Mengapa Korban KS Takut Melapor?

Redaksi
Opini
07 Oct 2024
Thumbnail Artikel Mengapa Korban KS Takut Melapor?
Kekerasan Seksual (KS) merupakan masalah serius yang dialami banyak individu di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Maraknya KS di Indonesia tertuai pada data milik Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terkait pelaporan tindakan diluar norma tersebut, tercatat 4.179 kasus “terlapor” yang didominasi oleh kasus Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE), pelecehan seksual, dan pemerkosaan. 

Sayangnya, dibalik maraknya KS di lingkungan masyarakat, juga masih banyak pula korban yang enggan untuk melapor. Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari stigma masyarakat hingga ancaman dari pelaku, yang membuat para korban memilih diam daripada menghadapi potensi dampak negatif yang lebih besar. Untuk memahami mengapa korban takut melapor, kita perlu melihat berbagai hal yang membentuk lingkungan di sekitar mereka.

Salah satu alasan utama mengapa korban KS takut untuk melapor adalah stigma sosial yang masih sangat kuat. Masyarakat sering kali cenderung menyalahkan korban LP atau yang dikenal dengan istilah victim blaming. Ketika korban berbicara, bukan dukungan yang mereka dapatkan, melainkan penghakiman. Mereka mungkin akan dituding sebagai pihak yang ‘mengundang’ kekerasan tersebut, baik karena cara berpakaian, perilaku, atau berada di tempat yang dianggap ‘berbahaya.’ Hal ini tentu sangat tidak adil, tetapi sudah menjadi pola pikir umum yang sangat sulit diubah. Pandangan ini membuat banyak korban merasa malu, takut, dan cemas akan reputasi mereka. Dalam banyak kasus, korban akhirnya merasa bahwa melapor hanya akan memperburuk situasi, karena mereka. Lebih jauh lagi, institusi sosial seperti sekolah, universitas, dan tempat kerja sering kali tidak mendukung korban. Mereka takut bahwa melapor akan merusak reputasi mereka di mata orang lain. Di lingkungan kampus, misalnya, mahasiswa yang melapor KS mungkin menghadapi perundungan atau isolasi sosial dari rekan-rekannya. Ini terjadi karena pandangan masyarakat yang masih sering kali berpihak kepada pelaku.

Selain stigma masyarakat, ancaman langsung dari pelaku juga menjadi faktor yang sangat signifikan. Banyak pelaku KS menggunakan ancaman fisik dan psikologis untuk memastikan korban tetap diam. Dalam beberapa kasus, pelaku memiliki kekuatan atau otoritas yang lebih besar dibandingkan korban, seperti atasan terhadap bawahan, guru terhadap murid, atau pejabat terhadap staf. Ancaman-ancaman ini tidak selalu eksplisit. Beberapa korban bahkan diancam secara halus dengan konsekuensi sosial atau ekonomi. Seorang karyawan yang mengalami KS dari atasannya, misalnya, mungkin takut melapor karena khawatir kehilangan pekerjaan atau di-blacklist di industri tempat ia bekerja. Kondisi ini memperburuk ketakutan korban karena mereka merasa bahwa melapor bisa menghancurkan kehidupan mereka, baik secara finansial maupun sosial. Banyak korban yang merasa bahwa laporan mereka tidak akan dipercaya, terutama jika pelaku adalah seseorang yang berkuasa. Mereka khawatir bahwa mereka akan dianggap membuat-buat cerita, dan alih-alih mendapatkan keadilan, justru mereka yang akan dihukum secara sosial atau bahkan formal. Rasa tidak berdaya ini membuat korban terperangkap dalam ketakutan mereka sendiri, yang akhirnya mendorong mereka untuk memilih diam.

Tidak hanya stigma dan ancaman saja, trauma yang dialami korban KS juga menjadi salah satu alasan utama mereka enggan melapor. KS sering kali meninggalkan luka emosional dan psikologis yang dalam. Proses melaporkan KS berarti korban harus mengingat kembali setiap detail dari kejadian yang traumatis tersebut, yang bisa sangat menyakitkan. Mereka harus mengulang kembali pengalaman mereka berkali-kali, mulai dari saat melaporkan kepada polisi, hingga proses investigasi dan pengadilan. Proses hukum dalam kasus KS sering kali tidak berpihak kepada korban. Di banyak negara, termasuk Indonesia, proses pengadilan bisa menjadi sangat panjang dan melelahkan. Korban harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sering kali meragukan kebenaran cerita mereka. Dalam beberapa kasus, korban malah diperlakukan seolah-olah mereka adalah terdakwa. Banyak dari mereka yang merasa bahwa keadilan sulit dicapai, apalagi jika pelaku memiliki pengaruh kuat. Mereka khawatir bahwa melaporkan hanya akan memperpanjang penderitaan mereka, sementara hasil akhirnya belum tentu sesuai dengan harapan. 

Banyak institusi, seperti universitas, perusahaan, atau bahkan lembaga pemerintah, belum memiliki mekanisme yang cukup baik untuk menangani kasus KS. Banyak korban merasa tidak tahu harus melapor ke mana atau merasa bahwa laporan mereka tidak akan ditindaklanjuti dengan serius. Kurangnya protokol yang jelas dan proses yang ramah korban membuat mereka merasa lebih baik diam daripada menghadapi ketidakpastian dan kemungkinan tidak diindahkan. Di tingkat hukum, meskipun ada undang-undang yang mengatur KS, penerapannya sering kali tidak efektif. Korban sering kali merasa bahwa melaporkan KS adalah langkah yang sia-sia karena pelaku bisa lolos begitu saja, baik karena kekurangan bukti atau karena lemahnya penegakan hukum. Ketidakpastian ini menambah beban psikologis bagi korban, yang pada akhirnya membuat mereka memilih untuk tidak melapor.

Maka dari itu, cara untuk mengubah situasi ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Masyarakat harus dididik untuk menghentikan budaya victim blaming dan mulai menunjukkan empati kepada korban. Pendidikan tentang kesetaraan gender, hak-hak korban, dan penanganan KS harus dimasukkan dalam kurikulum di sekolah dan universitas. Media juga berperan besar dalam membentuk opini publik. Media harus berhenti menampilkan berita KS dengan sudut pandang yang menyalahkan korban dan mulai mengedukasi masyarakat tentang pentingnya keadilan bagi korban. Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem hukum. Proses hukum harus dibuat lebih ramah korban, dengan menyediakan perlindungan yang memadai dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses. Di tingkat institusi, kampus, perusahaan, dan lembaga lainnya harus menyediakan saluran pelaporan yang aman dan rahasia, serta menjamin bahwa setiap laporan akan ditindaklanjuti dengan serius. Dukungan psikologis dan sosial juga harus diberikan kepada korban, sehingga mereka tidak merasa sendirian dalam perjuangan mereka.

Penulis: Adios
Desainer: NTB

LPM Channel

Podcast NOL SKS