Hidupku berantakan. 

 

Bukan dalam cara dramatis, seperti yang kerap dituliskan di novel murahan atau kisah sinetron yang terlalu pandai menjual air mata. Tidak. Hidupku hancur dengan cara yang lebih sepi, lebih dingin, lebih menggerogoti.

 

Ia merambat diam-diam, seperti debu yang masuk ke celah napas, tanpa pernah kusadari kapan tepatnya ia mulai tinggal. Aku hanya tahu, tiba-tiba semuanya terasa berat. Seakan ada batu yang menggantung di setiap langkah, menarikku perlahan ke dasar.

 

Hari-hariku hanya deret panjang kegagalan yang menempel di punggung.

 

Tugas-tugas kuliah berserakan seperti sobekan niat yang tak sempat dijahit. Aku kehilangan fokus, kehilangan tenaga, kehilangan sesuatu yang dulu sempat kusebut sebagai "semangat hidup".

 

Utang kecil yang dulu ku anggap angin lalu kini mencengkeram seperti akar liar tumbuh tanpa izin di setiap jengkal waktuku. Kamarku menyerupai reruntuhan, penuh tumpukan kertas yang kehilangan makna, buku-buku yang tak pernah selesai kubaca, dan pakaian kusut yang kubiarkan tanpa niat untuk kulipat.

 

Aku makan seadanya.

Lebih sering mie instan asin yang kupaksakan turun ke perut daripada semangkuk sayur hangat yang bisa disebut cinta. Aku hidup seperti daun gugur yang terombang-ambing tanpa angin yang pasti, jatuh di tempat yang bahkan bukan pilihanku.

 

Kadang aku merasa tidak ada yang menungguku di ujung hari.

Tak ada peluk yang mengerti.

Tak ada suara yang membisikkan, “Tak apa, kau sudah berusaha semampumu.”

 

Dunia terus melaju, cepat, penuh warna dan tawa.

Sedang aku tertinggal, pelan-pelan menghilang di antara keramaian.

 

Malam-malam panjang kuhabiskan dengan menatap langit-langit kamar yang penuh noda jamur, menyulam tanya dalam diam:

Untuk apa aku ada? Apa gunanya semua ini?

 

Hidup bagiku terasa seperti lingkaran letih yang tak punya ujung

Namun, di antara serpihan hari yang lelah dan bening mata yang kian asin, ada satu hal kecil yang tetap membuatku bangun setiap pagi.

Bukan kuliah.

Bukan ambisi.

Bukan cinta pada diriku sendiri.

 

Satu-satunya alasan itu adalah toko roti tua di ujung jalan.

Toko roti itu berdiri di ujung jalan kecil yang hampir dilupakan orang. Cat dindingnya pucat, terkelupas di sana-sini, papan namanya mulai kusam dimakan waktu. Jendela kacanya buram, penuh embun dan debu yang menempel, seakan cermin tua yang sudah kehilangan kejernihan. Tetapi entah kenapa, justru di situlah aku merasa menemukan rumah.

 

Bau roti selalu lebih dulu menyambutku sebelum langkahku masuk melewati pintu kayu yang berderit. Aroma mentega, tepung, sedikit gosong di pinggiran roti yang baru matang, semua bercampur, menyusup ke dalam paru-paruku, menenangkan rasa resah yang kubawa dari luar. Toko itu sederhana, tua, dan mungkin dianggap biasa saja oleh orang lain. Namun, bagiku ia istimewa.

 

Sebab di toko itu, ada dia.

 

Seorang perempuan yang selalu duduk di meja dekat jendela, tepat di pojok. Kursi yang ia pilih seakan sudah diberi tanda khusus, tak pernah ada orang lain yang berani menempatinya. Ia duduk dengan tenang, sesekali menatap keluar dan tersenyum tipis seakan berbicara dengan pikirannya sendiri. Rambut hitamnya jatuh begitu saja di bahunya, tidak pernah berlebihan, tidak pernah dibuat-buat. Ia seperti roti itu sendiri sederhana, tapi selalu menghangatkan.

 

Dan setiap hari, tanpa pernah berubah, ia memesan hal yang sama, segelas teh manis dan sepotong roti hangat.

 

Aku duduk tidak jauh darinya, di meja sudut lain. Kebiasaanku pun sama, secangkir kopi pahit dan satu croissant kecil. Entah sejak kapan aku menyadari, tapi rasanya aku selalu datang bukan hanya untuk kopi atau croissant, melainkan melihatnya. Dari cara ia mengangkat cangkir teh dengan hati-hati, sampai caranya menggigit roti perlahan-lahan, seolah setiap gigitan adalah doa.

 

Aku belum pernah menyapanya, bahkan namanya pun tak ku tahu, tapi setiap kali aku menatapnya dari balik uap kopi hitamku, aku merasa seakan mengenalnya seumur hidup.

