Belakangan ini, media sosial kampus diramaikan dengan munculnya berbagai akun yang mengkategorikan mahasiswa berdasarkan penampilan fisik mereka. Ada akun "Cantik dan Ganteng" yang menampilkan foto mahasiswa yang dianggap menarik, bahkan ada akun bernama "Musang" yang secara terang-terangan memajang mahasiswa yang dinilai kurang menarik secara fisik. Fenomena ini, meski tampak, seperti candaan atau tren viral yang tidak berbahaya, sebenarnya membawa konsekuensi serius yang perlu kita pahami bersama.

 

Sebagai sesama mahasiswa, saya melihat bagaimana akun akun ini dengan cepat mendapat ribuan followers dan ratusan likes dalam hitungan jam. Kita tertawa melihat komentar yang masuk, mungkin merasa senang ketika teman kita masuk kategori "cantik", atau diam-diam lega karena tidak termasuk dalam kategori "kusam". Namun, apakah kita pernah berhenti sejenak dan bertanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Apa dampak psikologis dari praktik menilai dan mengkategorikan manusia berdasarkan tampilan luar, seperti layaknya barang dagangan?

 

Lebih dari Sekadar Pujian: Memahami Objectification Theory

Barbara Fredrickson dan Tomi Ann Roberts dalam teori objectification yang mereka kembangkan pada tahun 1997 menjelaskan bahwa ketika seseorang diperlakukan sebagai objek berdasarkan penampilan fisik mereka, ini menciptakan lingkaran kekerasan psikologis yang berbahaya. Nah, yang menarik dari teori ini adalah bahwa objectification tidak hanya terjadi ketika seseorang direndahkan. Pujian berlebihan terhadap fisik pun bisa menjadi bentuk objectification yang sama merusaknya (Fredrickson & Roberts, 1997).

 

Penelitian terbaru oleh Oliver, Cummings, Puiras, dan Mazmanian (2024) menemukan fakta yang mengkhawatirkan: pelecehan seksual yang difasilitasi oleh teknologi, termasuk penilaian publik terhadap penampilan fisik di media sosial, terbukti berhubungan dengan gangguan makan, penyalahgunaan alkohol, dan disfungsi seksual pada perempuan. Lebih mengejutkan lagi, penelitian ini mengkonfirmasi bahwa objectification memicu self objectification, di mana korban mulai menginternalisasi pandangan orang luar dan melihat diri mereka sendiri sebagai objek yang perlu terus diawasi penampilannya (Oliver et al., 2024).

 

Ini bukan teori abstrak yang jauh dari realitas kita. Ketika seorang mahasiswi melihat fotonya dipajang di akun "Cantik Kampus", dia mungkin awalnya merasa senang. Namun, perlahan dia mulai merasakan tekanan untuk selalu terlihat sempurna karena dia kini memiliki "reputasi" sebagai yang cantik. Dia mulai mengawasi setiap detail penampilannya secara berlebihan, khawatir suatu hari nanti tidak memenuhi ekspektasi yang telah ditetapkan untuk dirinya. Ini yang disebut body surveillance, sebuah bentuk pengawasan diri yang konstan dan melelahkan secara mental.

 

Dari Pujian Hingga Perundungan: Spektrum yang Tipis

Sáez, Riemer, Klein, dan Gervais dalam penelitian mereka di tahun 2024 mengungkapkan sesuatu yang krusial: objectification bukan hanya tentang memandang perempuan sebagai objek seksual yang sangat menarik. Objectification adalah pengalaman universal yang dialami semua perempuan dalam budaya patriarki, terlepas dari seberapa menarik mereka menurut standar konvensional. Namun, yang membedakan hanyalah valensi atau "warna" dari objectification tersebut (Sáez et al., 2024).

 

Untuk perempuan yang dianggap memenuhi standar kecantikan konvensional, objectification datang dalam bentuk yang tersamar sebagai pujian dan "apresiasi". Sementara itu, bagi perempuan yang tidak memenuhi standar tersebut, objectification datang dalam bentuk evaluasi sosial yang negatif, cemoohan, atau bahkan pelecehan (Sáez et al., 2024). Inilah mengapa akun "Cantik dan Ganteng" dan "Musang" adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya mereduksi manusia menjadi sekadar penampilan fisik, dengan embel-embel positif dan negatif.

