Pendidikan Politik Etis sebagai Pendidikan Gaya Kolonial
Redaksi
Artikel
23 May 2024

Kebijakan pendidikan kolonial yang diterapkan oleh pemerintah Belanda di Indonesia tidak hanya merupakan sebuah sistem pendidikan, tetapi juga merupakan instrumen penting dalam menjaga hegemoni politik dan ekonomi kolonial. Di balik anekdot tentang tujuan mulia dari pendidikan yang disuarakan oleh beberapa pihak, ternyata terdapat narasi yang lebih kompleks.
Salah satu contoh nyata dari implementasi pendidikan kolonial adalah Cultuurstelsel (sistem budaya) yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada abad ke-19. Meskipun diklaim untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pribumi, kenyataannya, sistem ini menghasilkan penindasan baru di perusahaan yang dikuasai oleh Belanda.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah Belanda bertujuan untuk menciptakan tenaga kerja yang terdidik, tetapi dengan harga murah, yang siap untuk mengisi jabatan teknis dan administratif di perusahaan Belanda.
Namun, ada kecenderungan pendidikan tersebut untuk membedakan antara golongan etnis. Ini tercermin dalam struktur pendidikan yang dibagi menjadi tiga golongan besar, di mana pendidikan untuk masyarakat pribumi seringkali diberikan dalam kualitas yang lebih rendah. Sekolah-sekolah seperti Europeesche Lagere School (ELS) dan Hollandsch Inlandsche School (HIS) mewakili pendidikan dasar bagi masyarakat pribumi, tetapi dengan kriteria yang berbeda dengan pendidikan untuk masyarakat Belanda. Meskipun kemudian didirikan sekolah Volk School untuk masyarakat pedesaan dan anak miskin, namun perbedaan kualitas tetap nyata.
Di tingkat sekolah menengah, terdapat perbedaan yang lebih tajam. Sekolah-sekolah seperti Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS) menjadi pilihan bagi anak pribumi dan Timur Asing, sementara Hoogere Burgerschool (HBS) tetap menjadi favorit untuk anak Belanda dan kaum Priyayi. Hal serupa terjadi di tingkat sekolah menengah atas, di mana sekolah-sekolah seperti AMS dan HBS memberikan kesempatan pendidikan yang berbeda tergantung pada latar belakang etnis.
Pendidikan tinggi juga tidak luput dari praktik diskriminasi ini. Sekolah-sekolah seperti School tot Opleiding Van Indische Artsen (STOVIA) dan Technik Hoge School, meskipun menawarkan pendidikan yang lebih tinggi, masih membatasi akses bagi masyarakat pribumi dan memberikan posisi yang lebih rendah dalam struktur jabatan perusahaan.
Dalam keseluruhan, pendidikan kolonial Belanda di Indonesia tidak hanya menghasilkan kesenjangan dalam akses pendidikan, tetapi juga membentuk dan memperkuat struktur sosial dan politik yang diskriminatif. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana pendidikan dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan dominasi kolonial.
Pendidikan sebagai Senjata Perlawanan: Munculnya Sekolah-Sekolah Partikelir
Pendidikan yang diberikan oleh pemerintah Belanda di Indonesia tidak hanya merupakan alat untuk mempertahankan hegemoni kolonial, tetapi juga menjadi ancaman bagi pemerintah Belanda itu sendiri. Dalam perkembangannya, pendidikan tersebut membawa perubahan signifikan dalam negeri jajahan, karena melalui pengetahuan baru yang diperolehnya, kalangan pribumi mulai menyadari dan mempelajari lebih dalam tentang perjuangan pembebasan nasional.
Pemerintah Hindia Belanda, dengan sengaja menelantarkan pendidikan rakyat, berharap agar rakyat tetap dalam kondisi yang terbelakang dan mudah dikendalikan. Namun, hal ini justru memicu munculnya kesadaran baru di kalangan pelajar bumi putera. Mereka mulai menyusun perlawanan terhadap penindasan pemerintah kolonial dengan mendirikan sekolah-sekolah partikelir atau "sekolah liar". Sekolah-sekolah ini tidak diakui oleh lembaga resmi, tetapi dijalankan oleh kalangan idealis dari intelegensia yang menolak bekerja untuk pemerintahan kolonial.
