Judul: Jangan Panggil Mama Kafir

Tanggal Rilis: 16 Oktober 2025

Sutradara: Dyan Sunu Prastowo

Produser: Yeon K dan Zoya Salsabila 

Produksi: Maximal Pictures dan Rocket Entertainment

Genre: Drama

Durasi Film: 110 Menit

 

Sinopsis:

Mengisahkan perjuangan Maria, seorang perempuan Kristen yang menikah dengan Fafat, seorang Muslim, meski hubungan mereka ditentang karena perbedaan keyakinan. Setelah Fafat meninggal karena kecelakaan, Maria berjuang membesarkan putri mereka, Laila, sesuai janji kepada suami untuk mendidiknya dalam ajaran Islam. Namun, usahanya dipertanyakan oleh Ustadzah Habibah, Ibu Fafat, yang ingin mengambil hak asuh Laila. Konflik batin dan keyakinan pun muncul, hingga akhirnya Maria membuktikan kasihnya sebagai seorang ibu dan memilih memeluk Islam, menegaskan bahwa cinta dan iman sejati dapat tumbuh dari ketulusan, bukan paksaan.

 

Review Film:

Ketika saya mulai menonton film ini, saya langsung tertarik dengan premisnya: seorang ibu nonmuslim, Maria, menikah dengan Fafat, seorang pria Muslim. Lalu setelah Fafat wafat, Maria berkomitmen untuk mendidik anak mereka, Laila, dalam ajaran Islam.

 

Sepintas tampak seperti konflik antaragama biasa, namun yang menarik adalah bagaimana film ini mengangkat cinta dan toleransi sebagai aspek lebih besar daripada sekadar perbedaan keyakinan.

 

Saat melihat Maria berjuang sendirian, saya merasa tergerak. Ia bukan hanya menghadapi kehilangan suami, tetapi juga beban janji yang pernah dibuatnya. Janji untuk membesarkan Laila “sebagai Muslim”, sesuai keinginan almarhum suami. Pada satu sisi, saya bersimpati dengan Maria yang berada di posisi “luar” dalam keyakinan, tetapi memilih untuk menghormati dan menjalankan komitmennya. Pada sisi lain, muncul juga rasa penasaran saya terhadap Laila yang tumbuh dan mulai mempertanyakan identitas serta keyakinan ibunya. Bagaimana ia akan memaknai “agama” dalam konteks keluarga yang unik ini?

 

Film ini bagi saya menjadi pengingat bahwa kasih seorang ibu tidaklah mengenal batas agama. Maria selalu mencoba hadir untuk anaknya, dengan segala kerempongan dan kebingungan yang mungkin ia rasakan. Ada momen‐momen kecil yang terasa sangat manusiawi: kebingungan Maria ketika menghadapi tradisi yang asing baginya, keinginan Laila untuk tahu siapa ia sebenarnya, dan keteguhan Fafat (meskipun sudah tiada) sebagai motif pendorong agar Maria tetap berjalan.

 

Akhirnya, saya merasa film ini bukan semata‐mata tentang “perbedaan keyakinan”, melainkan tentang betapa manusia lebih besar daripada label agama. Toleransi di sini bukan hanya soal “hidup berdampingan”, tetapi soal “menghargai, memilih, dan mencintai” bahkan saat segala sesuatunya tidak mudah. Saat saya menutup film, ada satu kalimat yang masih terngiang: bahwa kemanusiaan hadir ketika kita memberikan ruang untuk memahami, bukan memaksakan.

 

Kelebihan:

Kelebihan film Jangan Panggil Mama Kafir terletak pada kekuatan ceritanya yang sederhana namun sarat makna. Film ini berhasil menampilkan isu toleransi dan perbedaan keyakinan secara hangat serta manusiawi tanpa terkesan menggurui. Akting Cut Mini sebagai Maria menjadi sorotan utama karena mampu menghadirkan emosi yang kuat dan natural, membuat penonton ikut merasakan dilema serta keteguhan hatinya. Sinematografinya pun mendukung suasana cerita dengan tone lembut yang memperkuat kesan emosional di setiap adegan.

 

Kekurangan:

Kekurangan film ini terdapat pada alur yang cenderung lambat dan beberapa adegan terasa berulang, sehingga mungkin membuat sebagian penonton kehilangan fokus. Selain itu, karakter pendukung kurang mendapat porsi pengembangan yang memadai sehingga konflik di luar tokoh utama terasa kurang mendalam. Meski begitu, kelemahan tersebut tidak terlalu mengurangi esensi film yang tetap kuat dalam menyampaikan pesan tentang cinta, pengorbanan, dan makna toleransi dalam kehidupan beragama.

 

Kesimpulan:

Secara singkat, Jangan Panggil Mama Kafir adalah film menyentuh dan penuh makna tentang kasih seorang ibu yang melampaui batas keyakinan. Melalui kisah Maria dan Laila, film ini mengajarkan pentingnya toleransi, cinta, dan penghormatan terhadap perbedaan. Meski dibalut konflik agama, inti ceritanya justru menyoroti nilai kemanusiaan yang universal bahwa kasih sayang sejati tidak mengenal sekat agama maupun kepercayaan.

 

Penulis: ZJM
Desainer: Silvia Aidha Rohma