Kisah Di Balik Tragedi 77 Tahun Silam Bom Atom Hiroshima-Nagasaki
Redaksi
Berita
06 Aug 2022

Tepat hari ini, diperingatinya peristiwa besar yang pernah terjadi di Jepang. Pada 6 Agustus 1945 lalu, Bom atom di Hiroshima telah menghancurkan wilayah seluas 11 km² dengan menewaskan sekitar 10 ribu penduduk. Di antaranya terdapat 20 sampai 30% korban yang mati karena terbakar. Tak hanya itu, radiasi dari bom atom juga telah memakan korban jiwa sebanyak 15 hingga 20%. Sedangkan, ditaksir sekitar 70 ribu orang mengalami luka-luka.
Berselang tiga hari, pengeboman pun terjadi di Nagasaki, tepat pada 9 Agustus 1945. Bom yang menghancurkan wilayah seluas 4,7 km² ini telah menewaskan sekitar 40 ribu orang. Sedangkan 40 ribu orang lainnya luka-luka.
Hal tersebut diawali dengan berakhirnya perang di Eropa pada 7 Mei 1945. Jepang diminta menyerah oleh pihak sekutu pada 28 Juli 1945, namun tidak digubris oleh Jepang. Saat melawan Jepang diperkirakan 71.000 Pasukan Inggris dan beberapa negara makmur lainnya tewas dalam tahanan Jepang. Sehingga bom atom pertama dalam sejarah peperangan dijatuhkan pada 6 Agustus 1945, pukul 08.15 waktu Jepang. Tiga hari kemudian Amerika kembali menjatuhkan bom atom di kota Nagasaki pada pukul 11.02 waktu setempat.
Kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah, dua hari libur Nasional diumumkan sebagai perayaan di Inggris, Amerika Serikat, dan Australia. Jutaan orang dan negara-negara sekutu mengambil bagian untuk berpawai dan berpesta di jalan dalam hari kemenangan melawan Jepang (Victory Over Japan Day).
Peperangan yang telah terjadi pada 77 tahun silam itu menyisakan cerita nelangsa. Begitu banyaknya kerusakan, korban jiwa, bahkan trauma yang sulit disembuhkan. Peperangan bom nuklir pada perang dunia kedua ini juga mengakibatkan para korban mengalami cacat fisik, kehilangan harta benda, hingga kehilangan anggota keluarga yang dicintainya.
Kisah tentang korban bom atom terangkum pada beberapa buku. Salah satunya terdapat dalam buku yang berjudul “Kami Anak-anak Bom Atom” yang diedit oleh Osada Arata. Buku ini diterjemahkan oleh Bambang Wibawarta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2008). Di dalam buku tersebut memuat kisah-kisah sedih dari 30 anak korban bom atom. Ada yang kehilangan rumah, hingga banyak pula yang kehilangan keluarga.
Lalu, seperti apakah kisahnya? Simak kumpulan cerita dari beberapa anak yang mengalami dan selamat saat tragedi bom atom sebagai berikut.
- 1. Satou Tomoyuki
- Anak laki-laki kelas 4 SD (Usia 4 tahun pada 1945)
- Saat kejadian tersebut Satou Tomoyuki bahkan belum menginjak bangku sekolah, ia masih berusia 4 tahun. Pada tanggal 6 Agustus 1945, Satou Tomoyuki sedang bermain di depan pemandian umum dekat rumahnya. Saat itu, Sei-Chan memintanya untuk memetik bunga. Saat Satou sedang berjalan ke tempat tersebut, tiba-tiba tampak terlihat cahaya terang benderang yang membuatnya takut, sehingga ia berlari masuk ke rumahnya. Tetapi, Satou pun merasakan matanya terasa perih seperti ditusuk oleh jarum. Saat berusaha mencapai rumah, Satou yang tidak dapat melihat dengan jelas tiba-tiba tubuhnya membentur pintu depan. Lalu, Nenek Satou pun menghampirinya sembari berlari sekuat tenaga sambil menggendong Keika-Chan dan adik laki-laki dari Satou Tomoyuki. Tidak ada pilihan lain, Satou ikut berlari bersama Neneknya dan mencari perlindungan dari serangan udara.
- Sementara itu, kakak perempuan dari Satou yang bekerja sebagai pembuat roti di Mitsuboshi Bakery, dan kakaknya yang lain sudah berada di dalam ruangan berhimpitan untuk mencari perlindungan. Ibunya sudah meninggal karena sakit. Ayahnya yang bekerja sebagai relawan diarahkan kakak perempuan Satou untuk datang menjenguk mereka. Seluruh tubuh Ayahnya dari pinggang sampai atas terbakar.
