“Mata Kita, Milik Siapa?”
Redaksi
Opini
12 May 2025

Publik baru-baru ini dikejutkan dengan sebuah perusahaan yang memberikan ratusan ribu rupiah apabila penggunanya ingin melakukan pemindaian pada retina mata mereka. Uang itu diberikan secara cuma-cuma. Pengguna hanya perlu mengunduh aplikasi, datang ke ruko yang telah disiapkan, lalu melakukan pemindaian retina, dan voila! Token gratis senilai ratusan ribu dapat dicairkan melalui electronic wallet (e-wallet). Sangat terdengar menarik sekaligus mencurigakan.
Bagi penggiat teknologi, akademisi, atau orang-orang yang terbiasa dengan paparan teknologi serta pemikiran yang mumpuni, mungkin dengan cepat akan mendapatkan alarm imajiner berbahaya dalam kepalanya. Namun, bagaimana dengan sebagian penduduk negeri yang memiliki minat baca rendah? Apakah mereka merasakan tanda bahaya dari pemindaian retina dengan imbalan uang ini?
Tentu saja tidak. Saat pertama kali diluncurkan di Indonesia, banyak warga yang langsung pergi berbondong-bondong untuk melakukan pemindaian retina. Sungguh mengejutkan—bagaimana bisa warga negeri itu dengan senang hati memberikan data privasi tingkat tinggi pada sebuah perusahaan yang dicekal di berbagai negara? Mungkin saja mereka sangat mempercayai pemerintahnya, karena salah satu menteri dengan bangga mengunggah foto saat ia melakukan pemindaian retina. Sangat membanggakan.
Perusahaan yang menaungi sistem ini dikenal dengan nama Worldcoin. Alibi mereka, sih, untuk membedakan manusia dengan Artificial Intelligence (AI), jadi mereka bilang tuh kalau lagi butuh banyak data. Kenya, Spanyol, Portugal, dan banyak negara maju sudah melarang perusahaan ini untuk beroperasi. Akhirnya, mereka ‘cek ombak’ di Indonesia.
Tetapi kenapa, sih, harus dilarang? Padahal, kan, enak ya, scan-scan dapat uang, lumayan buat jajan bakso di depan komplek. Mungkin begitu pemikiran rakyat, yang menurut World Bank (World Bank tidak ada hubungannya sama Worldcoin) punya 60,3% penduduk yang berpenghasilan rendah dan rentan miskin.
Banyak ahli yang memperkirakan bahwa di masa depan, retina kita tuh bakal jadi kunci keamanan data paling mutakhir, pokoknya yang seperti di film-film sci-fi bakal kesampaian deh. Bikin akun, verifikasi data, atau ngelakuin kegiatan yang butuh keamanan tingkat tinggi, ngebutuhin retina mata sebagai kunci utamanya. Jadi, scan retina ini bahaya banget deh pokoknya, bahkan dapat membuat kalian jadi gelandangan digital di masa depan.
Pemerintah sudah membekukan sementara izin operasional dari perusahaan ini. Tenang aja, kan pemerintah kita gercep banget (nunggu viral dulu, sih). Sayangnya, pembekuan ini hanya dilakukan secara sementara. Pemerintah masih melakukan kajian dan riset mendalam perihal scan retina. Sepertinya warga sudah tidak sabar ingin memberikan data mereka secara cuma-cuma, ya. Apa itu masa depan? Yang penting bisa beli beras.
Pada akhirnya, ini bukan cuma soal uang receh atau antrean panjang di depan ruko. Ini tentang seberapa murah kita menilai data paling pribadi yang kita miliki. Kalau retina mata saja dapat dibarter dengan sekotak mie instan digital, jangan kaget kalau nanti identitas kita dibajak tanpa permisi. Dunia makin canggih, dan celakanya, kadang kita terlalu santai menghadapi tipu muslihat yang dibungkus teknologi. Tapi ya sudahlah, mungkin beginilah cara bangsa ini menukar masa depan: satu iris, satu token, satu tawa pahit.
Penulis: Marie
Desainer: Ekas Abdul Baits
Bagi penggiat teknologi, akademisi, atau orang-orang yang terbiasa dengan paparan teknologi serta pemikiran yang mumpuni, mungkin dengan cepat akan mendapatkan alarm imajiner berbahaya dalam kepalanya. Namun, bagaimana dengan sebagian penduduk negeri yang memiliki minat baca rendah? Apakah mereka merasakan tanda bahaya dari pemindaian retina dengan imbalan uang ini?
Tentu saja tidak. Saat pertama kali diluncurkan di Indonesia, banyak warga yang langsung pergi berbondong-bondong untuk melakukan pemindaian retina. Sungguh mengejutkan—bagaimana bisa warga negeri itu dengan senang hati memberikan data privasi tingkat tinggi pada sebuah perusahaan yang dicekal di berbagai negara? Mungkin saja mereka sangat mempercayai pemerintahnya, karena salah satu menteri dengan bangga mengunggah foto saat ia melakukan pemindaian retina. Sangat membanggakan.
Perusahaan yang menaungi sistem ini dikenal dengan nama Worldcoin. Alibi mereka, sih, untuk membedakan manusia dengan Artificial Intelligence (AI), jadi mereka bilang tuh kalau lagi butuh banyak data. Kenya, Spanyol, Portugal, dan banyak negara maju sudah melarang perusahaan ini untuk beroperasi. Akhirnya, mereka ‘cek ombak’ di Indonesia.
Tetapi kenapa, sih, harus dilarang? Padahal, kan, enak ya, scan-scan dapat uang, lumayan buat jajan bakso di depan komplek. Mungkin begitu pemikiran rakyat, yang menurut World Bank (World Bank tidak ada hubungannya sama Worldcoin) punya 60,3% penduduk yang berpenghasilan rendah dan rentan miskin.
Banyak ahli yang memperkirakan bahwa di masa depan, retina kita tuh bakal jadi kunci keamanan data paling mutakhir, pokoknya yang seperti di film-film sci-fi bakal kesampaian deh. Bikin akun, verifikasi data, atau ngelakuin kegiatan yang butuh keamanan tingkat tinggi, ngebutuhin retina mata sebagai kunci utamanya. Jadi, scan retina ini bahaya banget deh pokoknya, bahkan dapat membuat kalian jadi gelandangan digital di masa depan.
Pemerintah sudah membekukan sementara izin operasional dari perusahaan ini. Tenang aja, kan pemerintah kita gercep banget (nunggu viral dulu, sih). Sayangnya, pembekuan ini hanya dilakukan secara sementara. Pemerintah masih melakukan kajian dan riset mendalam perihal scan retina. Sepertinya warga sudah tidak sabar ingin memberikan data mereka secara cuma-cuma, ya. Apa itu masa depan? Yang penting bisa beli beras.
Pada akhirnya, ini bukan cuma soal uang receh atau antrean panjang di depan ruko. Ini tentang seberapa murah kita menilai data paling pribadi yang kita miliki. Kalau retina mata saja dapat dibarter dengan sekotak mie instan digital, jangan kaget kalau nanti identitas kita dibajak tanpa permisi. Dunia makin canggih, dan celakanya, kadang kita terlalu santai menghadapi tipu muslihat yang dibungkus teknologi. Tapi ya sudahlah, mungkin beginilah cara bangsa ini menukar masa depan: satu iris, satu token, satu tawa pahit.
Penulis: Marie
Desainer: Ekas Abdul Baits