Ruang Aman Jurnalis Perempuan

Redaksi
Artikel
11 Mar 2023
Thumbnail Artikel Ruang Aman Jurnalis Perempuan
Wartawan yang tergabung dalam Forum Jurnalis se-Surabaya membentangkan poster ketika aksi solidaritas jurnalis di Surabaya, Jawa Timur, Senin (29/3/2021). 
(Sumber: ANTARA FOTO/Zabur Karuru)

Reformasi di Indonesia memasuki usia 24 tahun, era dimana kebebasan berpendapat dan berekspresi hadir di setiap sudut kehidupan masyarakat Indonesia yang diatur dalam pasal 28 UUD NRI tahun 1945. Tidak terkecuali para pekerja media, dalam tatanan negara tidak terhindarkan dari peran pers yang memiliki peran sangat besar dari berbagai aspek. 

Pers tentu sangat penting bagi pertumbuhan bangsa, yaitu memberikan gambaran serta informasi sehingga memberikan reaksi baik maupun buruk kepada masyarakat. Dunia jurnalis sendiri, media dan perempuan memiliki keterikatan yang berjalan seiringan.

Sebagai sebuah organisasi media yang terdiri dari berbagai divisi dan termasuk di dalamnya jurnalis perempuan dan laki-laki, keduanya memiliki tugas yang sama, yakni mencari bahan liputan dan menyampaikannya pada publik. Namun, pandangan bahwa pekerjaan ini hanya cocok untuk laki-laki, tampak dari lebih banyak jumlah para jurnalis laki-laki dibandingkan dengan perempuan. 

Ruang aman untuk jurnalis perempuan harus diawali dengan adanya kesadaran kesetaraan gender dan budaya nirkekerasan di ruang redaksi dan perusahaan media secara umum. Nantinya, akan mendapatkan pencegahan normalisasi kekerasan jurnalis perempuan karena adanya pandangan dan kultur misoginis. 

Diskriminasi gender 

Konsep gender yang melekat pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial maupun kultural, seperti perempuan yang dianggap sebagai makhluk cantik, lemah lembut dan sebagainya. Sementara untuk laki-laki yang dianggap sebagai sosok yang kuat, jantan dan perkasa. 

Sudah semestinya media-media menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang tidak mengenal diskriminasi gender dalam hal pemenuhan hak-hak normatif tenaga kerja. Namun, realistisnya jurnalis perempuan sering mengalami diskriminasi. Contohnya, jurnalis perempuan lebih sering diberikan tugas porsi liputan di bidang hiburan atau gaya hidup. Akibatnya, jurnalis perempuan sulit dan terbatas untuk memiliki kesempatan berkembang. 

Standar Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam hal pengupahan untuk pekerja perempuan, termasuk di media, ini juga merupakan salah satu Undang-Undang yang banyak digunakan oleh media.

Konteks perbedaan gender yaitu ketidakadilan, diskriminasi gender, kesetaraan, dan keadilan gender yang berkaitan dengan status dan dapat memiliki kondisi yang sama tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. 

Minimnya jumlah perempuan dalam pengelolaan dan kepemilikan media tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara lain seperti Amerika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Byerly menunjukkan bahwa kurang dari enam persen perempuan yang mengelola dan memiliki media seperti stasiun radio dan televisi. 

Banyak media di Indonesia yang belum memenuhi hak-hak jurnalis perempuan dalam media massa, contohnya cuti haid dan ruang laktasi. Hal tersebut telah disebutkan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, namun jurnalis perempuan yang telah menikah dan memiliki anak tetap ditempatkan pada status single. Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan hak-hak pekerja seperti tunjangan kesehatan keluarga ataupun asuransi untuk anak mereka. 


Dari sembilan anggota Dewan Pers Indonesia di periode saat ini, semuanya adalah laki-laki. Tercatat, Dewan Pers pernah memasukkan unsur keterwakilan perempuan sebagai anggota, yakni Uni Lubis dan Ratna Komala di periode yang berbeda.

Sebagai perwujudan kesetaraan gender di kalangan jurnalis perempuan, sangat perlu adanya rekonstruksi hukum dimana laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan dan hak sama. Diskriminasi antara laki-laki dan perempuan tidak hanya terjadi pada dunia jurnalis saja, melainkan juga dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, masyarakat juga perlu meningkatkan kepekaan agar hal tersebut tidak terjadi pada lingkungan sekitar. 


Untuk perlindungan bagi jurnalis perempuan dan penanganan laporan kekerasan seksual, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyediakan laman khusus pengaduan. Saat ini AJI juga sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus yang berlaku untuk 1.800 anggota AJI se-Indonesia.


Serangan Fisik yang bersifat seksual 

Kekerasan terhadap jurnalis perempuan merupakan hal yang paling berbahaya dan berakibat sangat buruk untuk psikologis jurnalis perempuan. Pengalaman buruk tersebut pernah dialami oleh banyak jurnalis perempuan, dan terdapat 22% responden PR2Media yang pernah mengalami serangan fisik yang bersifat seksual. 

Tuntutan pekerjaan sering berpotensi menempatkan jurnalis perempuan pada posisi yang sulit. Isu lingkungan ialah topik liputan yang berisiko terhadap keselamatan jurnalis perempuan. Committee To Protect Journalists (CPJ) menyatakan menjadi “jurnalis hijau” bisa dikatakan sama risikonya dengan menjadi koresponden perang. 

Rekomendasi aksi yang bisa korban lakukan dalam mencegah dan menyikapi kekerasan terhadap jurnalis perempuan; apabila narasumber mempunyai indikasi untuk melakukan pelecehan atau kekerasan, jurnalis perempuan bisa meminta untuk mengganti posisi sementara.

Pelaku yang berasal dari narasumber, seperti narasumber yang telah melampaui batas (merayu, melecehkan, atau melakukan kekerasan secara fisik), jurnalis perempuan berhak menegur langsung dengan cara yang sopan. 

Jika kasus-kasus yang lebih berat, jurnalis perempuan bisa melakukan tindakan yang lebih tepat, seperti pemidanaan pelaku kekerasan dan bantuan pemulihan bagi korban. Perusahaan media bahkan bisa memberikan bantuan finansial dan bantuan hukum .

Dewan Pers saat ini belum memiliki pedoman khusus untuk organisasi media jika jurnalis perempuan mengalami kekerasan. Dewan Pers juga belum melakukan evaluasi rutin tindakan kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Proses evaluasi Dewan Pers lebih banyak berbasis laporan, yang berarti ada dan tidaknya evaluasi masih didasarkan pada laporan yang berasal dari jurnalis, asosiasi jurnalis, atau unsur masyarakat.

Penulis: Siti Halimah

LPM Channel

Podcast NOL SKS