Nasi Tumpeng Dibuang? Yuk! Intip Filosofi dan Sejarahnya
Redaksi
Esai
18 Sep 2024

Akhir-akhir ini nasi tumpeng sedang ramai dibicarakan, karena kehadiran nasi tumpeng turut memeriahkan perayaan ulang tahun Kabupaten Karawang pada 14 September lalu. Sebanyak 1.600 nasi tumpeng berhasil dikumpulkan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Karawang, perusahaan, sekolah, dan pemegang saham cukup untuk membentuk peta Karawang hingga memecahkan rekor muri. Namun tidak berhenti disitu saja, nasi tumpeng tersebut sebagian dibuang karena alasan sudah tidak layak makan.
Dari kejadian tersebut, tahukah kamu filosofi dan sejarah dari nasi tumpeng? Mari kita bahas!
Filosofi
Nasi tumpeng adalah sajian tradisional Indonesia berbentuk kerucut dengan berbagai lauk yang mengelilinginya. Hidangan yang biasanya disajikan dalam acara-acara penting ini, seringkali ditandai dengan warna nasi yang unik, yaitu berwarna kuning.
Dilansir dari Fimela.com, warna kuning dari nasi tumpeng bukanlah tanpa alasan, warna kuning tersebut diibaratkan warna emas yang diartikan sebagai kekayaan dan kemakmuran. Lalu, bentuk kerucut pada nasi tumpeng menggambarkan gunung, karena banyaknya gunung berapi di Pulau Jawa. Selain itu, lauk dalam nasi tumpeng memiliki makna mendalam, seperti telur rebus utuh melambangkan pentingnya etos kerja dan perencanaan matang sebelum bertindak, sayur urap seperti kacang panjang yang mewakili pemikiran jauh ke depan, taoge yang melambangkan pertumbuhan, cabai merah yang dibentuk seperti kelopak bunga melambangkan penerangan yang bermanfaat bagi orang lain, dan ikan teri melambangkan kerukunan dan kebersamaan.
Sejarah
Sejarah nasi tumpeng berakar dari tradisi masyarakat agraris dan pegunungan di Indonesia, khususnya Jawa, yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur. Tumpeng sering disajikan dalam upacara adat sebagai wujud penghormatan terhadap alam dan leluhur. Bentuk kerucut nasi tumpeng diyakini terinspirasi dari Gunung Mahameru, karena dianggap sebagai gunung suci dalam ajaran Hindu-Buddha. Saat Islam mulai berkembang di Jawa pada abad ke-13, makna tumpeng bergeser menjadi simbol rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Saat ini, tumpeng tidak hanya menjadi simbol spiritual, tetapi menjadi wujud doa dan harapan. Selain itu, tradisi memotong dan membagikan tumpeng mencerminkan nilai gotong royong serta kebersamaan dalam bermasyarakat.
Setelah kita mengetahui filosofi dan sejarah dari nasi tumpeng yang memang bernilai tinggi, tindakan yang dilakukan oleh Pemda Karawang untuk memecahkan rekor muri kemarin dinilai hal yang mubazir dan bentuk kegiatan yang hanya bertujuan memecahkan rekor muri saja. Sehingga, perlu dijadikan pelajaran untuk Pemda Karawang agar lebih bijak ketika merencanakan sesuatu.
Penulis: DNL
Desainer: DNL dan IDN
Desainer: DNL dan IDN
SUMBER