Resensi Buku Namaku Alam: Sang Photographic Memory di Zaman Orde Baru

Redaksi
Resensi Buku
08 Mar 2025
Thumbnail Artikel Resensi Buku Namaku Alam: Sang Photographic Memory di Zaman Orde Baru
Judul                   : Namaku Alam
Pengarang         : Leila S. Chudori
Penerbit             : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tanggal terbit   : 20 September 2023
ISBN                  : 978-623-134-082-5
Jenis                   : Fiksi
Tebal halaman : 438 Halaman

Isi Resensi

“Pencatatan sejarah negeri ini sangat buruk, Alam. Kita digenggam penguasa, dan mereka yang menentukan arah sejarah Indonesia sesuai kepentingan mereka memelihara kekuatan dan kekuasaan ….”   

Kutipan di atas merupakan salah satu dialog antara seorang guru sejarah, Ibu Umayani, dan muridnya yang bernama Segara Alam. Alam adalah anak yang dikaruniai  photographic memory. Ia merupakan putra dari seorang wartawan bernama Hananto Prawiro, yang lahir pada 1965 di saat situasi politik di negeri ini sedang berada di titik terpanas. Saat itulah, Alam pertama kali mendengar lebih jauh tentang bapaknya yang dituduh sebagai “Pengkhianat Negara” dan akhirnya dieksekusi, tentang suatu malam yang misterius, membingungkan, tanggal 30 September 1965. 

Buku ini membuat pembaca dapat mengetahui bagaimana pertama kali Alam berkenalan dengan kelam, pertemuannya dengan Bimo–sahabatnya, kehidupan masa kecil hingga masa remaja Alam, dan tentu saja seperti apa kekejaman pada masa pemerintahan Orde Baru yang sangat minim dibahas di sekolah, sejarah yang sangat bias kepentingan. Sejarah yang diceritakan seringkali tidak membahas bagaimana suatu rezim mencabut kehidupan suatu kelompok hingga keturunannya yang dianggap sangat bersalah, dengan cara yang sangat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Setelah Hananto ditangkap dan dieksekusi, Alam dan keluarganya harus menghadapi intimidasi, interogasi, dan perlakuan diskriminatif dari aparat serta masyarakat yang memberikan stigma buruk kepada mereka sebagai keluarga tahanan politik sehingga mereka harus hidup dalam keadaan “merunduk”.  Perselisihan antara Alam dan Irwan, sepupunya, juga diceritakan secara jelas dalam buku ini. Selain itu, buku ini juga menceritakan kesulitan yang dialami oleh anak-anak dari tahanan politik seperti diskriminasi dalam pendidikan dan tidak mendapatkan hak yang sama dengan anak yang bukan dari kalangan tapol. 
Kesulitan terus berlanjut saat Alam akhirnya jatuh cinta kepada seorang gadis bernama Dara yang memiliki latar belakang keluarga sangat jauh berbeda dengan Alam, saat itulah ia harus memilih antara harga diri keluarganya atau hubungannya.

Kelebihan
Leila membuat karakter Alam memiliki ciri khas yang membuat pembaca mampu merasakan apa yang sedang diceritakan. Baik dari segi fisik, kemampuan berpikir, serta bahasa yang Alam gunakan. Penambahan sketsa juga membantu pembaca untuk lebih memahami isi buku ini. 

Kekurangan 
Dari banyaknya kelebihan, satu hal yang menjadi kekurangan dari buku ini adalah penggunaan kalimat  photographic memory yang cukup sering diulang. Hal tersebut, membuat saya sebagai pembaca merasa terganggu dan bosan.

Kesimpulan 
Secara keseluruhan, buku ini sangat membantu generasi di masa sekarang untuk lebih mengenal bagaimana sejarah dari bangsa Indonesia sendiri yang sering terlupakan. Mengingat banyak pepatah yang mengatakan bahwa dengan tidak melupakan sejarah, artinya kita tidak ingin mengulanginya lagi. Untuk teman-teman yang ingin mulai mengenal sejarah bangsanya sendiri, “Namaku Alam” karya Leila cocok menjadi sebuah permulaan yang baik.

Penulis: Lurry Puspa Kinasih
Desainer: Eva Septiani

LPM Channel

Podcast NOL SKS