Resensi Buku Cendera Kata: Kumpulan Puisi Cendera Kata, Mengisahkan Ibu atau Perempuan Lainnya?

Redaksi
Resensi Buku
20 Feb 2023
Thumbnail Artikel Resensi Buku Cendera Kata: Kumpulan Puisi Cendera Kata, Mengisahkan Ibu atau Perempuan Lainnya?
Identitas Buku
Judul         : Cendera Kata
Penulis     : Aditya Fatur Rochim
Penerbit     : Elan Pustaka
Cetakan     : November 2022
ISBN         : 978-623-09-0773-9

Cendera Kata merupakan buku pertama Aditya Fatur Rochim, seorang alumnus PBSI Unsika. Buku ini berisi kumpulan tujuh puluh sembilan puisi, yang berkisah tentang kehilangan dan kerinduan pada sosok perempuan yang disebut ibu. Namun, buku puisi ini bersifat universal. Selain ditujukan untuk ibu, dapat juga ditujukan untuk orang lain, seperti kekasih atau kawan. Kumpulan puisi dilengkapi ilustrasi yang dibuat sendiri oleh penulisnya.

Puisi mengeksplor kegelisahan-kegelisahan yang ditimbulkan oleh rasa kesepian dan kehilangan. Aku lirik selalu melibatkan pihak kedua sebagai seseorang yang dijadikan objek kerinduan.

Kerinduan disebabkan oleh waktu dan keadaan. Manusia tidak bisa menghentikan waktu, hingga objek tak berada di sisinya. Di beberapa puisi diceritakan bahwa objek tergerus waktu. Hal ini dapat dipahami objek telah berpulang ke alam yang berbeda.

Puisi menjadi menarik karena dalam penyampaiannya penulis rajin menggunakan gaya majas metafora untuk menyampaikan perasaan atau emosi dengan suatu objek yang berbeda. Contohnya seperti penggunaan diksi terang, biru, langit, pohon, cahaya, dan banyak diksi sejenis untuk mengungkapkan kondisi psikologi aku lirik. Banyaknya penggunaan majas di beberapa puisi terkesan dipaksakan dan menghilangkan sisi natural puisi.

Sebagai pembaca, saya merasa puisi dalam buku Cendera Kata sangat muram. Aku lirik menikmati kesendirian, kesepian, dan kerinduan yang tak pernah berbalas. Isotopi merindukan masa lalu, terbelenggu kenangan, mengikhlaskan kepergian, banyak tersaji dalam buku.

Aku lirik mencoba mengikhlaskan semua, tetapi secara tidak sadar aku lirik tak mampu lepas dari kenangan dan luka. Bahkan, aku lirik seolah merawat luka-luka agar terus hidup dalam dirinya. Mengapa?

Kumpulan puisi Cendera Kata terdiri dari tiga bab utama. Pada bab pertama __Cendera Kata__ aku lirik menceritakan kehilangan terhadap tokoh/objek. Bab dua__Lentera di Dalam Kabut__ menceritakan kerinduan pada sosok ibu atau objek dalam puisi. Sedangkan, bab tiga__Tentang Secangkir Kehidupan__menggambarkan perjuangan dalam menghadapi segala masalah kehidupan yang dijalani seorang diri. 

Cendera Kata mengajak pembaca menyelami psikologi seorang anak yang kehilangan. Seorang anak yang baru menyadari kehadiran  sosok setelah kehilangan. Waktu memisahkan antara anak dan ibu. Tidak ada ganti yang tepat, tidak ada kenangan yang dapat diulang, kecuali hanya cukup diingat dan dirindukan.

Aku lirik tidak berdaya ketika hidup sendirian. Perasaan tersebut dapat ditemukan dalam banyak puisi, salah satunya puisi “Hidup di Dalam Diriku”.
Pada bagian Lentera di Dalam Kabut, puisi-puisi bercerita tentang rasa rindu yang sangat berat. Aku lirik selalu terbayang sosok ibu. Perasaan kehilangannya menjelma kerinduan. Musim berganti musim, perasaan tersebut tak kunjung usai. Aku lirik terus menyelami kehilangan dalam sebuah kerinduan. Puisi “Resto Gamang”.

Belum satupun di antaranya menyantap jamuan.
Warna langit semakin kelam, hari mulai malam
Sedangkan aku, lagi lagi memesan rindu,
Lengkap dengan kekhawatiran, kecewa, dan air mata

Aku lirik mencoba menjadi penulis puisi, aku lirik mengabadikan kerinduan  dalam larik-larik yang ditulis. Sekilas gaya semacam ini sedikit mirip Sapardi Djoko Damono pada puisi berjudul “Pada Suatu Hari Nanti”. Salah satu contohnya terdapat pada puisi “Merayakan Kehilangan”.

Biar puisi ini menjadi saranaku melampaui waktu.
Menelusuri dan mengunjungi masa lalu,
menyapa momen-momen sebelum mengenal kecewa.

Bagian Tentang Secangkir Kopi bercerita kehidupan aku lirik yang harus berdamai dengan semesta, dipaksa menerima kenyataan. Meski begitu, aku lirik tetap mengenang dan merindukan sosok yang selama ini ada di sampingnya. Aku lirik terus berbincang dengan dirinya sendiri tentang beratnya hidup, kesepian, kerinduan, dan cara terus bertahan hidup.

Salah satu aspek yang menurut saya kurang memuaskan adalah sajian majas. Majas terkadang kurang bersesuaian sehingga menghamburkan kosakata seperti pada puisi “Kolam” /Kata-kata: keluarlah dari kolam imaji./
/Bernapaslah dulu, sebelum kembali menyelam,//Memetik cahaya di kedalaman paling kelam.//Di tepian kolam ada gadis yang menanti//Disebutkan namanya/, walau begitu, ada bagian menarik dalam puisi ini, yaitu tema. Puisi bertemakan kehilangan atau pembaca bisa memahami sebagai kehilangan sosok ibu, meski pembaca boleh memaknainya sebagai sosok lain.

Dari puisi pertama sampai puisi terakhir semuanya berkisah tentang kehilangan orang penting dan aku lirik benar-benar merindukan sehingga merasa sendirian. Pemisahan bab yang digunakan juga menarik. Dengan adanya tiga bab yang berbeda, semuanya memperjelas alur waktu yang saling berkaitan dengan hasil akhir aku lirik mencoba berdamai dengan keadaan.

Penulis sangat pandai menyembunyikan karakter objek dalam puisi-puisi. Pada awal membaca saya mengira bahwa ini puisi remaja yang isinya mengiba, memelas, dan mengutuki diri sendiri karena ditinggalkan kekasih. Namun, dugaan saya salah. Saya lebih senang menafsirkan puisi-puisi ini sebagai wujud kerinduan kepada seorang ibu. Meski penulis sangat sedikit menyebut nama ibu, bahkan nyaris tidak ada penyebutan. 

Demikian ulasan kumpulan puisi Cendera Kata. Sangat menarik, konsisten dalam kisah, meski belum lihai dalam meracik majas. Judul buku yang unik karena pembaca biasanya menemukan diksi cendera mata. Barangkali buku ini bentuk kenang-kenangan untuk sosok ibu atau perempuan lainnya.


Penulis: Nandang Kusnandar, Alumnus PBSI Unsika.

LPM Channel

Podcast NOL SKS