Nala
Redaksi
Cerpen
20 Nov 2024

Matahari begitu terik. Kali ini tidak ada pohon serta daun rindang yang melindungi kita dari paparan sinar matahari yang amat sangat menyengat dengan wangi khas terbakar mulai menyelimuti indra penciumanku, jelas berasal dari jaket laki-laki yang kini sudah memudar dan berubah warna hampir memerah dari warna aslinya.
Tangannya sibuk memegang kompas guna mencari kemana arah jarum penunjuk kita berjalan. Kompas antik itu benar-benar membantu kita saat ini, bukan karena kita masih berada di zaman purba kala. Nasib naas yang kali ini kita alami sangat menyedihkan, dan barang yang tersisa tinggal kompas penyelamat ini. Jalan setapak serta curam benar-benar membuat kita semua berhati-hati.
Untuk pertama kalinya, kita benar-benar tersesat. Tersesat dari jalan yang seharusnya kita tuju, para pendaki seolah lenyap ditelan bumi kali ini, hanya tersisa Kayra, Janitra, Lily, Nala, serta Philo. Semua sibuk dengan keresahannya masing-masing.
“Gimana Jan, masih berfungsi kompasnya?” tanya Kayra begitu cemas.
Kayra begitu takut, kompas, barang satu-satunya yang kita miliki kali ini, tiba-tiba tidak berfungsi. Pasalnya, Janitra benar-benar tidak bergerak sedikit pun dari berdirinya hampir 10 menit lamanya, entah apa yang dia pikirkan kali ini.
“Aman, Ra,” ucap Janitra tersenyum, berharap Kayra tak mencemasinya lagi.
Nala mulai berjalan ke arah Janitra diikuti tatapan kosong miliknya. Nala benar benar tidak sanggup menatap lawan bicaranya kali ini, tatapannya tetap kosong hingga kata terakhir yang ia lontarkan. “Jan, gua minta maaf ya, ini semua pasti gara-gara gue. Maafin gue ….” lirihnya.
“Gara-gara lo ya, La, kita semua jadi tersesat,” hardik laki-laki bernama Philo.
Wajah Philo kini mulai memerah, amarah yang tak tertahankan dan sifatnya yang terkenal tegas, mendorongnya untuk menghardik Nala. Menurutnya, Nala adalah biang dari masalah yang mereka hadapi; tersesatnya mereka adalah salah Nala.
Subuh tadi, tanpa sengaja Nala menemukan boneka.
“Raa, lucu bangetttt bonekanya!” seru Nala sambil menunjukkan boneka tanpa pemilik yang ia temukan di atas tas pendaki yang sedikit lusuh.
“Ya ampun, gemes banget!” jawab Kayra dan Lily serentak, berdecak kagum serta ingin memegang boneka tersebut.
“Philo, Janirtaaa, sini lihat! Gemes banget lho!” teriak Lily berusaha memanggil Philo dan Janirta agar menghampiri mereka bertiga.
“Boneka ini punya siapa?” tanya Janirta datar.
“Gak tahu, tuh. Nala ambil dari situ,” jawab Lily sambil menunjukkan tempat dari mana boneka tersebut berasal.
Setelah tahu dari mana boneka itu berasal, Janirta terlihat kaget dan langsung memperhatikan tas pendaki gunung yang begitu lusuh.
Janirta masih tetap menatap datar walaupun sudah terlihat kerutan di dahinya. “Nala, tolong simpan lagi ya bonekanya di sana,” kata Janirta dengan nada yang tegas.
“Apaan sih, Jan? Gue suka banget bonekanya, Jan. Gak bisa! Mau gue bawa pulang,” rengeknya, melawan dengan ekspresi kecewa.
“Yaudah lah, Jan, biarin aja tuh anak,” ucap Philo cuek, sambil menarik Janirta agar segera melanjutkan perjalanannya.
Boneka yang begitu lucu serta menggemaskan masih mereka timang-timang seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan yang ia dambakan. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Saat mereka semua beranjak menuruni Gunung Halimun Salak hari ini, setelah menemukan boneka lucu itu, Nala berniat untuk membawanya pulang. Tidak ada rasa khawatir sedikit pun di hati mereka semua, tetapi berbeda dengan Janirta. Setiap langkahnya, Janirta merasakan kekhawatiran, pasalnya ia tidak tahu dari mana boneka itu berasal.
