat adat yang tinggal di sana hampir selalu berada dalam posisi terpinggirkan. Suara mereka sering diabaikan, padahal mereka yang paling memahami tanah itu. Mereka tidak hanya tinggal di Raja Ampat, mereka hidup bersama alamnya.

“Save Raja Ampat! Papua bukan tanah kosong!” teriak Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, yang tidak setuju dengan keberlanjutan pembangunan tambang nikel tersebut. Bagaimana mungkin di era keterbukaan informasi seperti sekarang, keluh kesah masyarakat adat yang menolak pembangunan di wilayah mereka sendiri diabaikan begitu saja? Pembangunan tambang nikel di Raja Ampat adalah pilihan yang salah. Tambang nikel di Raja Ampat telah memecah belah komunitas adat dan menggoyahkan ekonomi berbasis pariwisata serta perikanan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Salah secara moral karena membuka tambang di Raja Ampat itu tindakan egois yang merusak warisan alam dan budaya, hanya demi keuntungan jangka pendek segelintir pihak. Kesalahan secara ekologisnya, yaitu pembangunan tambang nikel di Raja Ampat menghancurkan terumbu karang yang menjadi rumah bagi 75 % spesies karang dunia serta ribuan spesies ikan. Ada juga kesalahan dalam aspek ekonomi yang merugikan masyarakat lokal, kawasan tersebut menyumbang devisa lewat pariwisata dengan kunjungan turis meningkat tiga kali lipat, namun karena adanya pembangunan tambang nikel membuat nelayan dan pelaku wisata kehilangan mata pencaharian utama mereka.

Bagaimana bisa kita menganggap kawasan yang selama ini menjadi contoh keberhasilan konservasi justru dijadikan lahan tambang? Ini soal keserakahan yang mengancam salah satu kawasan paling berharga di Indonesia, bahkan dunia. Raja Ampat bukan hanya tanah kosong yang bisa seenaknya dijadikan lahan industri. Kita seharusnya bertanya siapa yang benar-benar diuntungkan dari proyek tambang ini? Masyarakat lokal? Sepertinya hanya oknum tertentu saja. Sementara masyarakat sekitar hanya mendapat janji manis, polusi, dan tanah yang rusak.

Pada 5 Juni 2025, Menteri ESDM menghentikan atau menunda sementara kegiatan operasi PT GAG Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. Akhirnya, pada 10 Juni 2025, diresmikannya pencabutan izin tambang di Raja Ampat, setelah sekian lama masyarakat bersuara, melakukan protes, dan menuntut perlindungan atas tanah serta laut mereka. Tanggal tersebut akan dikenang bukan hanya sebagai momen administratif, tetapi sebagai bukti bahwa suara masyarakat bisa mengubah arah kebijakan, walaupun harus melewati jalan panjang dan penuh tekanan. Langkah pencabutan ini memberi harapan baru bagi masa depan Raja Ampat, terutama karena selama ini wilayah tersebut dibiarkan berada dalam ketidakpastian. Bayangkan saja, kawasan begitu kaya akan keanekaragaman hayati, bahkan diakui dunia lewat status Geopark UNESCO, sempat terancam oleh aktivitas pertambangan yang bisa menghancurkan ekosistem laut secara perlahan tetapi pasti. Maka ketika pemerintah akhirnya mengambil keputusan tegas, banyak yang merasa lega, meskipun tidak sepenuhnya tenang.

Izin tambang di Raja Ampat memang sudah dicabut, namun pertanyaannya, apakah ini jaminan bahwa hal serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan? Sejarahnya berkata lain. Raja Ampat bukan satu-satunya cerita. Ia hanya menjadi sorotan karena keindahannya sudah dikenal dunia. Tetapi bagaimana dengan wilayah lain yang tidak memiliki daya tarik wisata sekelas Raja Ampat? Apakah mereka akan diberi perlindungan yang sama? Atau justru dibiarkan jadi korban berikutnya karena dianggap “tak terlalu penting”? Kasus demi kasus terus muncul, seperti penambangan yang merusak kawasan lindung di Karawang Selatan, tepatnya di Desa Tamanmekar, Kecamatan Pangkalan. Di sana dijadikan tempat eksploitasi tambang batu gamping, merusak kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan bagi warga sekitar, memicu kerusakan lingkungan, hingga konflik sosial. Sayangnya, karena Karawang tidak memiliki citra wisata sekuat Raja Ampat, suaranya kerap luput dari perhatian publik maupun pemerintah.

