Kreatifitas Tanpa Batas: Mahasiswa Unsika Raih Juara Pertama di Tingkat Internasional
Redaksi
Berita
28 May 2025

Mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika) kembali mengukir prestasi di kancah internasional. Melalui film dokumenter berjudul Nine Village: Kampung Salapan, tim mahasiswa Unsika berhasil meraih juara pertama dalam ajang Short Film Festival Languages and Culture (FLC) 2025 yang diselenggarakan oleh Universitas Teknologi Malaysia (UTM). Film ini mengangkat tema kearifan lokal dan spiritualitas yang masih lestari di Kampung Salapan.
Film berdurasi 10 menit ini, diproduksi oleh tim mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) serta Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsika. Proyek ini merupakan bagian dari kerja sama internasional antara Unsika dan UTM dalam bidang bahasa dan budaya. Produksi film dilakukan selama bulan Ramadan 2025 dengan berbagai tantangan teknis dan logistik, termasuk pengambilan gambar di medan desa yang cukup sulit, cuaca tidak menentu, serta adaptasi aktor asing (lokal).
Uniknya, film ini juga menghadirkan mahasiswa internasional sebagai aktor utama dalam bentuk kolaborasi lintas budaya. Mereka berperan sebagai penutur asing yang datang ke Karawang untuk mempelajari tradisi dan spiritualitas masyarakat Kampung Salapan.
Teknik pengambilan gambar dan sinematografi artistik dari film ini menjadi salah satu kekuatan utama yang memberikan rasa emosional. Lokasi syuting di Kampung Salapan dipilih karena dianggap masih mempertahankan nilai-nilai budaya, spiritualitas lokal, dan gotong royong masyarakat. Tim produksi melakukan riset mendalam sebelum proses syuting, agar narasi yang disampaikan tidak hanya visual, tetapi juga memiliki kedalaman substansi.
Proses kreatif film ini dipandu oleh dosen pengampu mata kuliah Sinematografi FISIP Unsika, Oxcy, yang berperan sebagai pembimbing, sekaligus sutradara teknis. Dalam keterangannya, Oxcy menyebutkan bahwa tantangan utama datang dari keterbatasan dana dan waktu produksi, tetapi semangat tim tidak pernah surut.
“Kami hanya punya waktu sekitar satu minggu untuk produksi dan pasca-produksi. Tantangannya besar karena melibatkan aktor asing, dan waktu syuting dilakukan di tengah bulan puasa, tapi justru dari keterbatasan itu muncul kreativitas. Kami ingin mahasiswa meninggalkan jejak karya, bukan hanya skripsi,” ujar Oxcy saat diwawancarai langsung, Kamis (22/5/2025).
Ia juga menjelaskan bahwa Nine Village adalah representasi bagaimana film yang bisa menjadi alat diplomasi budaya.
“Kami ingin memperlihatkan bahwa mahasiswa bisa jadi jembatan antarbangsa melalui karya visual yang berbicara tentang identitas, budaya, dan spiritualitas lokal,” tambahnya.
Dekan FISIP, Mayasari, turut memberikan tanggapannya terkait film ini. Beliau mengaku merasa bangga dan mengapresiasi mahasiswanya.
“Sebelumnya pasti apresiasi ke teman-teman dari FISIP dan mungkin saat ini dibantu juga oleh aktor dari FEB,” sebutnya saat diwawancarai langsung, Jumat (23/5/2025).
Mayasari juga menyampaikan harapannya agar mahasiswa tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga aktif mengembangkan diri melalui kegiatan nonakademik, seperti organisasi dan kompetisi. Menurutnya, prestasi di luar kelas penting untuk membentuk karakter dan kompetensi mahasiswa secara holistik sehingga pihak fakultas pun memberikan dukungan penuh melalui alokasi dana kemahasiswaan yang memadai. Ia juga berpesan agar mahasiswa tidak mudah menyerah dengan keadaan, seperti yang dilakukan tim film dokumenter yang tetap mengirimkan karyanya meski terkendala biaya.
“Secara akademik mungkin, saya selalu menitikberatkan kepada mahasiswa akademik, kalian harus baik, tapi kalian juga harus memiliki prestasi di luar. Saya mendukung mereka ikut organisasi, makannya dana kemahasiswaan cukup banyak di kami. Jadi, mendukung prestasi mahasiswa dan mendukung prestasi dosen juga, tapi keduanya harus seimbang,” tambahnya.
Sementara itu, Oxcy berharap agar kampus semakin aktif menyelenggarakan pelatihan dan workshop sinematografi di tingkat universitas maupun fakultas.
“Selain bikin skripsi yang menjadi syarat kelulusan yang nantinya disimpan di perpus, minimal kita ninggalin jejak karya lah ya, kalau skripsi doang mah itu syarat lulus, tapi memang kedepannya dari pimpinan ada rencana bakal ada kelulusan yang nonskripsi, yaitu berupa karya. Tetaplah berkarya karena HRD (Human Resource Development) tuh nggak ngeliat IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) dan skripsi. IPK without skill is nothing.”
(UAA, NDL)