Setiap langkahnya terasa begitu berat. Bahkan, sudah empat kali mereka melewati jalan yang sama. “Jan, lo bisa gak sih pake kompas?” cecar Philo dengan wajah penuh amarah dan segera merampas kompas yang berada di tangan Janirta. Jarum kompas itu lagi-lagi menunjukkan ke arah yang sudah mereka lewati yang keempat kalinya.
“Ini rusak ya, Ra?” tanya Philo yang berusaha menghampiri Kayra tepat di belakangnya.
“Sini, gue cek, Phil,” jawab Kayra sambil mengulurkan tangannya.
Philo segera memberikan kompas milik Kayra agar segera dicek kerusakannya. “Sebelumnya udah gue service kok, Phil, Jan,” ucap Kayra sambil memandang Philo dan Janirta agar mereka semua percaya bahwa kali ini kompasnya benar-benar masih layak dan berfungsi. Lalu, Kayra menghampiri Janirta yang terduduk lemas di hadapannya, lalu berbisik.
“Phil, Jan, kita beneran tersesat?” tanyanya hati-hati.
Waktu begitu cepat berlalu, siang pun tiba. Mereka semua sudah kehabisan bahan makanan, bahkan mereka meninggalkan tenda dengan semua perlengkapan mereka, dari mulai baju, alat masak, dan yang lainnya di pos terakhir. Kini tersisa perlengkapan seadanya, karena tak terbayangkan sedikit pun mereka akan tersesat seperti ini.
“Guys, kita udah gak punya banyak waktu lagi. Lima jam ke depan kita semua harus keluar dari gunung ini gimana pun caranya. Kita udah kehabisan bahan makanan, energi kita gak akan kuat kalau sampai besok pagi perut kita belum terisi apapun dari tadi pagi. Untuk kali ini gue mau kalian semua ikutin kata gue. Sekarang gue mau kalian semua membuat lingkaran kecil, lalu pejamkan mata kalian, resapi apa yang salah dari kita. Gue takut kita melakukan yang tidak seharusnya dilakukan. Gue harap kalian sungguh-sungguh dan berserah diri, semoga kali ini Tuhan bantu kita,” ujar Philo dengan nada serius.
Kini mereka semua berpejam, saling berhadapan, berpegang erat satu sama lain, membuat lingkaran, lalu meratapi sebenarnya apa yang salah dari semua ini. Masing-masing dari mereka, seperti Kayra, Nala, Philo, Janirta, dan Lily dengan hikmat memejamkan matanya, berharap ada secercah petunjuk yang nantinya diberikan Tuhan.
Memori mereka mulai terputar perlahan. Philo yang teringat adalah saat-saat pertengkarannya dengan adiknya, terutama tentang seorang wanita cantik yang ternyata sama-sama mereka dekati, bahkan sebelum Philo berangkat mendaki. Adiknya sempat melihat Philo bersama wanita itu di mall, sedang menonton film bersama.
Memori yang terputar di kepalanya adalah momen-momen di mana Lily dan Nala sering mengunjunginya untuk sleepover setiap minggu. Mereka merasa nyaman bersama di rumah Kayra, terutama karena kasur king size milik Kayra yang sangat luas dan pas untuk tubuhnya yang kecil.
Di sisi lain, Lily teringat saat-saat ia menemani Nala yang sedang dilanda kesedihan setelah ibunya meninggal setahun yang lalu. Nala yang sangat dekat dengan Lily, membuat momen-momen mereka bersama terasa begitu berarti.
Ketika Janitra mulai memejamkan matanya, memori yang terputar hanyalah saat ia sibuk memeriksa kompas untuk memastikan mereka berada di jalur yang benar, dan saat Nala menemukan boneka yang lucu. Janitra mencoba mencegahnya, namun ingatan-ingatan itu terus berputar, terganggu oleh memori boneka tersebut. Dalam pikiran mereka semua, muncul sosok pemilik boneka dengan pakaian putih berlumuran darah, yang berteriak histeris sambil menatap mereka dengan tajam.
