Apa yang pertama kali tergambar di kepala ketika membayangkan tenaga kependidikan? Seseorang dengan pakaian rapi, sepatu pantofel, membawa tas jinjing atau ransel berisi laptop atau buku-buku, entah buku cetak atau hanya sekadar catatan yang nantinya akan jadi acuannya mengajar di kelas. Tentu dengan tata bahasa dan cara bicara yang baik dan benar, karena barangkali tak asing di telinga dengan anggapan bahwa mereka akan menjadi role model bagi siswa maupun mahasiswanya. 

 

Salah satu teman saya, mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) juga berkata demikian, bahkan terdapat cara-cara berpakaian untuk mahasiswa FKIP ketika mengikuti pembelajaran, “Calon guru harus belajar rapih dari sekarang, bakal jadi role model” katanya. Lalu, bagaimana dengan tenaga-tenaga kependidikan yang keluar dari jalur seharusnya? Maksud saya, mereka yang justru memilih untuk menyesuaikan gaya hidupnya seperti peserta didik. Cara bicara yang tidak formal terkadang membuat saya bertanya-tanya, haruskah saya menerima sebagai upaya menghilangkan stigma konservatif atau menolak dan mempertahankan apa yang sedari dulu saya percaya.

 

Masalahnya begini, apa urgensi untuk menerima gaya baru hidup tenaga kependidikan, -ah, sebut saja dosen. Apa urgensi menerima dosen dengan gaya bicara tidak formal, berbaur dengan mahasiswa, apalagi berusaha menjadi pahlawan dengan celetak-celetuk kunci jawaban saat ujian. Lebih-lebih, berani untuk cat calling, menggoda mahasiswa sampai tak ragu-ragu untuk menyentuh. Jangankan dosen, teman sebaya yang saya lihat melakukan hal tidak pantas seperti itu rasanya enggan untuk saya bertegur sapa, apalagi jika dilakukan oleh dosen yang notabenenya role model.

 

Lagi pula, setelah berbincang dengan beberapa mahasiswa, kiranya jawaban mereka, dosen asik merupakan dosen-dosen yang mudah memberi feedback, khususnya dalam konteks pendidikan. Contohnya, seperti siap memberi jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan. Muluk-muluk, dosen asik adalah mereka harapkan dosen-dosen yang membiarkan mahasiswanya berekspresif, seperti dalam berpakaian atau tidak mempersulit mahasiswa karena merasa pernah di posisi mereka. Kesimpulannya, asik di sini tidak perlu mengharuskan mereka berbaur dengan mahasiswa. Terdapat kesalahan cara berpikir jika mereka menganggap berbaur dengan mahasiswa berarti mereka asik.  Apalagi berbaur hingga menciptakan kedekatan yang tidak semestinya sampai-sampai masuk ke personal mahasiswa, bersandiwara layaknya mereka peduli dan paham kondisi mahasiswa, padahal ini memuakkan. Siapa yang akan menyangkal fakta bahwa percakapan personal antara tenaga kependidikan dan peserta didik hanya akan berakhir di ruang dosen sebagai cibiran belaka. 

 

Hancur marwah tenaga kependidikan yang selama ini saya percaya. Terpampang jelas di sudut Kampus, papan dengan diksi Zona Integritas yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kejujuran, etika, tanggung jawab, dan konsistensi antara perkataan dan tindakan. Namun, zona integritas dari mana? Pelecehan-pelecehan verbal dianggap candaan, bahkan dilakukan oleh mereka yang kami percaya sebagai contoh ideal. Buang saja papan zona integritas itu, tidak mencerminkan apa yang ada di dalamnya. 

 

Sasarannya jelas, perempuan berkulit cerah dengan pakaian terbuka, mata dengan sudut yang runcing biasanya dapat poin tambahan, maka siap untuk ia lecehkan. Segala kalimat kotor keluar dari mulutnya, jarak ia persempit, disentuh pula pergelangan tangannya, sialan. Tak terkecuali mereka dengan tubuh berisi, kulit gelap dengan tekstur di muka yang terpampang jelas, maka siap untuk ia rundung. Kalimat-kalimat intimidasi ia lontarkan, meminta maaf lalu berdalih bahwa apa yang dikatakannya benar, kemudian tertawa seolah candaan seperti itu lumrah. 

 

Mau sampai kapan tenaga-tenaga pendidik seperti ini dipertahankan? Ke mana ketegasan mereka yang ringan dalam memberi sanksi kepada mahasiswa, tetapi menoleh pun enggan. Justru salah satu dari mereka yang melakukan. Mau sampai kapan ini tetap dianggap gurauan antara tenaga pendidik yang baru berbaur dengan mahasiswanya, bahkan oleh mahasiswa itu sendiri. Bukan bermaksud konservatif tidak menerima perkembangan zaman atau tidak membiarkan tenaga pendidik berekspresif, yang perlu diperhatikan, mereka merupakan pekerja dengan perjanjian kerja, apakah masih dapat dikatakan berekspresif jika menghilangkan profesionalitas? 

 

Apa lagi dengan candaan-candaan yang tidak tau batasan, antara genit atau pelecehan, rasanya mereka juga tidak paham. Daripada belajar sok asik dengan mahasiswa, sepertinya lebih penting untuk mereka belajar mengevaluasi diri, keluhan-keluhan karena ada atau tidak adanya kelas dikonfirmasi secara mendadak, feedback yang tidak setara seperti pembelajaran yang tidak sesuai Kartu Rencana Studi (KRS) atau di kelas hanya mendongeng seolah kami hadir di kelas hanya untuk mendengarkan kisah perjalanan hidup mereka. 

 

Penulis: Minggu

Desainer: SCH