Perempuan Berseteru dengan "Satwa" Perguruan Tinggi
Redaksi
Opini
17 Feb 2024

Menjadi Dosen bukanlah pekerjaan yang mudah, karena perlu menempuh Pendidikan hingga gelar Magister. Menjadi mahasiswi di Unsika juga tidak mudah, karena perlu menghadapi oknum Dosen yang tidak segan-segan memberikan perlakuan yang tidak pantas dilakukan oleh tenaga pendidik, saya ralat, tidak hanya dosen tapi oknum mahasiswanya juga lumayan membuat kita mengelus dada.
“Kenapa ga lapor ppks?”, “Itu mah masih wajar ga si?”, “Jangan takut, lapor aja”, dan masih banyak lagi tanggapan yang sering didengar oleh korban pelecehan. Tidak semua korban pelecehan seksual berani untuk melaporkan ke Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksusal). Karena banyak hal yang menjadi pertimbangan, dari rasa takut akan adanya intervensi, nilai jelek, jadi bahan perbincangan hingga korban merasa mata tertuju pada dirinya.
Sebelum tulisan ini lebih jauh dan timbul spekulasi lain, saya adalah mahasiswi di salah satu Fakultas yang ada di Unsika. Survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan, kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi. Catatan survei Kemendikbudristek per Juli 2023 menunjukkan, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Ini hanya kasus yang dilaporkan, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan dan bertebar di underground saja. Melihat hasil survei tersebut membuat saya sangat prihatin, karena pihak civitas akademika belum bisa menciptakan ruang aman untuk para mahasiswi menuntut ilmu. Salah satunya kasus yang saya ketahui, yaitu dimana mahasiswi diajak bertemu oleh Dosennya di salah satu hotel Karawang, setelah ditelusuri akar permasalahannya dimulai dari nilai si mahasiswi tidak keluar. Ajakan tersebut diabaikan oleh mahasiswi, walaupun hanya sekedar ajakan melalui aplikasi WhatsApp, tapi tidak bisa dianggap sepele. Kita tidak pernah tau akan rasa takutnya mahasiswi tersebut jika bertemu dengan Dosen yang mengajaknya bertemu di hotel, dan kasus ini tidak terjadi pada mahasiswi itu saja. Masih ada kasus kasus serupa yang dilakukan oleh Dosen yang sama. Bahkan saya sendiri pernah melihat beliau merangkul mahasiswi ketika sedang berbicara dengannya, terlihat sepele tapi dengan adanya peluang “sentuhan fisik” maka untuk langkah selanjutnya mudah dilakukan.
Hingga saat ini, Dosen tersebut masih dengan tenang mengajar di salah satu Fakultas yang ada di Unsika. Saya tidak banyak berharap, hanya saja saya ingin mahasiswi-mahasiswi yang ada di Unsika lebih menjaga diri dari hawa nafsu “binatang”. Mengapa saya bisa menyebutkan hawa nafsu binatang? Karena, semua manusia memiliki hawa nafsu tapi manusia memiliki akal untuk menempatkan hawa nafsu tersebut. Jika ia tidak bisa, sudah jelas itu bukan manusia melainkan BINATANG. Lalu, mengapa saya meminta mahasiswi yang menjaga dari hawa nafsu binatang tersebut? Ya karena yang kita tahu, perempuan selalu disalahkan apabila kasus kekerasan seksual terjadi, entah dari pakaiannya atau lingkungan pertemanannya. Balik lagi kita tidak bisa menyalahkan pelaku, karena mereka hanya punya otak tidak dengan akal.
(Shima)