“Tolong! Tolong, kembalikan bonekaku! Kembalikan bonekaku! Kembalikan bonekaku!!” teriaknya, memecah keheningan.
Mereka semua terkejut. Mata terbelalak, jantung berdebar begitu cepat. Boneka gemas yang tadinya tampak lucu kini berubah menjadi boneka berlumuran darah. Berbeda dengan Nala, yang masih memejamkan mata, terlihat lemas dan tak berdaya, lalu terlelap, tidak sadarkan diri.
“Nal! Nala!” Lily yang menjadi tempat bersandar Nala berusaha menyadarkannya dengan berbagai cara. Ia mengusap pipi Nala, menepuk halus, berharap Nala sedikit kaget dan terbangun. Namun, ia tetap terlelap, dan Lily pun mengguncang tubuh Nala dengan keras, berharap ia bisa bangun.
“Boneka ... bonekanya di mana?” Kayra sibuk mencari boneka lucu itu yang juga masuk dalam memori mereka saat mereka semua memejamkan mata.
“Li, di mana bonekanya, Li?” tanya Kayra panik, mulutnya terus memanggil-manggil.
“Boneka, boneka, di mana bonekanya?” tanya Kayra lagi, tangannya tak berhenti mencari.
“LI, DI MANA BONEKANYA?!” Jeritnya tak tertahankan.
“Kay, udah!” sergah Janitra, lalu menarik Kayra ke dalam pelukannya, berharap ia bisa menenangkan teman mereka di tengah kondisi yang semakin membingungkan. Janitra sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Pelukannya semakin erat, tubuh Kayra didekap semakin dalam, hingga seluruh tubuhnya tenggelam dalam dekapan Janitra.
“Ra, udah ya. Gue tahu lo capek, tapi gue yakin kita semua bisa cari boneka itu dan kembalikan ke pemiliknya. Udah, percaya sama gue,” kata Janitra, mencoba menenangkan teman-temannya.
Satu jam berlalu, tapi Nala tak kunjung sadar. Philo yang sudah geram dengan kondisi ini akhirnya bersuara, “Gue nggak mau mati konyol di sini!”
“Tolong!” teriak Philo, berharap suaranya didengar oleh pendaki lain.
“Tolong!” Tanpa henti, Philo terus meminta tolong, berteriak untuk kesepuluh kalinya, hingga akhirnya ia benar-benar muak dengan apa yang sedang terjadi.
“Gue mau cabut! Yang nggak mau mati konyol, ayo ikut gue!” kata Philo dengan nada sarkastik.
Tak ada satu pun yang merespons, dan Philo pun berjalan pergi seorang diri. Langkahnya seolah diberi petunjuk oleh takdir, hingga ia akhirnya berhenti, terhenti oleh sesuatu yang tiba-tiba memegang betisnya. Philo terjatuh, dan matanya terbelalak saat ia menyadari apa yang menghalangi jalannya. Setelah berjalan sekitar 500 meter, barulah ia melihatnya—boneka itu.
Segera ia mengambil boneka yang ada di kakinya, bertanya-tanya bagaimana mungkin boneka sekecil itu, sekitar 45 sentimeter, bisa menahan tubuhnya yang jauh lebih besar. Dengan cepat, Philo meraih boneka itu dan berlari kembali, berniat untuk menemui teman-temannya. Namun, saat ia tiba di tempat yang semestinya dipenuhi oleh teman-temannya, tempat itu sudah kosong. Tidak ada seorang pun di sana.
“Pohon beringin ini …,” lirih Philo. Benar adanya, dua pohon beringin itu menjadi tempat pemberhentian terakhir mereka. Kini, Philo berada di sana sendirian.
“Tunggu, kamu cari siapa?” tanya boneka yang kini berlumuran darah dengan suara berat.
Philo terbelalak, tanpa sadar melemparkan boneka itu. “SIAPA KAMU?!” teriaknya.
“Lihat ke sebelah sana, bukankah itu teman-temanmu?” bisik boneka itu pelan di telinga Philo. Ia pun menoleh ke arah barat, mengikuti arah bisikan tersebut.