Keberadaan sekolah-sekolah partikelir semakin meningkat, terutama pada masa ekonomi paska Perang Dunia I dan depresi ekonomi tahun 1930-an. Hal ini disebabkan oleh tingginya biaya pendidikan di sekolah-sekolah resmi yang memaksa orang-orang Hindia untuk mencari alternatif pendidikan. Sekolah-sekolah partikelir ini umumnya bersifat nasionalistis dan anti-kolonial, didirikan oleh perkumpulan dan tokoh pergerakan yang mengutamakan pendidikan sebagai bagian dari perjuangan mereka.
Salah satu contoh sekolah partikelir yang terkenal adalah sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara). Sekolah ini tidak hanya memberikan pendidikan formal, tetapi juga menyelenggarakan berbagai kursus bebas yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran politik dan kemandirian rakyat.
Melalui pendidikan dari sekolah-sekolah partikelir, generasi muda Indonesia mulai memahami kondisi mereka yang tertindas dan siap untuk menyusun perlawanan terhadap penindasan tersebut. Perlawanan rakyat yang dulunya bersifat lokal dan tidak terorganisir secara modern, berubah menjadi gerakan yang lebih masif dan terorganisir secara nasional. Para pemuda dan pemudi yang telah mengenyam pendidikan dari sekolah-sekolah partikelir menjadi motor penggerak perlawanan rakyat dan organisasi-organisasi revolusioner yang akhirnya berhasil membawa Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda.
Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menjadi instrumen untuk mempertahankan kekuasaan kolonial, tetapi juga menjadi senjata bagi perlawanan rakyat untuk mencapai kemerdekaan. Munculnya sekolah-sekolah partikelir merupakan bukti nyata bahwa pendidikan dapat menjadi kekuatan yang sangat kuat dalam perjuangan melawan penindasan dan penjajahan.
Pendidikan, Pembangunan dan Kesadaran Kritis
Bicara tentang keterkaitan antara pendidikan dengan kapitalisme dan neoliberalisme bukanlah hal baru. Terutama dalam konteks bagaimana tujuan pendidikan bertujuan untuk membentuk individu yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis pada abad ke-21.
Sejumlah kritik terhadap pendidikan kapitalis dapat ditemukan dalam karya "Neoliberalism’s War on Higher Education" (2011) karya sosiolog pendidikan Henry Giroux. Giroux menyoroti bagaimana kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi di negara-negara maju telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi secara keseluruhan. Pendekatan ini membuat institusi pendidikan tinggi lebih menekankan pada aspek pasar dan Return Of Investment (ROI) dari investasi pendidikan, menyebabkan perlahan-lahan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa.
Pemikiran yang sejalan juga diungkapkan oleh Samuel Bowles & Herbert Gintis dalam bukunya "Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life" (1976). Mereka mengkritisi bagaimana sistem pendidikan disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme, menciptakan apa yang disebut oleh Paulo Freire sebagai "budaya diam" yang mematikan pola pikir kritis.
Bowles & Gintis, Giroux, Freire, serta pemikir lain seperti Pierre Bordieu dan Michael Apple, secara kritis membahas pendidikan sebagai alat reproduksi sosial dan kontrol sosial.
Mereka menyoroti bagaimana pendidikan melalui kekuasaan yang dominan mereproduksi dan memperdalam ketimpangan sosial. Pendidikan yang seharusnya menjadi jalan bagi emansipasi, terutama bagi mereka dari kelas bawah, seringkali hanya memperkuat posisi sosio-ekonomi mereka yang rendah. Sumber: *Neoliberalism’s War on Higher Education* oleh Henry Giroux dan *Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life* oleh Samuel Bowles & Herbert Gintis.
Dalam pidato Hari Pendidikan Nasional 2017 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Menteri Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menyoroti tema pendidikan tahun itu sebagai "meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi". Nasir menekankan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia.
Pemahaman seperti ini juga tercermin dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang sering kali mengukur pembangunan nasional melalui lensa pertumbuhan ekonomi.
