Puasa Pertama Tanpa Kasih Ibu

Redaksi
Cerpen
14 Mar 2025
Thumbnail Artikel Puasa Pertama Tanpa Kasih Ibu
Lantunan shalawat saling bersahutan, mengisi udara pagi buta dengan nuansa yang khusyuk. Rian masih enggan beranjak dari ranjangnya, seakan tak mau menghadapi realita bahwa dirinya akan memulai puasa seorang diri di ruangan sepetak ini. Sejak tadi, dering ponselnya tak henti-henti memanggil, menandakan beberapa pesan serta panggilan masuk. Rian perlahan menggerakkan tangannya untuk meraih ponsel yang tergeletak di samping bantal. Layar tersebut menyala, menampilkan deretan pesan singkat yang muncul.

‘Nak, jangan lupa sahur ya ….’

‘Kalau sempat pulang tolong pulang ya.’

‘Minggu bisa pulang?’

‘Nak, Bapak kangen. Sahur tahun ini cuma berdua sama adikmu.’

Tanpa sadar, Rian menghapus air mata yang telah mengalir di pipinya. Rian memilih bangkit dari kasur dan menuju dapur bersama di indekosnya daripada harus tenggelam dalam dinginnya rasa rindu. Menu hari ini hanya nasi putih hangat dan telur mata sapi, sederhana karena hanya ada itu. Rian memasak sambil menerawang jauh pada kenangan tahun lalu saat dirinya belum jauh dari rumah, sahur bersama keluarga sambil menyendok masakan ibunya, bersenda gurau mengelilingi meja makan. Ia disergap rasa rindu, tak hanya tentang cita rasa makanan yang disajikan penuh kasih sayang, melainkan segala hal tentang kehangatan rumah dan isinya.

Seusai memasak, Rian kembali masuk ke kamar indekosnya, memilih sahur dengan mengurung diri daripada harus duduk di ruang makan bersama penghuni indekos lainnya. Ramadan kali ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ia akan berpuasa selama beberapa minggu sendiri sebagai anak perantau sembari menempuh pendidikan dan jauh dari hangatnya keluarga. Satu lagi kenyataan pahit yang sulit untuk diterima bahwa ibunya telah tiada.

Rian tidak pulang ke rumah bukan karena ia tidak ingin, tetapi ia tak sanggup melihat semua sudut rumah yang dipenuhi oleh kenangan ibu. Setiap sudut bagaikan cermin, memantulkan kembali semua memori berharga yang kini hanya bersemayam di pikirannya. Mungkin, mungkin jika ibunya masih ada dirinya juga tidak akan kesepian seperti ini meskipun harus sahur seorang diri di kosan. Semua tak akan terasa sangat berat jika ibunya masih hadir dengan suara lembut.

Siang hari begitu terik, kampus masih ramai oleh mahasiswa meskipun beberapa dari mereka melontarkan keluhan akan lelahnya hari ini. Rian sampai di kelasnya dan melihat beberapa teman sudah hadir di kelas. Ia duduk di antara Dina dan Rara.

“Hari ini gue dimasakin rendang sama nyokap, biasalah kalo awal puasa sering masak daging-dagingan.” Deni berkata dengan nada sombong meskipun hanya bermaksud untuk bergurau.

“Enaknyaaa jadi akamsi. Gue ngekos sahur pertama cuma pakai mie, kesiangan bro.”

“Ah itu mah lo-nya aja yang kebablasan tidur.”

Gue tadi juga hampir telat. Untung mama gue telepon sambil teriak teriak bawel.”

Rian hanya tertawa mendengar teman-temannya saling bersahutan satu sama lain. Dina menoleh ke arah Rian sambil menyenggol pelan.

Lo sendiri gimana? Diem aja dari tadi.”

“Tau, jangan-jangan lo kaga sahur ye kayak si Adam tuh.”

Gue sahur kok. Ya gitu deh, sahur pertama anak kosan, aman aja serasa sahur di rumah.”

Bohong. Rian bergelut dengan pikirannya sendiri sebelum akhirnya melontarkan jawaban. Ia tak mungkin mengatakan perasaan sebenarnya bahwa ia kesepian di hari pertama Ramadan. Ia tak mungkin mengatakan bahwa hatinya terasa pedih saat mengingat ibunya yang tidak akan mungkin memasak lagi untuknya, bertanya mengenai kabarnya, atau bahkan membangunkan dirinya untuk sahur meski lewat telepon.

Dina melihat raut wajah Rian yang sedikit berubah dan merasa bersalah. Terbesit ide di kepalanya untuk mengajak teman-temannya berbuka puasa bersama sambil menghibur Rian.

“Masih hari pertama nih. Seru kali ya kalo kita bukber gitu.” Dina menawarkan.

“Baru hari pertama udah bukber aja, tapi gas lah daripada nanti-nanti wacana doang.”

Rian hanya mengangguk, dirinya tidak memiliki rencana khusus untuk hari ini dan masih berusaha mencari kesibukan untuk menghindari rasa sedih yang kerap kali menghampiri dirinya.

Sore menjelang malam, beberapa tempat makan telah dipenuhi oleh para pengunjung. Rian dan teman-temannya sudah duduk di tempat yang telah dipesan. Azan berkumandang, suara merdu muadzin melantunkan panggilan berbuka puasa yang disambut dengan semangat. Dahaga yang telah ditahan hari ini akhirnya terbayar. Obrolan semakin larut dalam suasana hangat. Canda tawa diiringi beberapa topik menyenangkan terus mengalir seolah mengalihkan rasa pahit dan kerinduan yang sedari tadi memenuhi hati Rian. Ia merasakan kebahagiaan dan kehangatan yang tercipta oleh dirinya serta teman-teman di meja itu.

Malam itu, Rian kembali ke indekosnya dengan hati yang lebih ringan. Meski rindu akan ibu takkan pernah pudar, cinta dan kenangan akan selalu hidup dalam hari-harinya. Rian juga menyadari bahwa dirinya akan menghadapi berbagai kenyataan tidak sesuai dengan harapan pada jalan yang sedang dirinya lalui. Ia tidak bisa menghindari rumah dan segala kerinduannya, sebab rumah akan selalu memiliki peran penting sebagai tempat pulang, tak peduli sejauh apa dirinya saat ini.


Penulis : Lutfiyah Zahra Salsabilah
Desainer: Maullana Fajhri Assabti dan Silvia Aidha Rohma

LPM Channel

Podcast NOL SKS