Dengan segera, Philo berlari menghampiri teman-temannya. Namun, nasib buruk menimpanya. Tubuhnya terpental, seperti menembus dinding dua dimensi. Entah kali ini siapa yang terperangkap—mereka atau Philo.
Di dimensi lain, Kayra, Nala, Lily, dan Janitra masih termenung, merindukan Philo dan berharap ia kembali. Tak lama, Philo muncul di hadapan mereka.
“Phil,” sapa Lily dengan suara pelan.
“Phil!” panggil Janitra, tak percaya melihat Philo datang. Wajah Philo pucat, matanya terpejam, dan langkahnya teratur, seolah bukan dirinya yang mereka kenal. Janitra segera mendekati Philo.
“Phil,” panggilnya, memastikan apakah itu benar-benar sahabatnya, Christian Philo Wijayanto.
Namun, Philo tak memberi jawaban. Ia melangkah mendekat ke Nala yang kini sudah sadar. “Aku mau dia,” ucap Philo sambil mendekatkan tubuhnya ke Nala.
Nala segera menjauh, sadar bahwa roh yang menguasai tubuh Philo bukanlah Philo yang mereka kenal, melainkan roh pemilik boneka itu. Mata Philo membelalak, tangannya terulur, ingin meraih Nala dari kejauhan. Mereka semua berlari menjauh, sementara Janitra tetap berusaha menghampiri Philo dan menariknya menjauh dari teman-temannya.
“Ini bukan roh Philo lagi!” kata Nala, menjelaskan kepada yang lainnya.
“Kita harus cari Philo sekarang juga! Tidak ada waktu lagi!” seru Nala, memimpin teman-temannya. Mereka melangkah dengan penuh keyakinan, seakan tahu di mana Philo yang sebenarnya berada. Jalan semakin sempit, hanya menyisakan setapak bagi langkah mereka.
“Guys, hati-hati, pelan-pelan ya,” ucap Nala dengan penuh kehati-hatian. “Kita harus ke sana!” lanjut Nala menunjuk cahaya putih yang tampak di dalam pohon beringin, kini jaraknya kurang dari satu kilometer.
“Lo pegangin gue ya, Ly. Gue yakin kita bertiga pasti bisa,” ucap Kayra kepada Lily yang kini berpegangan dengannya. Dengan langkah hati-hati, mereka melangkah menuju cahaya putih yang kini berada di hadapan mereka. Setelah berhasil menembus cahaya itu, Nala, Kayra, dan Lily berhasil menemukan Philo di dalamnya.
“Nal,” sapa Philo dari kejauhan.
“Guys, gue yakin kita akan diuji. Kita harus yakin dengan suara siapa yang kita dengar. Jangan buka mata kalian, apapun yang terjadi,” tutur Nala, memberi instruksi kepada teman-temannya.
Philo terus memanggil Nala dengan suara tegasnya, suara yang sangat dikenali oleh Nala, sebuah sapaan penuh kasih dan kedekatan yang terjalin lama di antara mereka.
“Tetap pelan-pelan ya, dan pejamkan mata kalian,” kata Nala sekali lagi.
“Nala .…” suara Philo semakin mendekat.
“Aku di sini, Phil,” jawab Nala, merangkul Philo dengan penuh kasih sayang. Kini, mereka berjalan kembali menuju cahaya yang semakin meredup, berharap bisa kembali ke tempat asal mereka. Dengan pelukan erat, mereka melangkah pasti.
Setelah menembus cahaya itu, mereka semua berkumpul di depan pohon beringin, seolah masuk ke dalam mesin waktu, kembali ke jam makan siang, dengan Janitra, Philo, Kayra, Lily, dan Nala seperti tidak ada yang terjadi.
“Oke guys! Semua siap?” tanya Kayra, bersemangat.
“Siap, Kay!” sahut Nala dari tempatnya, masih berusaha memperbaiki kupluk yang hampir melorot dari kepalanya.
Mereka semua siap untuk melanjutkan perjalanan pulang. Seolah petualangan mereka telah berakhir, namun janji untuk tidak mengingat apapun tentang kejadian itu tetap terpatri dalam hati mereka.
Penulis: Putri Malu
Desainer: ZFS
Desainer: ZFS