Indonesia juga tidak terlepas dari sistem pendidikan yang mencerminkan logika kapitalisme. Namun, yang menjadi perhatian khusus adalah kurangnya narasi kontra terhadap pendidikan kapitalisme di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pelarangan terhadap Marxisme melalui TAP MPRS No. 25 1966, yang tidak hanya melarang organisasi politik berbasis Marxisme, tetapi juga pembatasan terhadap wacana dan pemikiran Marxisme di sekolah dan universitas. Dengan demikian, upaya untuk mengkritisi kapitalisme menjadi terbatas.
Larangan terhadap Marxisme serta pembatasan wacana alternatif dalam pendidikan membantu memperkuat pandangan pembangunan yang sempit yang diperkenalkan oleh rezim Orde Baru. Pandangan ini didasarkan pada teori modernisasi yang menekankan pada pasar ekonomi dan teknokratisme, sementara meredam pengetahuan alternatif dan kritis terhadap struktur sosial yang ada. Hal ini juga menciptakan minimnya kesadaran kritis dalam masyarakat terhadap ketidakadilan struktural yang mengakar.
Peneliti seperti Hilmar Farid (2005) dan Lyn Parker serta Pam Nilan (2013) menyoroti bahwa pandangan pembangunan yang ditanamkan oleh rezim Orde Baru masih berpengaruh kuat dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dalam keyakinan bahwa mobilitas sosial dapat dicapai melalui kerja keras dan sistem meritokrasi, tanpa mempertimbangkan hambatan struktural yang nyata.
Dengan demikian, salah satu peninggalan paling mematikan dari rezim Orde Baru adalah pemikiran yang mengakar kuat tentang pembangunan dan modernisasi yang sempit, serta minimnya kritik terhadap fondasi dari paradigma tersebut. Tantangannya saat ini adalah untuk menggali kembali ruang bagi wacana kritis dan alternatif dalam pendidikan, serta membangun kesadaran kritis yang lebih luas dalam masyarakat terhadap ketidakadilan struktural. Sumber: *Adolescents in Contemporary Indonesia* oleh Lyn Parker dan Pam Nilan.
Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Indonesia yang juga Aktivis Perburuhan
Ki Hajar Dewantara, sebagai bapak pendidikan Indonesia, mempunyai gagasan-gagasan progresif yang melampaui zamannya. Namun, saat ini, nilai-nilai progresif ini telah terlupakan dalam sistem pendidikan kita yang lebih memihak pada pasifikasi dan pembungkaman.
Diperlukan revolusi pendidikan yang mendorong sikap kritis, mendorong masyarakat untuk berpikir kritis tentang diri mereka sendiri dan dunia di sekitarnya, serta mencapai tujuan Ki Hadjar Dewantara untuk membentuk pendidikan yang menghargai martabat manusia.
Untuk mencapai visi pendidikan yang emansipatoris, kita perlu memperbarui pendidikan kita dan memastikan bahwa nilai-nilai progresif dan kesadaran kritis ditekankan dalam sistem pendidikan kita. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan yang sejati, yang bukan hanya melahirkan pion-pion irrasionalitas, tetapi membantu membebaskan pikiran dan memenjarakan manusia dari ketidakadilan.
Dalam hal ini, konsep sociological imagination dari C. Wright Mills (1959) dan pemikiran Paulo Freire (1970, 1973) tentang pendidikan kritis sangat relevan. Sociological imagination membantu kita memahami hubungan antara pengalaman pribadi kita dengan struktur sosial dalam masyarakat. Freire, di sisi lain, menekankan perlunya pendidikan yang memungkinkan individu untuk memahami perannya dalam konteks sosial-politik dan memasuki proses sejarahnya secara kritis.
Untuk Indonesia, ini berarti meredefinisi makna 'kualitas' pendidikan. Kualitas pendidikan tidak hanya dilihat dari kemampuan teknis seperti membaca dan berhitung, tetapi juga dari pemahaman terhadap masalah-masalah yang tidak terlihat di dalam kelas, seperti struktur sosial, sejarah, dan pembangunan masyarakat yang masih terpaku pada paradigma lama.
Pendidikan yang kita miliki saat ini harus berubah. Dibutuhkan pendidikan yang reflektif terhadap diri sendiri dan struktur sosial di sekitar kita, sehingga masyarakat dapat menjadi lebih demokratis dan kritis terhadap kepentingan elit dan retorika politis.
Penulis: Zidan
Desainer: TATA