Makanan Beracun Gratis Harus Dihentikan: Anak-Anak Bukan Angka di Laporan Statistik

Redaksi
Opini
10 Oct 2025
Thumbnail Artikel Makanan Beracun Gratis Harus Dihentikan: Anak-Anak Bukan Angka di Laporan Statistik

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digagas sebagai salah satu program unggulan pemerintahan Prabowo. Gagasannya memang sederhana dan terdengar mulia, yaitu setiap anak sekolah berhak mendapat makan siang gratis yang bergizi demi mencegah stunting serta meningkatkan kualitas pendidikan. Programnya memang menggoda, siapa yang tidak ingin anak-anak Indonesia sehat dan cerdas? Namun, semakin program ini berjalan, semakin terlihat bahwa di balik janji besar itu tersembunyi persoalan serius, terdapat sistem yang rapuh, lemahnya pengawasan, dan korban nyata terus berjatuhan.

 

Tragedi yang menimpa Bunga Rahmawati di Bandung Barat adalah cermin paling pahit. Siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berusia 17 tahun itu meninggal dengan kondisi mulut berbusa setelah makan siang di sekolah. Belum sempat publik mencerna kabar duka tersebut, pemerintah langsung melontarkan pernyataan cepat: “Tidak ada hubungannya dengan MBG”. Investigasi belum dimulai, autopsi belum dilakukan, uji laboratorium pun belum rampung. Namun, bantahan sudah keluar seakan nyawa Bunga hanyalah sekadar hambatan kecil yang harus segera disingkirkan dari narasi besar keberhasilan program.

 

Pola ini berulang di berbagai daerah. Anak-anak keracunan, ratusan siswa muntah-muntah, ada yang dilarikan ke rumah sakit, bahkan terdapat siswa meninggal. Pemerintah selalu merespons dengan penyangkalan cepat, lalu melanjutkan klaim bahwa program berjalan sukses. Angka 0,0017% dijadikan pembelaan, seakan ribuan anak yang sakit hanyalah efek samping wajar dari sebuah proyek besar, padahal itu bukan angka saja. Dibalik angka itu ada wajah-wajah nyata anak-anak trauma makan di sekolah dan orang tua yang kehilangan buah hatinya.

 

Jika tragedi ini dianggap sekadar kesalahan koki “kurang terampil”, seperti pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), berarti kita sedang menutup mata terhadap persoalan yang lebih besar. Jika keracunan hanya terjadi sekali, mungkin bisa disebut human error. Namun, fakta bahwa kasus muncul berulang di berbagai wilayah menunjukkan bahwa ini kegagalan sistem. Dari proses pengadaan bahan baku yang tidak jelas, abainya standar kebersihan, distribusi terlihat berantakan, hingga kurangnya pengawasan. Program sebesar ini diluncurkan secara terburu-terburu, tanpa persiapan infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai.

 

Pemerintah mencoba “mengatasi” masalah dengan menyalahkan individu, padahal kegagalan terjadi bukan karena tukang masak, melainkan sebab sistem yang dibangun sembarangan. Setiap kali bantahan lebih cepat muncul daripada investigasi, publik semakin sulit percaya bahwa negara sungguh-sungguh peduli. Terlihat jelas bahwa yang lebih dipentingkan adalah menjaga citra politik, bukan memastikan keselamatan rakyat negaranya sendiri.

 

Lebih berbahaya lagi ketika Menteri HAM menyatakan bahwa keracunan MBG tidak termasuk pelanggaran HAM. Logika ini mempersempit makna hak asasi seolah hanya sebatas hak hidup dan kebebasan beragama, padahal hak anak untuk mendapatkan makanan yang aman dan layak adalah hak fundamental. Negara yang dengan sengaja memberikan makanan melalui program nasional justru memiliki kewajiban hukum dan moral untuk memastikan makanan itu tidak membahayakan. Ngeles hal ini sama saja dengan melemahkan perlindungan HAM di negeri sendiri.

