Neo-Orba: Merenggut Demokrasi di Negeri Dongeng

Redaksi
Opini
15 Jun 2024
Thumbnail Artikel Neo-Orba: Merenggut Demokrasi di Negeri Dongeng
Neo Orde Baru (Neo Orba); di mana timbul karena ada sebuah kemiripan dengan Orde Baru, seperti terbentuknya Undang-Undang yang dinilai hanya menguntungkan bagi kalangan elit politik serta merugikan bagi publik secara universal, seperti UU KPK; kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa tidak adanya kubu oposisi yang kuat dalam parlemen sehingga dapat menjadi indikator pemerintahan akan berjalan seperti pada masa Orde Baru.

Orde Baru (Orba) adalah masa kepemimpinan Soeharto yang sangat otoriter dan hanya menguntungkan kroni-kroni serta keluarganya. Selain itu, Orba diikuti dengan praktek korupsi dan kolusi sehingga berhasil ditumbangkan oleh gerakan-gerakan reformasi yang pada akhirnya terlahir rezim demokrasi. Rakyat Indonesia seakan-akan merdeka kembali setelah runtuhnya Orde Baru pada masa itu dari pemerintahan yang dipimpin oleh seorang otoriter dan nepotisme.

Namun, pada akhir-akhir kekuasaan Jokowi sebagai Presiden, Jokowi terlihat seperti nepotisme hanya untuk menguntungkan keluarga dan golongannya tersendiri. Contohnya, dengan melanggengkan kekuasaannya, seperti menempatkan keluarganya di posisi-posisi yang strategis, mulai dari Bobby, Gibran, Kaesang, hingga Anwar Usman.

Sebuah kemiripan dapat kita lihat pada era Jokowi dengan Soeharto, di mana keluarganya ditempatkan pada posisi-posisi yang menguntungkan di pemerintahan untuk dapat melanggengkan kekuasaannya. Adanya putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 90/PUU - XXI/2023 menjadi indikasi adanya upaya untuk mewarisi kekuasaan Jokowi kepada anaknya, yaitu Gibran Rakabuming Raka.

Selanjutnya, kini disusul oleh adiknya Gibran, yaitu Kaesang Pangarep yang akan naik menjadi Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta bersama keponakan dari Prabowo yaitu Budi Djiwandono sebagai Gubernur. Namun, seperti yang kita ketahui bahwasannya Kaesang belum memenuhi syarat untuk naik menjadi Wagub yang seharusnya berusia 30 tahun. Kaesang saat ini masih berusia 29 tahun dan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) seluruh daerah di Indonesia akan dilaksanakan pada 27 November 2024, yang di mana Kaesang pada bulan tersebut juga masih belum berusia 30 tahun karena ia lahir pada tanggal 25 Desember. 

Meskipun begitu, Mahkamah Agung (MA) dapat memberikan harapan terhadap Kaesang untuk dapat mencalonkan dirinya menjadi Wagub, yaitu dengan memundurkan tanggal pelaksanaan Pilkada di tahun 2025 meskipun saat ini tanggal pastinya belum ada penetapan dari kebijakan MA. 

Selain itu, di akhir masa jabatan Jokowi juga akan ada perevisian pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang di mana kebebasan pers maupun demokrasi akan terancam, seperti Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2002 yang akan direvisi, seperti salah satu pasal 50b yang melarang penayangan eksklusif hasil produk Jurnalistik Investigasi. Selain itu, melarang konten yang berbau penghinaan, pencemaran nama baik, kekerasan, serta radikalisme-terorisme. Jika hal tersebut terjadi, tidak hanya kebebasan pers saja yang terancam/terbungkam, bahkan para pekerja konten kreator pun terancam akan pekerjaannya.

Dengan kata lain, demokrasi di Indonesia akan seperti mati. Apapun bentuk yang merupakan kebebasan berekspresi akan dibungkam oleh pihak-pihak atas atau penguasa-penguasa di dalam pemerintahan. Jokowi yang terlihat seperti leha-leha saja dalam melakukan pekerjaannya, tetapi ternyata kebijakannya beserta kroni-kroninya begitu mengancam kebebasan rakyat Indonesia. 

Kebijakan-kebijakan di atas memperlihatkan Jokowi seperti begitu ingin kekuasaannya diteruskan kepada anak-anaknya. Permainan politik nepotisme beliau begitu terang-terangan di kalangan masyarakat dan seperti akan melakukan pembungkaman kepada rakyat-rakyat Indonesia terhadap kebebasan berekspresi serta kebebasan pers di Indonesia karena akan adanya perevisian undang undang penyiaran.

Penulis: Tungea
Desainer: LYL

LPM Channel

Podcast NOL SKS