Konteks dan Sejarah Tradisi Lebaran di Indonesia

Redaksi
Artikel
10 Apr 2024
Thumbnail Artikel Konteks dan Sejarah Tradisi Lebaran di Indonesia
Idulfitri merupakan hari raya yang sangat dinantikan oleh umat Islam di seluruh dunia, terlebih di Indonesia dan biasa dikenal dengan istilah lebaran. Idulfitri merupakan momen kegembiraan dan kedamaian bagi umat Islam setelah menyelesaikan puasa Ramadan selama sebulan penuh dan dirayakan setiap tahun pada tanggal 1 Syawal dalam kalender Hijriah.

Uniknya, tanggal perayaan Idulfitri ditentukan berdasarkan fase bulan dalam kalender Hijriah yang selalu berubah setiap tahun. Hal ini menyebabkan perayaan Idulfitri jatuh pada tanggal yang berbeda dalam kalender Masehi setiap tahunnya. Selain itu, proses menentukan awal bulan Hijriah juga bervariasi, sehingga terkadang menyebabkan perbedaan pendapat di antara umat Islam tentang tanggal pasti perayaan Idulfitri.

Idulfitri atau Lebaran bukan hanya momen sukacita dan kebahagiaan, tetapi juga memiliki lapisan makna yang mendalam mencakup aspek religius, tradisi, dan budaya. Di tengah euforia kemenangan spiritual, tradisi Lebaran menunjukkan keberagaman dan kekayaan warisan budaya yang telah diperkaya dan diturunkan dari generasi ke generasi.

Di Indonesia, tradisi Lebaran menjadi semakin beragam dan berwarna karena merupakan hasil dari akulturasi antara budaya Islam dengan budaya lokal yang beraneka ragam. Melalui perpaduan ini, Lebaran menjadi momen yang diisi dengan berbagai aktivitas keagamaan, budaya, dan sosial yang beragam, seperti takbir keliling, silaturahmi, serta menikmati berbagai jenis makanan khas yang biasanya hanya disajikan pada momen Lebaran.

Namun, siapa sangka bahwa tradisi-tradisi yang biasa dilakukan setiap hari raya suci ini menyimpan sejarah, terutama di Indonesia. Berikut ulasannya:

Mudik

Kata "mudik" pertama kali muncul sekitar tahun 1390 dan tercatat dalam naskah kuno berbahasa Melayu "Hikayat Raja Pasai". Dalam naskah tersebut, kata "mudik" digunakan dengan arti "pergi ke hulu sungai", yang berkaitan dengan konsep "udik" yang merupakan bagian hulu sungai yang berlawanan dengan "ilir" yang merupakan bagian hilir sungai. Makna "mudik" kemudian meluas menjadi "pergi ke kampung" karena pedalaman atau hulu sungai dianggap identik dengan kampung asal.
Namun, istilah "mudik" baru mendapat popularitas sekitar tahun 1970-an, merujuk pada perantau yang kembali ke kampung halaman. Dalam bahasa Jawa, "mudik" diartikan sebagai akronim dari "mulih dhisik", yang berarti "pulang dulu". Sementara itu, masyarakat Betawi mengartikan "mudik" sebagai 'kembali ke udik', di mana dalam bahasa Betawi, "udik" berarti kampung. Seiring waktu, istilah ini mengalami penyederhanaan dari "udik" menjadi "mudik".

Sungkeman

Menurut budayawan Dr. Umar Khayam dari Universitas Gadjah Mada, prosesi sungkeman adalah bagian dari akulturasi budaya Jawa dan Islam. Istilah sungkeman sendiri diambil dari kata sungkem, yang dalam bahasa Jawa berarti bersimpuh sambil mencium tangan.

Tradisi sungkeman berasal dari tradisi Keraton Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Pura Mangkunegaran. Sungkeman masal pertama kali dilakukan pada era Kanjeng Gusti Pangeran Agung Sri Mangkunegara I. Ia dan seluruh punggawanya berkumpul bersama dan bermaaf-maafan setelah salat Id.

Pada saat Indonesia masih dijajah, tradisi sungkeman dicurigai sebagai perkumpulan bangsa untuk melakukan perlawanan besar-besaran pada penjajah. Namun, Raja Keraton Surakarta Paku Buwono X menjelaskan bahwa perkumpulan tersebut hanyalah acara halalbihalal untuk merayakan Idulfitri bagi umat Muslim. Sejak saat itu, tradisi sungkeman terus dilestarikan hingga saat ini.