- Setelah itu, mereka berlari kembali untuk menuju ke bukit di Fuchu. Mereka memasang kelambu di dalam reruntuhan kuil untuk istirahat di dalamnya. Mereka meninggalkan tempat tersebut cukup lama. Setelah beberapa waktu, satu per satu dari mereka mulai kembali ke rumahnya. Ketika sampai rumah, terlihat semua kaca pecah, lemari berjatuhan, altar persembahyangan pun jungkir balik, pintu dorong terkoyak, atap dan dinding pun rusak berantakan. Kemudian, ia langsung menidurkan ayahnya yang terlihat lemah di kasur.
- Sekitar 60 hari setelah kejadian tersebut, tengah malam Ayahnya memanggil Nenek dan mengatakan ingin memakan ubi, lalu nenek Satou pun memasak untuknya. Ketika Satou menyentuh tubuh Ayahnya, terasa dingin, rupanya ia tak tahu bahwa ternyata ayahnya yang tersayang telah meninggal dunia.
- 2. Matsumoto Taeko
- Anak perempuan kelas 6 SD ( usia 5 tahun pada 1945 )
- Saat itu tanggal 6 Agustus 1945, merupakan hari yang menyedihkan dan tak pernah terlupakan bagi Matsumoto Taeko. Rumah yang ia tinggali bersama Nenek dan saudara-saudaranya hancur akibat ledakan bom. Kakak laki-laki Matsumoto sedang dalam perjalanan pulang ketika bom itu meledak. Sementara itu, Matsumoto sedang bermain di tetangga sebelah, sedangkan sang Nenek sedang mencuci pakaian di kamar mandi.
- Seketika rumah tersebut pun runtuh. Hal ini membuat semua orang takut dan saling memanggil. Beruntungnya, semua anggota keluarga Matsumoto selamat. Namun, tetangga Matsumoto mengatakan bom lain mungkin akan dijatuhkan. Maka dari itu, mereka semua memutuskan untuk berlari ke rumah seorang paman di Aosaki. Dalam perjalanan, kakak laki-laki Matsumoto mengeluhkan kepalanya yang panas, hingga menyiramkan air ke kepalanya berulang kali.
- Setelah sampai di Aosaki, kakak laki-laki Matsumoto langsung mendapat penanganan medis. Namun, kondisinya semakin hari semakin memburuk. Akhirnya, ia pun meninggal pada tanggal 14 Agustus 1945 pukul tiga pagi. Matsumoto merasa sangat berduka dan merasakan kesedihan yang mendalam. Ia berkata kepada dirinya bahwa tidak boleh lagi ada peperangan, dan berharap agar semua negara di dunia menjadi teman yang ceria dan rukun.
- 3. Kondo Toshishiko
- Anak laki-laki kelas 1 SMP (Kelas 1 SD pada waktu itu)
- Kondo Toshishiko adalah salah satu diantara anak-anak korban bom atom pada tanggal 6 Agustus 1945. Pada masa liburan, saat ibu dan kakak laki-lakinya pergi ke balai kota sebagai korps relawan dan ayahnya pergi ke bank, sedangkan dia tengah bermain dengan teman-temannya di dekat tempat perlindungan serangan udara. Bom atom itu meluluhlantakkan seluruh isi kota. Toshishiko tak dapat menahan ketakutannya, di sepanjangan perjalanan pulang ia melihat banyak orang yang terluka. Ketika sampai di depan rumahnya, ia melihat rumahnya telah hancur, dan Toshishiko pun diajak masuk ke lubang perlindungan oleh salah seorang Ibu yang berada di sana.
- Beberapa saat kemudian, Ayah Toshishiko pun datang dan mengajaknya ke Balai Kota untuk mencari ibu dan kakak laki-lakinya. Akan tetapi mereka tidak menemukan keduanya di sana. Tak lama kemudian, mereka bertemu dengan kakak laki-laki Toshishiko dan mendapat kabar kalau ibunya berada di Ninoshima. Ayahnya segera menuju ke sana dan Tashishiko membawa kakaknya pulang.
- Pada malam harinya ia justru mendapat kabar bahwa ibunya sudah meninggal di Ninoshima, dan tak lama kemudian kakaknya pun menghembuskan napas terakhirnya. Di usia yang seharusnya dapat menikmati masa-masa bermain, justru Toshishiko harus menyaksikan sebuah tragedi yang mengakibatkan kotanya hancur. Hingga pada akhirnya, ia pun harus kehilangan anggota keluarganya.
Itulah kisah dari beberapa korban yang mengalami tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
(HNF, JAY, LV, SEL)
Desain: Marcela Shakila
Desain: Marcela Shakila