 

Suatu pagi, aku mendengar suaranya. Tidak langsung kepadaku, tentu saja. Ia sedang berbincang dengan penjaga toko, suaranya ringan tapi penuh keteduhan.

 

“Ragi alami itu seperti makhluk hidup, kan?” katanya sambil tersenyum. “Ragi ini harus diberi makan, harus dijaga. Kalau dirawat, dia akan tumbuh. Kalau diabaikan, dia akan mati.”

 

Aku tersentak. Kata-kata itu masuk begitu saja ke dadaku. Benar, pikirku. Ragi itu bernafas. Ia adalah kehidupan kecil yang kita pelihara dalam adonan. Dan sama seperti ragi, perasaan pun begitu hidup, bernafas, rapuh.

 

Hari itu aku pulang dengan dada bergetar. Nama perempuan itu masih misteri, tapi dalam hatiku aku mulai menyebutnya, Prana. Nafas. Dialah nafas yang membuat toko roti itu terasa hidup dan membuat pagi-pagiku punya arti.

 

Hari-hari berikutnya aku mulai berkhayal. Bagaimana jika suatu hari aku duduk satu meja dengannya? Bagaimana jika aku bisa berbagi sepotong roti, segelas teh manis, dan segelas kopi pahit? Bagaimana jika kami berbincang, bukan hanya lewat khayalku, tapi sungguh-sungguh?

 

Dan seakan semesta mendengar, suatu pagi itu terjadi.

 

Rak roti hampir kosong. Tinggal satu sourdough bundar dengan kulit coklat retak halus, mengeluarkan aroma hangat yang menusuk hidung. Aku baru saja hendak memesan, ketika suara lembutnya terdengar di sampingku.

 

“Sepertinya kita berebut roti terakhir,” katanya.

Aku menoleh, jantungku memukul dada seperti palu. Senyumnya hadir, sederhana, tapi cukup untuk merobohkan duniaku.

 

“Bagaimana kalau kita bagi dua?” suaraku nyaris bergetar.

Ia menatapku sebentar, lalu mengangguk. Dan hari itu, meja kecilku bukan lagi milikku sendiri. Ada dia di sana.

 

“Namaku Prana,” katanya akhirnya, setelah potongan roti terbagi di piring.

 

Aku hampir terbahak, hampir terisak. Seakan semesta sengaja menyelipkan lelucon paling indah. Nama yang selama ini kupanggil diam-diam ternyata sungguh nama miliknya.

 

“Prana ...,” ulangku perlahan, merasakan tiap suku katanya di lidahku. “Kau tahu? Nama itu berarti nafas. Sama seperti ragi. Sama seperti roti.”

 

Ia tertawa kecil. “Benarkah?”

 

Aku mengangguk, lalu menatap roti di tangan kami. “Ragi alami itu bernafas. Ia hidup. Dan kau… kau seperti itu. Memberi nafas pada pagi-pagi yang hambar.”

 

Ia menunduk, tersipu. Dan aku tahu, sejak hari itu, aku sudah jatuh terlalu jauh.

 

Hari-hari setelahnya, kami menjadi dua manusia yang terikat oleh roti. Kami berbicara tentang adonan, tentang oven, tentang filosofi kecil yang lahir dari makanan sederhana ini.

 

“Roti itu sabar,” kata Prana suatu sore, ketika kami berdiri di dapur sempit toko, tangan kami sama-sama berlumur tepung. “Kau harus membiarkan ia tumbuh dengan sendirinya. Tidak bisa dipaksa, tidak bisa tergesa.”

 

Aku menatapnya, adonan di tanganku seperti tak lagi berarti. “Mungkin sama seperti hati. Harus diberi waktu.”

 

Ia mengangguk pelan, matanya lembut.

 

Kami mencoba berbagai resep bersama. Croissant yang terlalu gosong, brioche yang terlalu manis, roti hitam yang terlalu keras, tapi setiap kegagalan justru membuat kami tertawa lebih keras. Setiap keberhasilan membuat roti terasa lebih enak, seakan rahasia rasa itu ada pada tawa yang kami bagi.

 

Prana selalu dengan tehnya yang manis. Aku dengan kopiku yang pahit. Kami bercanda, bahwa mungkin itu sebabnya kami cocok. karena ada roti di antara kami, yang menyeimbangkan pahit dan manis. 

 

Dan akhirnya, setelah sekian kali mencoba, kami berhasil membuat sourdough terbaik. Warnanya keemasan, kulitnya retak indah, aromanya memenuhi seluruh ruangan. Kami duduk bersama, membelah roti itu, dan saat gigitannya masuk ke mulut, matanya berbinar-binar.

 

“Ini luar biasa,” katanya sambil menutup mata sejenak.“Mungkin inilah roti terbaik dalam hidupku.”

 

Aku hanya bisa menatapnya. Senyumku tak bisa berhenti. “Mungkin karena kita membuatnya bersama.”

 

Ia menoleh, dan untuk sesaat aku merasa, walaupun dunia berhenti berputar, aku sudah cukup.

