Memperingati Kebebasan Pers: Kebebasan Pers yang Tidak Begitu Leluasa
Redaksi
Opini
03 May 2024

Pers merupakan lembaga sosial yang melaksanakan kegiatan jurnalistik sebagai media massa nan bisa dijadikan media pembelajaran serta penyalur informasi kepada publik, seperti yang kita ketahui setiap tanggal 3 Mei selalu memperingati hari kebebasan pers sedunia atau World Press Freedom Day (WPFD), untuk meningkatkan kesadaran bahwasannya betapa pentingnya kebebasan pers ini dalam bebas bersuara dan bebas berekspresi dengan cara melalui kata-kata, tertulis, gambar, cetakan, maupun berupa yang lainnya. Hal ini tertulis di dalam pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)/Pernyataan umum tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Kita ulas sedikit sejarahnya. Pada masa itu kurang lebih di tahun 1991 terjadinya kericuhan perpolitikan di Afrika Selatan, di tengah-tengah kericuhan itu para pers maupun awak media dalam melakukan pekerjaannya harus bebas dan independen walaupun mengalami berbagai tekanan dan kekerasan, lalu di tahun yang sama pada 29 April sampai 03 Mei, sekelompok awak media maupun pers Afrika mengajukan banding pada konferensi UNESCO (United Nations, Educational, Scientific and Cultural Organization) yang diadakan di ibu kota Namibia, Windhoek. Mereka Pun menciptakan “Deklarasi Windhoek”, sebuah dokumen untuk dasar bagi pers yang bebas, independen, dan plural.
Hari Kebebasan Pers Sedunia pada awalnya dideklarasikan oleh Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1993 menyusul rekomendasi yang diadopsi pada sesi ke-26 Konferensi Umum UNESCO pada tahun 1991. Lalu akhirnya pada 3 Mei 1991 dinyatakan sebagai Hari Kebebasan Pers sekaligus Deklarasi Windhoek.
Hak kebebasan pers di Indonesia menurut saya sudah sedikit bagus, daripada sebelum masa reformasi. Saat sebelum reformasi, keadaan kebebasan pers sangat dibatasi oleh rezim penguasa saat itu, pergerakannya jurnalis begitu diawasi oleh pemerintah sampai tidak diperbolehkannya untuk mengkritik yang berwenang di suatu pemerintahan ataupun suatu kinerjanya. Namun, setelah masa itu, tepat di tahun 1999 disahkannya Undang-undang pers no 40 yang berisi; Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, terhadap pers tidak dikenakan pelarangan penyiaran, serta menjamin kemerdekaan pers, yang hak nya mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi dan gagasan. Hal tersebut menjadi gerbang awal kebebasan pers menjadi sedikit lebih baik dibandingkan masa sebelum reformasi.
Seperti yang kita ketahui pada tanggal 18 Maret kemarin, Dewan pers dan Kementerian Pendidikan tinggi, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan perjanjian kerjasama untuk penguatan dan perlindungan aktivitas jurnalistik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Adanya perjanjian kerjasama ini sengketa pemberitaan pers mahasiswa akan ditangani selayaknya pers umum yang di mana melalui Dewan pers.
Walaupun adanya Undang-undang pers No 40 Tahun 1999, tidak menutup kemungkinan setiap jurnalis ataupun awak media ketika melakukan pekerjaannya masih merasakan tekanan ataupun kecaman dari beberapa oknum aktor negara dan aktor non-negara seperti aparatur pemerintah, warga, serta masih banyak lainnya. Kecaman ataupun tekanan yang diberikan kepada jurnalis ataupun awak media berupa fisik maupun nonfisik merupakan gambaran bahwa kebebasan pers ini masih belum bisa terealisasikan sepenuhnya kepada semua jurnalis ataupun awak media ketika melakukan aktivitas pekerjaannya. Peristiwa tragis sering dialami mereka yang bekerja turun ke lapangan, seperti terjadinya peneroran terhadap awak media dan intimidasi, pelecehan seksual, perusakan atau perampasan alat kerja, kekerasan fisik, dan serangan digital.
Lalu pada akhirnya kebebasan pers ini tidak dapat dirasakan oleh semua pers yang ada di dunia, hanya sebagian saja yang dapat merasakan kebebasan itu. Walau belum bertemu pada titik berdiri tegaknya kebebasan pers yang sebagai salah satu pilar demokrasi ini, disatu sisi juga masyarakat/warga negara juga merupakan sebagian dari demokrasinya negara. Jadi, kebebasan pers ini tidak hanya berguna untuk awak media saja, tetapi berguna juga untuk masyarakat luas. Kita harus bisa menanamkan suatu kesepahaman terhadap kebebasan pers ini. Melihat kenyataannya akan hal itu, saya lebih percaya Hitler pernah singgah di Garut, dan berjualan dodol disana.
Penulis: Tungea