Tentu kita sudah tidak asing dengan ungkapan bahwa kampus merupakan miniatur dari negara, hal itu mungkin akan terdengar berlebihan, akan tetapi jika ditelisik lebih dalam, ungkapan tersebut tidaklah benar-benar berlebihan. Kampus dapat dikatakan miniatur sebuah negara karena di dalam ekosistem sebuah kampus biasanya diisi dengan berbagai instrumen organisasi yang biasanya ditemui di dalam sebuah negara seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Badan Legislatif Mahasiswa (BLM), dan Mahkamah Mahasiswa sebagai badan yudikatif di dalam kampus, meskipun instrumen yang terakhir masih jarang ditemui di kampus-kampus. 

 

Selayaknya sebuah negara pula, kampus tentu saja memiliki dinamika politiknya tersendiri. Dinamika politik yang terjadi di dalam kampus juga akhirnya tak jauh berbeda dengan dinamika politik skala nasional. Politik sendiri memang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari, sangatlah munafik apabila kita masih menolak fakta jika politik memang betul-betul berpengaruh terhadap kehidupan masyarakatnya, begitu pun di dalam kampus. Akan tetapi, dinamika politik nasional yang bobrok akhirnya juga berpengaruh terhadap dinamika politik di dalam kampus. Pada akhirnya mahasiswa yang terlibat aktif dalam perpolitikan kampus turut menjadi kader-kader politik yang sama bobroknya dengan kader partai politik nasional. Hal itu mungkin diakibatkan oleh sistem politik di Indonesia yang masih jauh dari kata ideal. 

 

Sudah menjadi hakikatnya bahwa politik juga tak dapat dipisahkan dari unsur kepentingan dan keuntungan, di satu sisi, politik sudah pasti akan membawa kepentingan individu atau golongan, di sisi lain, politik juga dapat membawa keuntungan bagi orang yang menduduki kekuasaan yang didapatkan melalui kontestasi politik. Harus diketahui oleh banyak orang bahwa jabatan-jabatan di dalam Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) juga merupakan jabatan yang bersifat politis, dan oleh sebab itu jabatan tersebut tidak  dapat dipisahkan dari kepentingan dan keuntungan di dalam politik. 

 

Menurut Pierre Bourdieu, seseorang harus memiliki modal (kapital) yang dapat dipergunakan untuk menjalankan kehidupannya di dalam sebuah struktur sosial. Bourdieu sendiri membagi kapital menjadi tiga bentuk, yaitu kapital budaya, kapital ekonomi, dan kapital sosial. Dengan menjadi seorang pejabat, maka ia secara otomatis akan menunjukkan sekaligus mendapatkan kapital-kapital yang dapat dipergunakan untuk kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, jabatan-jabatan strategis yang dimiliki oleh seorang pejabat akan membawa keuntungan bagi mereka yang mendapatkannya. Hal itu juga berlaku untuk mereka yang menjabat di dalam Ormawa, mereka dapat mempergunakan jabatannya untuk meraih kapital lainnya, dan dengan kapital yang telah mereka dapatkan tentunya akan dapat dipergunakan untuk keuntungan mereka sendiri. 

 

Saat ini kita sama-sama tahu, kontestasi politik yang terjadi di dalam kampus khususnya di Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika), tidak jauh dari kontestasi antar Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus (Ormek) untuk memperebutkan jabatan-jabatan strategis seperti Presiden Mahasiswa (Presma) atau Ketua BLM. Jika kita menggunakan pemikiran Bourdieu mengenai jenis-jenis kapital, kita akan memahami mengapa kontestasi politik kampus untuk merebut kursi presma, Ketua BLM, atau jabatan-jabatan lainnya menjadi sangat penting. Hal itu jelas dikarenakan jabatan yang nanti mereka dapatkan akan membawa keuntungan berupa kapital-kapital yang dapat mereka pergunakan untuk kehidupan mereka sendiri. 

 

Sekarang coba bayangkan, saat ini jabatan-jabatan strategis di dalam kampus telah diisi. Saat ini mereka sudah dapat menggunakan kapital sosial yang mereka miliki sebagai Presma atau ketua-ketua lainnya, untuk keuntungannya sendiri. Katakanlah mereka sudah bisa memasukkan pengalaman mereka sebagai Presma di dalam Curriculum Vitae (CV) yang nantinya akan dapat dipergunakan untuk mendapatkan jabatan di tempat lain. Namun, ketika menjalankan organisasinya mereka tidaklah sama sekali kompeten dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pejabat Ormawa. Akan tetapi, karena mereka telah memenangkan kontestasi politik tersebut mereka tentu akan dapat menggunakan kapital-kapital yang mereka miliki. 

 

Maka dari itu, saat ini kita sudah sama-sama mengetahui jika jabatan yang dimiliki oleh orang-orang yang menduduki Ormawa bukan sekedar jabatan struktural biasa. Mereka dapat dengan mudah menggunakan kapital yang telah mereka dapatkan di dalam Ormawa untuk menguntungkan diri mereka sendiri, dan hal itu sangat lumrah jika kita menggunakan pemikiran dari Bourdieu. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah, apakah pejabat-pejabat Ormawa tersebut telah menjalankan tanggung jawabnya dengan baik? Apakah Presma saat ini telah menjalankan visi dan misi yang telah ia paparkan? Apakah Ketua BLM telah menjalankan fungsi kontrolnya dengan bijak? Saya rasa pertanyaan-pertanyaan seperti itu harus mulai timbul di dalam benak mahasiswa sebagai salah satu “Masyarakat Kampus” yang suaranya kerap dipergunakan saat Pemilihan Raya Mahasiswa (Pemira).  

 

Saat tulisan ini dibuat, jabatan-jabatan Ormawa yang dipegang oleh beberapa orang sudah masuk ke fase akhir. Setelah mereka selesai untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai pejabat Ormawa, mereka akan dapat menggunakan kapital yang telah mereka dapatkan sebagai “Mantan Presma” atau mantan-mantan yang lain. Maka dari itu, saat ini kita masih memiliki waktu untuk mempertanyakan apa yang telah mereka lakukan selama menjabat sebagai Ketua Ormawa. Kita masih memiliki waktu untuk menggulingkan mereka jika memang tidak berguna. 

 

Penulis: Hussein

Desainer: KMG