 

Hari-hari berganti dan aku mulai percaya bahwa mungkin inilah yang disebut takdir. Toko roti tua itu menjadi saksi kecil cinta yang tumbuh, hangat seperti roti baru keluar oven, lembut seperti adonan yang diuleni tangan.

 

Sampai pada suatu pagi.

 

Aku terbangun dengan senyum yang masih tersisa dari malam sebelumnya. Roti sourdough itu, tawa Prana, teh manis hangat semuanya masih begitu jelas seakan baru terjadi. Dengan langkah ringan, aku menuju toko roti.

 

Dan di sana, tepat di meja dekat jendela, Prana duduk. Sama seperti biasa, teh manis di tangannya, sepotong roti di piring.

 

Hatiku berdegup kencang. “Dia ada,” bisikku. Dadaku penuh harap. Aku hampir bisa merasakan kembali hangatnya kebersamaan itu. Aku mendekat, kursi kayu bergemeretak ketika kutarik pelan.

 

“Prana...,” suaraku bergetar, penuh keyakinan bahwa ia akan menoleh, tersenyum, lalu berkata sesuatu yang hanya kami berdua mengerti.

 

Ia menoleh. Matanya menatapku lurus, tapi bukan tatapan yang kukenal. Bukan mata yang pernah berbinar di depanku. Itu tatapan asing, datar, seperti melihat seseorang yang tak pernah ditemuinya.

 

“Maaf… kita saling kenal?” tanyanya, bingung.

 

Darahku seakan berhenti mengalir. Kata-kata tercekat di tenggorokan. Aku mencoba tersenyum, tapi bibirku gemetar. Semua potongan memori roti, tawa, percakapan bertabrakan di kepalaku, pecah berkeping-keping.

 

Saat itu aku sadar, semua yang kurasa nyata hanyalah milikku sendiri. Roti yang katanya “terbaik dalam hidupnya”, senyum yang membuat dunia berhenti berputar, semua hanya mimpi yang begitu hidup hingga menipu diriku sendiri.

 

Dan kini, ia benar-benar ada di hadapanku. Namun, sebagai orang asing. Ia masih ada di sana, di dunia nyata. Tetap jauh. Tetap asing. Tetap sunyi.

 

Aku menyeruput kopi pahitku, menatapnya sekali lagi dari meja sudutku. Dan aku hanya bisa tersenyum getir karena meski semua hanyalah mimpi, aku bersyukur pernah merasakannya.

 

Ragi itu memang hidup. Ia bernafas. Sama seperti perasaan ini. Namun, tanpa diberi makan keberanian, ia perlahan akan mati.

 

Dan mungkin, begitulah aku akan mencintainya, dalam diam, dalam khayal, dalam nafas yang hanya kudengar sendiri.

 

Aku tahu, mungkin selamanya aku hanyalah bayangan yang duduk di sudut ruangan, sementara kau tetap bercahaya di meja dekat jendela. Seperti mentari pagi yang tak pernah peduli pada embun yang diam-diam jatuh mencintainya.

 

Tapi, izinkan aku menyimpan satu doa kecil untukmu, Prana.

 

Doa yang tak bersuara, tapi tumbuh di dada seperti ragi di dalam adonan.

 

Semoga setiap roti yang kau cicipi selalu hangat, sehangat senyum kecil yang kau tebarkan pada pagi-pagi menggigil.

 

Semoga setiap tegukan teh manismu mengandung ketenangan, seperti caramu menenangkan dunia tanpa berkata-kata.

 

Semoga hidupmu mengembang dengan sabar dan indah, seperti adonan yang diberi waktu, diberi kasih, diberi ruang untuk tumbuh.

 

Dan bila suatu saat hatimu lelah, semoga ada seseorang yang berani duduk di hadapanmu. Bukan hanya dalam mimpi dan berkata, dengan sejujur-jujurnya. 

 

“Kaulah nafas dalam dunia kecilku.”

 

Aku mungkin bukan orang itu. Mungkin aku hanya akan menjadi angin yang kau rasakan sebentar lalu lupa. Atau menjadi aroma roti yang lewat dalam ingatanmu saat suatu pagi yang biasa. Namun, aku akan tetap bersyukur karena dalam hidupku yang berantakan. Kau adalah satu-satunya alasan yang membuatku percaya bahwa cinta seperti ragi alami. Masih hidup. Masih bernafas dan layak diperjuangkan, meski hanya dalam diam.

 

Selama toko roti tua itu masih berdiri. Selama pagi masih menyapa jendela itu dengan cahaya lembutnya, aku akan terus datang.

 

Dengan kopi pahit, croissant kecil dan harapan nan rapuh, tetap hangat seperti roti baru keluar dari oven cinta tak pernah sempat tersampaikan.

 

Karena mencintaimu, Prana, adalah caraku bertahan hidup.

 

 

Penulis: Yekholya

Desainer: Yona Puspitasari