LBH APIK Jakarta Soroti Perlindungan Perempuan Pasca Revisi Kedua UU ITE dalam Media Briefing
Redaksi
Berita
26 Nov 2024

LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jakarta menggelar media briefing bertema “Perlindungan Kelompok Perempuan Pasca Revisi Kedua UU ITE” pada Rabu, (20/11/2024) secara daring melalui Zoom dan siaran langsung dalam kanal YouTube LBH APIK Jakarta. Kegiatan ini bertujuan menganalisis dampak revisi terbaru Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terhadap kelompok perempuan serta menyoroti komitmen Indonesia terhadap instrumen internasional seperti (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) CEDAW dan (International Covenant on Civil and Political Rights) ICCPR, yang mengedepankan kesetaraan gender dan kebebasan berekspresi.
Dalam diskusi tersebut, LBH APIK menyatakan kekhawatiran terhadap potensi penyalahgunaan pasal-pasal tertentu dalam UU ITE yang berpotensi merugikan perempuan. Meski telah direvisi, sejumlah pasal karet masih tersisa, sehingga risiko kriminalisasi korban tetap tinggi. Hambatan teknis dalam penegakan hukum, seperti terbatasnya akses perempuan terhadap perlindungan yang adil dan kendala birokrasi dalam pelaporan kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), juga menjadi sorotan.
Diskusi ini juga menyoroti bagaimana revisi UU ITE yang seharusnya memberikan perlindungan lebih baik justru memperburuk situasi bagi perempuan korban kekerasan. Berdasarkan data yang diperoleh, kasus kriminalisasi perempuan justru meningkat setelah revisi diberlakukan.
“Revisi Undang-Undang ITE yang sudah dilakukan ini nyatanya tidak sesuai dengan yang digadang-gadangkan, bahwa akan menjadi lebih baik dan akan mengurangi orang yang dikriminalisasi terutama terhadap perempuan gitu ya, tapi nyatanya berdasarkan data yang kami dapatkan melalui media monitoring, melalui aduan yang masuk ke Safenet, semuanya berkebalikan gitu ya, jadi kasus kriminalisasinya makin tinggi, pasal-pasal baru yang katanya lebih baik juga tetap digunakan gitu, bahkan undang-undang ITE lama juga masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat umum dan terutama bagi perempuan korban KS (Kekerasan Seksual) yang speak up di media sosial,” jelas Nenden Sekar Arum saat sesi diskusi, Rabu (20/11/2024)
Fakta menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi perempuan sering terhambat. Terhitung dari Januari 2021 hingga September 2024, tercatat 21 kasus kriminalisasi kebebasan berekspresi yang melibatkan 554 korban, termasuk jurnalis dan aktivis perempuan. Beberapa kasus ini berkaitan dengan kritik terhadap kebijakan publik, seperti jurnalis di Bengkulu yang dipanggil pihak berwajib akibat laporan investigasi, serta aktivis lingkungan Christina Rumalatu yang menghadapi tuntutan karena mengkritik tambang nikel.
Diskusi juga menyoroti penggunaan UU ITE sebagai alat untuk membungkam kritik damai, terutama yang dilakukan oleh perempuan. Para pembicara menyerukan perlunya revisi mendalam terhadap pasal-pasal bermasalah, termasuk dekriminalisasi pencemaran nama baik, sebagai langkah konkret untuk melindungi kebebasan berekspresi.
“Sudah sempat disinggung oleh mbak Nurina ya, bahwa misi-misi penyusunannya antara pemerintah dengan masyarakat sipil berbeda gitu. Kacamata yang digunakan oleh pemerintah ketika menyusun Undang-Undang ITE ini memang public order, kepentingan publik gitu, pikirannya sesimpel supaya nanti konten ini tidak tersebar ke publik, publik tidak nonton konten yang dianggap kesusilaan atau pornografi gitu, tapi tidak mempertimbangkan bagaimana perlindungan korban kekerasan seksual yang kemudian konten bermuatan seksualnya disebarkan tanpa persetujuan mereka begitu, itu enggak masuk dalam sini,” ungkap Johanna Poerba saat sesi diskusi, Rabu (20/11/2024).
Pendekatan berbasis hak asasi manusia juga menjadi poin penting. Aparat penegak hukum diharapkan mengadopsi prinsip HAM dalam menangani kasus kebebasan berekspresi, sementara pemerintah didesak untuk mewujudkan komitmen internasionalnya melalui langkah nyata guna melindungi perempuan dari segala bentuk kriminalisasi.
Media briefing ini menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan institusi hukum untuk memastikan revisi UU ITE benar-benar memberikan perlindungan bagi perempuan. LBH APIK menegaskan bahwa upaya ini tidak hanya terbatas pada penyesuaian regulasi, tetapi juga pada pembangunan ekosistem digital yang aman, adil, dan inklusif bagi semua pihak.
Melalui kegiatan ini, LBH APIK Jakarta berharap masyarakat semakin kritis dalam memahami UU ITE serta terlibat aktif dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah tantangan era digital.
(KHY, AER, GHI)