Padahal, Karawang juga layak dilindungi. Hutan, air, dan ruang hidup warga Karawang sama berharganya. Pencabutan izin di Raja Ampat seharusnya menjadi pintu masuk untuk evaluasi dan penghentian izin-izin tambang yang bermasalah di wilayah lain, termasuk Karawang Selatan. Kita tidak bisa terus membiarkan satu daerah diselamatkan, sementara yang lain dibiarkan rusak secara perlahan. Karena itu, saya mendukung penuh agar aktivitas tambang di Karawang Selatan juga dihentikan. Bukan hanya demi menyelamatkan lingkungan, tetapi demi menegakkan prinsip keadilan ekologis.

Opini ini saya tulis bukan hanya untuk membahas pencabutan izin tambang di Raja Ampat, namun untuk menggugah pertanyaan yang lebih besar, Apakah hal seperti ini akan terus terjadi? Apakah pencabutan izin hanya akan jadi respons sesaat ketika tekanan publik memuncak, atau bisa benar-benar menjadi awal dari perubahan cara kita memperlakukan alam? Jika Raja Ampat akhirnya bisa diselamatkan dari ancaman tambang, apakah wilayah lain yang juga menghadapi tekanan serupa seperti Karawang Selatan juga punya harapan yang sama? Apakah suara masyarakat di sana akan didengar? Apakah kerusakan yang sudah terjadi bisa dihentikan dan dicegah agar tak semakin parah?


Referensi:
Karina, Dina. (8 Juni 2025). Kementerian ESDM Sebut Tambang Nikel di Raja Ampat Tidak Ada Masalah. Kompas TV. https://www.kompas.tv/ekonomi/598233/kementerian-esdm-sebut-tambang-nikel-di-raja-ampat-tidak-ada-masalah? 

Manaf, Latifudin. (12 Januari 2025). Lika-Liku PT MPB Perolehan WIUP dan IUP Eksplorasi Batu Gamping di Karawang Selatan. Delik.co.id. https://delik.co.id/lika-liku-pt-mpb-peroleh-wiup-dan-iup-eksploitasi-batu-gamping-di-karawang-selatan-1/ 

Milko, Victoria. (31 Januari 2025). Experts and advocates warm of nickel mining’s risk to precious marine region of Indonesia. Apnews. https://apnews.com/article/nickel-mining-coral-reefs-indonesia-evs-raja-ampat-c4dfe12a5bd97eac2f9e3a19f17b5b3c 

Moifilit, Samuel. (13 Maret 2025). Raja Ampat Papua Terancam Dieksploitasi Perusahaan Tambang. Amanor.id. https://www.aman.or.id/news/read/2037?  

Nugraheny & Ika. (8 Juni 2025). Polemik Tambang di Raja Ampat: Diprotes ihentikan Sementara, Nasib Operasi Menanti. Kompas.com. https://money.kompas.com/read/2025/06/08/093000626/polemik-tambang-nikel-di-raja-ampat--diprotes-aktivis-izin-dihentikan 

Rahayu, Riri. (6 Juni 2025). Bahlil: Izin Tambang Nikel di Raja Ampat Terbit Sebelum Saya Jadi Menteri. Tempo.co. https://www.tempo.co/ekonomi/bahlil-izin-tambang-nikel-di-raja-ampat-terbit-sebelum-saya-jadi-menteri-1663002 


Penulis: Ain Raudhotil Jannah
Desainer: Deviana Cahya Lestari

LPM Channel

Podcast NOL SKS