Pergantian tahun akademik di kampus bukan hanya menandai bergantinya kalender kegiatan, tetapi juga dimulainya satu siklus politik yang nyaris selalu berulang, yaitu Pemilihan Raya (Pemira). Masa kampanye pun bergerak pelan namun pasti. Pasangan Calon (Paslon) mulai bermunculan bersama dengan tim suksesnya yang mulai dipetakan. Di tengah rutinitas itu, Pemira kembali diposisikan sebagai ruang pembelajaran demokrasi bagi mahasiswa, sebuah ajang yang konon mendidik partisipasi, nalar kritis, dan kepemimpinan. Namun, dibalik riuh kampanye dan senyum paslon, pertanyaan yang jarang diajukan justru paling mendasar. Apakah Pemira di kampus benar-benar sedang mendidik mahasiswa tentang demokrasi, atau justru melatih mereka sejak dini untuk piawai memainkan politik pragmatis?

 

Secara normatif, Pemira di kampus kerap diposisikan sebagai Pemilihan Umum (Pemilu) dalam konteks universitas, sekaligus dianggap sebagai miniatur demokrasi nasional. Narasi ini tidak muncul tanpa dasar. Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara tegas menyebutkan bahwa Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945. Dalam Bab II Pasal 4, Pengaturan Penyelenggaraan Pemilu dimaksudkan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas, menjamin konsistensi pengaturan sistem Pemilu, memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan Pemilu, serta mewujudkan Pemilu efektif dan efisien.

 

Ironisnya, nilai-nilai luhur tersebut kerap berhenti sebagai jargon ketika diturunkan ke dalam praktik Pemira di kampus. Alih-alih menjadi arena pertarungan gagasan, Pemira di kampus justru sering menjelma menjadi ajang adu kekuatan antar organisasi, khususnya organisasi eksternal. Kualitas visi dan misi kandidat tidak jarang kalah pamor dibanding seberapa luas lingkar pertemanan yang dimiliki, seberapa solid basis dukungan kelompoknya, atau seberapa dekat ia dengan aktor berpengaruh di balik layar. Dalam banyak kasus, kemenangan bukan diraih oleh kandidat dengan gagasan paling progresif, melainkan oleh mereka yang paling piawai membangun koalisi informal. Politik kedekatan mengalahkan politik gagasan. Demokrasi direduksi menjadi hitung-hitungan suara, bukan adu argumen atau gagasan substantif. Ketika kondisi ini terus berulang, Pemira di kampus kehilangan fungsi edukatifnya dan berubah menjadi simulasi kekuasaan.

 

Fenomena tersebut bukan terjadi secara kebetulan, Syahrul, F., Paskarina, C., dan Sumadinata, R. W. S. (2020) mencatat bahwa dinamika politik organisasi kemahasiswaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup struktur organisasi, budaya politik, dan relasi kuasa di dalam tubuh organisasi mahasiswa. Sementara faktor eksternal berasal dari luar, terutama keterlibatan organisasi alumni yang tidak jarang membawa kepentingan ideologis maupun politis tertentu.

 

Keterlibatan alumni dan kelompok tertentu sering kali dibungkus dengan dalih pembinaan dan regenerasi. Namun, ketika dukungan berubah menjadi intervensi, dan kaderisasi berubah menjadi pewarisan kekuasaan, demokrasi kampus patut dipertanyakan. Kampus, yang seharusnya menjadi ruang bebas dan kritis, justru mereproduksi pola patronase yang selama ini dikritik dalam politik nasional. Lebih berbahaya lagi, praktek ini secara perlahan menormalisasi pragmatisme politik di kalangan mahasiswa. Mahasiswa belajar bahwa untuk menang gagasan saja tidak cukup, yang dibutuhkan adalah jaringan, loyalitas, dan kompromi kepentingan. Meritokrasi tersingkir, digantikan oleh logika “siapa dekat dengan siapa”. Jika kampus adalah kawah candradimuka calon pemimpin bangsa, maka pola ini jelas mengkhawatirkan.

 

Demokrasi kampus yang semestinya menjadi ruang pembelajaran etika politik justru berpotensi melahirkan aktor-aktor yang sejak awal akrab dengan politik transaksional. Dalam situasi ini, Pemira di kampus bukan lagi alat pembebasan, melainkan latihan awal bagaimana kekuasaan bisa direbut tanpa harus bertanggung jawab secara ideologis.

 

Sudah saatnya Pemira di kampus berhenti bersembunyi di balik narasi “miniatur demokrasi” tanpa refleksi kritis. Jika praktik yang terjadi hanya meniru sisi terburuk demokrasi nasional, yaitu pragmatisme, patronase, dan politik jaringan, maka yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan ilusi demokrasi. Demokrasi yang tidak dikritik sejak di kampus, kelak akan tumbuh menjadi kekuasaan yang sulit diawasi di luar sana.

 

Sumber Referensi:

Syahrul, F. (2020). Orientasi politik organisasi mahasiswa ekstra kampus pada pemilihan presiden tahun 2019. Society, 8(2), 486–505. https://societyfisipubb.id/index.php/society/article/view/201 

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 (16 Agustus 2017). https://pabardappid.kpu.go.id/regulasi/25040/undang-undang-republik-indonesia-nomor-7-tahun-2017-tentang-pemilihan-umum 

 

Penulis: SAN 

Desainer: Deviana Cahya Lestari