Pelecehan Seksual dan Tanggung Jawab Negara: Apakah Kebijakan dan Penegakan Hukum Memadai?
Redaksi
Esai
24 Sep 2024

Pelecehan seksual telah menjadi isu krusial di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, menarik perhatian para pembuat kebijakan, legislator, dan masyarakat umum. Pemerintah meresponsnya dengan memberlakukan undang-undang dan peraturan, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang diresmikan pada tahun 2022. Kebijakan ini dirancang untuk melindungi korban serta menguatkan penegakan hukum terhadap pelaku pelecehan, terutama di sektor publik yang kerap menyoroti tanggung jawab negara.
Prevalensi pelecehan seksual di tempat kerja di Indonesia telah terdokumentasi dengan baik. Berdasarkan berbagai survei, setidaknya satu dari tiga perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, terutama di sektor yang didominasi laki-laki seperti industri manufaktur, konstruksi, dan transportasi. Hal ini menegaskan bahwa pelecehan seksual bukan hanya masalah di bidang tertentu, melainkan dapat terjadi di berbagai tempat kerja. Kasus-kasus ini sering kali tidak dilaporkan karena korban takut akan stigma, tekanan sosial, atau konsekuensi terhadap karir mereka.
Untuk mengatasi masalah ini, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan lembaga terkait telah mengembangkan kebijakan yang jelas untuk melarang pelecehan seksual. Pelatihan dan sosialisasi di berbagai organisasi publik dan swasta juga dilakukan guna meningkatkan kesadaran tentang bahaya pelecehan seksual dan cara pencegahannya. Lembaga negara dan sektor publik memiliki kewajiban untuk menegakkan hak dan keselamatan karyawan mereka, sehingga penegakan hukum yang tegas serta kebijakan yang mendukung sangat diperlukan.
Meski demikian, efektivitas kebijakan dan penegakan hukum ini masih dipertanyakan. Salah satu tantangan utama adalah penerapan hukum yang belum konsisten di seluruh wilayah Indonesia. Beberapa daerah, terutama yang lebih terpencil, masih kekurangan infrastruktur hukum dan sosial yang kuat untuk menangani kasus pelecehan seksual. Selain itu, meskipun sudah ada regulasi, sering kali sanksi yang diberikan kepada pelaku tidak sebanding dengan dampak yang dirasakan oleh korban. Budaya patriarki yang masih kental juga menjadi hambatan dalam memastikan lingkungan kerja yang bebas dari pelecehan.
Dalam konteks ini, peran pekerja sosial dan lembaga swadaya masyarakat sangat penting. Mereka tidak hanya bertugas dalam advokasi perubahan kebijakan tetapi juga memberdayakan korban dengan memberikan pendampingan psikologis dan hukum. Kolaborasi antara pekerja sosial, pengacara, dan pemangku kepentingan lainnya sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi korban pelecehan.
Sebagai kesimpulan, meskipun Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kemajuan dalam menangani pelecehan seksual melalui kebijakan dan regulasi, masih terdapat banyak ruang untuk perbaikan. Kecukupan kebijakan ini memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama dalam hal pelaksanaan dan penegakan yang konsisten. Hanya dengan pendekatan holistik yang mencakup perubahan budaya organisasi dan kerangka hukum yang kuat, kita dapat memerangi pelecehan seksual secara efektif. Keterlibatan aktif para pekerja sosial, pemangku kebijakan, dan masyarakat secara luas sangat diperlukan untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Penulis: NOL
Desainer: TAH
- SUMBER
Mahmudah, Z., & Widiyarta, A. (2023). Peran LSM Dalam Penanganan Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Kebijakan Publik, 14(2), 220-226.
Paradiaz, R., & Soponyono, E. (2022). Perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(1), 61-72.
Putri, A. H. (2021). Lemahnya perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual di Indonesia. Jurnal Hukum Pelita, 2(2), 14-29.
Rizqian, I. (2021). Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual Dikaji Menurut Hukum Pidana Indonesia. Journal Justiciabelen (Jj), 1(1), 51.