 

Lalu muncul argumen lain: “Program masih seumur jagung, wajar jika ada masalah”. Dalih ini sangat berbahaya. Makanan untuk anak-anak tidak bisa diperlakukan sebagai uji coba. Setiap kesalahan berarti ada anak yang sakit, trauma, bahkan meninggal. Program yang menyangkut nyawa manusia tidak boleh dijalankan setengah matang. Jika infrastruktur belum siap, SDM belum terlatih, dan mekanisme pengawasan belum tersedia, maka program seharusnya ditunda.

 

Di sinilah kita perlu bicara soal prioritas. Pemerintah selalu berdalih dana MBG harus berjalan karena penting bagi masa depan generasi. Akan tetapi, apakah benar begitu? Apakah anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan untuk program makan siang ini tidak bisa dialokasikan ke hal lebih mendasar bagi pendidikan?

 

Bayangkan, jika anggaran MBG dialihkan untuk pendidikan gratis yang benar-benar tuntas. Bukan hanya membebaskan biaya Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), tetapi juga dapat menanggung buku, seragam, dan kebutuhan belajar lainnya. Beban ekonomi keluarga bisa berkurang jauh lebih signifikan daripada sekadar satu kali makan siang di sekolah. Anak-anak bisa bersekolah dengan tenang tanpa takut dikeluarkan karena tidak mampu membayar iuran.

 

Mari bayangkan jika anggaran MBG digunakan untuk menaikkan gaji dan kesejahteraan guru. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Saat ini, ribuan guru honorer masih bergaji di bawah standar, bahkan ada yang hanya dibayar ratusan ribu rupiah per bulan. Bagaimana mungkin kita berharap kualitas pendidikan meningkat jika kesejahteraan pendidik diabaikan? Dengan alokasi anggaran yang tepat, pemerintah bisa memperkuat kualitas guru, memperbaiki kurikulum, dan meningkatkan fasilitas sekolah. Itu semua berdampak jauh lebih luas dan berkelanjutan dibandingkan sekadar program makan gratis. 

 

Pemerintah mungkin ingin dikenang dengan program yang “spektakuler” dan mudah dipasarkan. Namun, pendidikan bukan soal gimmick politik. Pendidikan membutuhkan pondasi kuat, yaitu guru sejahtera, sekolah layak, dan akses belajar yang merata. Jika nyawa anak-anak sudah menjadi taruhan hanya demi mempertahankan program makan siang, maka sudah jelas bahwa arah kebijakan ini keliru.

 

Keberanian sejati seorang pemimpin bukanlah bertahan mati-matian dengan program bermasalah, melainkan berani menghentikan apa yang salah demi melindungi rakyatnya. Menghentikan MBG bukanlah kegagalan, melainkan langkah berani untuk menyelamatkan generasi. Lebih baik dana itu dialokasikan untuk pendidikan gratis dan peningkatan kesejahteraan guru, yang jelas lebih mendasar serta tidak berisiko mengorbankan nyawa anak-anak.

 

Nyawa anak tidak bisa ditukar dengan persentase statistik, tidak bisa ditawar dengan ambisi politik, dan tidak bisa dibenarkan dengan alasan “program masih baru”. Satu nyawa yang hilang saja sudah cukup untuk menyatakan: cukup. Bunga Rahmawati seharusnya masih hidup, bersekolah, dan memiliki masa depan yang cerah. Ia tidak seharusnya menjadi korban percobaan sebuah program asal jadi.

 

Namun, yang jelas pemerintah kini berada di persimpangan harus memilih melanjutkan program demi gengsi politik, atau menghentikannya demi keselamatan rakyat?

 

Daftar Pustaka

Tempo.co. (2025, Oktober 1). Menteri Pigai: Keracunan MBG tak melanggar HAM. Diakses dari https://www.tempo.co/politik/menteri-pigai-keracunan-mbg-tak-melanggar-ham-2075183

 

Detik.com. (2025, Oktober 2). Kepala BGN pastikan siswi SMK Bandung Barat meninggal tak terkait MBG. Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-8141684/kepala-bgn-pastikan-siswi-smk-bandung-barat-meninggal-tak-terkait-mbg

 

Penulis: Saber Roam

Desainer: Sonia Nurazizah

LPM Channel

Podcast NOL SKS