Kurangnya Kekuasaan Badan Internasional dalam Menangani Penghilangan Paksa
Redaksi
Esai
05 Sep 2024

Masalah penghilangan paksa dan pelanggaran berat Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan tantangan yang kompleks dan beragam, sulit diatasi oleh masyarakat internasional secara efektif. Salah satu alasan utama adalah keterbatasan serta kelemahan yang melekat dalam kerangka tata kelola global saat ini. Badan-badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) telah berupaya menangani penghilangan paksa, tetapi kemampuan mereka untuk menegakkan hukum serta memastikan kepatuhan terhadap norma internasional sering terhambat.
Hambatan ini disebabkan oleh kurangnya mekanisme penegakan hukum yang kuat serta keengganan beberapa negara untuk bekerja sama secara penuh (Muhammadin, 2014). Sifat sistem internasional yang berpusat pada negara, ditambah dengan jaringan kompleks faktor politik, ekonomi, dan sosial yang memengaruhi penghilangan paksa, mempersulit badan-badan ini untuk efektif campur tangan serta meminta pertanggungjawaban pelaku (González, 2010; Giorgou, 2013; Solar, 2021).
Selain itu, munculnya aktor non-negara, seperti organisasi kriminal dan kelompok bersenjata, semakin memperumit masalah ini. Entitas-entitas ini sering kali dapat beroperasi lintas batas dan menghindari jangkauan pemerintah nasional, sehingga semakin menyulitkan badan-badan internasional dalam menangani persoalan tersebut (Solar, 2021). Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika telah memainkan peran penting dalam menangani penghilangan paksa di kawasan Amerika Latin; namun, dampaknya terbatas karena beberapa negara enggan mematuhi putusan yang dikeluarkan sepenuhnya. Tantangan utama lainnya adalah kurangnya definisi penghilangan paksa yang komprehensif dan diterima secara universal. Ketidakkonsistenan ini menyebabkan variasi dalam cara kejahatan tersebut didefinisikan serta dituntut, menyulitkan badan-badan internasional untuk mengembangkan tanggapan yang koheren dan efektif.
Di Indonesia, penghilangan paksa merupakan isu mendalam dan berlarut-larut, terutama terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia selama masa Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Suharto. Kasus-kasus penghilangan paksa dari periode tersebut masih belum sepenuhnya terpecahkan; keluarga korban sering menghadapi kesulitan dalam mencari keadilan. Komnas HAM dan Komnas Perempuan telah berupaya menangani kasus-kasus ini, tetapi mereka menghadapi berbagai kendala, termasuk keterbatasan sumber daya serta tantangan politik.
Pengadilan HAM di Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam memberikan keadilan bagi korban. Kasus-kasus seperti Tragedi 1965 memerlukan perhatian mendalam dari pemerintah dan komunitas internasional. Kurangnya transparansi serta kemauan politik untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia masa lalu memperburuk masalah ini. Jalan ke depan memerlukan pendekatan multi-cabang, baik di tingkat global maupun nasional, untuk memperkuat kapasitas dan kewenangan badan-badan internasional, mendorong kerja sama dan akuntabilitas yang lebih besar di antara negara-negara, termasuk Indonesia, serta mengatasi faktor sosial, politik, dan ekonomi yang mendasari penghilangan paksa.
Upaya ini mencakup pengembangan kerangka hukum internasional yang kuat, pembentukan mekanisme penegakan hukum yang efektif, dan penyediaan sumber daya serta dukungan yang memadai bagi lembaga-lembaga internasional dan nasional.
Pada akhirnya, penanganan masalah penghilangan paksa memerlukan upaya bersama komunitas global dan lokal untuk menegakkan hak asasi manusia, mendorong akuntabilitas, serta memastikan bahwa tidak ada individu yang menjadi korban kejahatan keji ini (Giorgou, 2013; González, 2010; Egeland, 1982; Solar, 2021). Untuk mencapai hal ini, diperlukan penguatan kapasitas dan kewenangan badan-badan internasional, pembinaan kerja sama, serta akuntabilitas yang lebih besar di antara negara-negara, termasuk Indonesia, dalam menangani penghilangan paksa. Hanya melalui upaya global yang komprehensif dan terkoordinasi, kita dapat berharap untuk secara efektif menangani masalah ini serta menegakkan martabat dan hak-hak semua orang.
Penulis: NOL
Desainer: AMD
Penulis: NOL
Desainer: AMD
Sumber
Avianti, R., & Wibowo, A. (2020). Tinjauan yuridis mengenai hak untuk mendapatkan reparasi bagi korban penghilangan paksa di Mexico berdasarkan International Convention For The Protection of All Persons From Enforced Disappearance tahun 2006. Reformasi Hukum Trisakti, 2(1).
- Elvandari, S. A. I. K. S. Kajian Yuridis terhadap Kasus Penghilangan Paksa Aktivis Tahun 1998 dari Persfektif Hukum Pidana Internaional. Masalah-Masalah Hukum, 40(2), 178-189.
- Gurinda, N. C. H. (2020). Peran PBB Dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia Menurut Kajian Hukum Internasional. Lex Et Societatis, 7(9)
- Reza, B. I. (2003). Menguak penghilangan paksa: suatu tinjauan dari segi politik dan hukum internasional. Indonesian J. Int'l L., 1, 769.