Ketupat

Tradisi ketupat adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa setelah tujuh hari Idulfitri. Ketupat merupakan nasi dibalut dengan daun kelapa muda atau janur yang dianyam yang menjadi simbol perayaan hari raya Idulfitri. Tradisi ketupat berasal dari frasa bahasa Sunda dan Jawa, yaitu ‘kupat’ yang artinya ‘ngaku lepat’, yang berarti mengakui kesalahan. Oleh karena itu, ketupat melambangkan momen saling memaafkan saat lebaran tiba.

Sejarah ketupat di Indonesia dimulai sejak awal abad ke-15, saat penyebaran Islam dipimpin oleh Kerajaan Demak. Tradisi ini kemudian dilanjutkan oleh para Wali Songo saat menyebarluaskan ajaran Islam di pulau Jawa. Pada abad ke-15, Sunan Kalijaga menjadikan ketupat sebagai salah satu simbol untuk perayaan Idulfitri. Tradisi ini juga memiliki makna dan filosofi di dalamnya. Makna dari tradisi ini adalah mengajak seorang Muslim untuk menjadi pribadi yang baik, luhur akhlaknya, dan meningkatkan amalan ibadah.

Salam Tempel

Tradisi membagikan uang saat Lebaran, yang sering disebut “salam tempel” atau “angpau”, memiliki sejarah yang cukup panjang dan menarik. Tradisi ini diyakini berawal dari abad pertengahan ketika khalifah Fatimiyah biasa membagikan uang, permen, atau pakaian kepada warga tua dan muda pada hari pertama Idulfitri. Hal ini merupakan bentuk dari kepedulian dan perhatian kepada masyarakat, terutama yang kurang mampu, dalam rangka merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.

Tradisi ini kemungkinan terpengaruh oleh budaya China, yakni memberikan angpau seperti ketika Tahun Baru Imlek. Dalam budaya China, angpau diberikan sebagai simbol keberuntungan dan harapan baik untuk tahun yang akan datang.

Tradisi membagikan uang bisa dimaknai sebagai simbol semangat berbagi dari orang yang memiliki rezeki berlebih. Tradisi ini merupakan bentuk dari rasa syukur dan kebahagiaan yang ingin dibagi kepada orang lain, terutama anak-anak yang biasanya sangat menantikan momen ini. Uang yang diberikan biasanya dalam kondisi baru. Uang baru bisa menjadi simbol semangat baru setelah menjalani puasa selama satu bulan.

Halalbihalal

Halalbihalal, tradisi khas Indonesia saat Lebaran, adalah tindakan saling memaafkan di antara keluarga, tetangga, dan masyarakat. Istilah ini berasal dari kata Arab “halla-yahillu” yang berarti memecahkan dan mengampuni dan juga dikaitkan dengan “thalabu halal bi thariqin halal”, dan “halal yujza’u bi halal”, yang berarti mencari penyelesaian dan pembebasan kesalahan melalui saling memaafkan.

Asal mula tradisi ini belum pasti. Namun, beberapa sumber sejarah menyebutkan bahwa pada abad ke-18, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegaran I pernah mengadakan acara serupa yang kemudian diikuti oleh masyarakat. Namun, saat itu belum muncul istilah halalbihalal, meksi secara esensi sudah terlaksana.

Halalbihalal merupakan kreasi kolaborasi Kiai Wahab Hasbullah dengan Bung Karno pada 1948. Keduanya berembuk untuk mencari solusi perihal ancaman disintegrasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan PKI. Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional menggunakan istilah baru yaitu “halalbihalal”. Kemudian, Presiden Soekarno mengadakan acara khusus pada Idulfitri tahun 1948. Dia mengundang para pemimpin politik untuk berpartisipasi dalam acara halalbihalal, yang merupakan acara yang ditujukan untuk saling memaafkan demi persatuan dan peningkatan harmoni antar warga bangsa. Sejak itu, istilah “halalbihalal” menjadi populer dan dikenal luas di masyarakat Indonesia.

Penulis: Najwa Khayla

LPM Channel

Podcast NOL SKS