 

Data statistik menunjukkan betapa seriusnya masalah ini. Menurut penelitian di tahun 2025, 72% remaja perempuan berusia 14 hingga 16 tahun melaporkan bahwa komentar berbasis penampilan adalah bentuk perundungan paling umum yang mereka alami. Lebih mengkhawatirkan lagi, 60% anak muda yang mengalami perundungan berbasis penampilan mencoba mengubah penampilan mereka, 24% mengurangi asupan makanan atau melakukan diet, dan 10% memiliki pemikiran untuk bunuh diri (Anti Bullying Alliance, n.d.).

 

Technology Facilitated Sexual Harassment: Bahaya yang Nyata

Kita tidak bisa lagi menganggap remeh pelecehan atau penilaian yang terjadi di dunia maya. Cary, Maas, dan Bowles dalam penelitian mereka di tahun 2024 mengembangkan instrumen khusus untuk mengukur pengalaman objectification seksual secara online pada mahasiswi. Temuan mereka mengonfirmasi bahwa media sosial telah menjadi medan baru bagi berbagai bentuk pelecehan dan objectification yang memiliki dampak psikologis nyata (Cary et al., 2024).

 

Penelitian lain oleh Henry, Flynn, dan Powell di tahun 2020 menunjukkan bahwa kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi, termasuk penilaian publik terhadap penampilan, dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan stres pasca trauma pada korban. Namun, yang lebih memprihatinkan, penelitian mereka menemukan bahwa dampak psikologis dari pelecehan online bisa sama beratnya atau bahkan lebih berat dari pelecehan secara langsung karena konten yang memalukan dapat tersebar luas dan permanen di dunia maya (Henry et al., 2020).

 

Konteks kampus membuat situasi ini semakin rumit. Mahasiswa yang fotonya dipajang tanpa kontrol di akun akun tersebut harus menghadapi teman teman sekelasnya setiap hari. Mereka harus duduk di kelas yang sama, makan di kantin yang sama, dengan kesadaran bahwa ribuan orang telah mengomentari penampilan fisik mereka. Untuk mahasiswa yang masuk kategori "musang", stigma ini bisa mengikuti mereka sepanjang masa kuliah, mempengaruhi kepercayaan diri, kesehatan mental, dan bahkan prestasi akademik mereka.

 

Normalisasi Objectification: Ketika yang Salah Terlihat Benar

Salah satu bahaya terbesar dari fenomena akun akun ini adalah normalisasi. Vince dalam penelitiannya di tahun 2024 mengenalkan konsep "context creeping objectification", yaitu fenomena di mana contoh-contoh objectification seksual yang mungkin tidak berbahaya dalam konteks tertentu, mulai muncul secara berulang di luar konteks seksual. Ini menciptakan kesan bahwa perempuan (dan laki laki) senang dinilai secara seksual kapan saja dan di mana saja, bukan hanya dalam keadaan tertentu ketika mereka memberikan persetujuan (Vince, 2024).

 

Ketika kita melihat akun kampus cantik, akun crush kampus, dan akun kampus yang semuanya fokus pada penampilan fisik, kita mulai menganggap ini normal. Kita berpikir, "Ah, cuma iseng kok", atau "Toh yang difoto juga tidak keberatan". Tapi penelitian Martino dan Zimmer Gembeck di tahun 2021 dalam kerangka Media Induced Sexual Harassment menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap konten yang mengobjektifikasi orang lain di media dapat mengubah norma gender kita, mengurangi empati terhadap korban, dan pada akhirnya berkontribusi pada normalisasi pelecehan seksual (Martino & Zimmer Gembeck, 2021).

 

Ini bukan tentang sensitivitas berlebihan atau tidak bisa menerima humor. Ini tentang memahami bahwa setiap kali kita membiarkan seseorang dinilai berdasarkan fisik mereka secara publik, kita sedang berkontribusi pada budaya yang melihat manusia sebagai objek yang boleh dikategorikan, diberi rating, dan dinilai layaknya barang di etalase toko.

 

Dampak Nyata pada Kehidupan Mahasiswa

Mari kita bicarakan angka angka yang tidak bisa diabaikan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 72% remaja perempuan melaporkan komentar berbasis penampilan sebagai bentuk perundungan paling umum. Dari mereka yang mengalami perundungan berbasis penampilan, 93% melaporkan efek negatif pada kesehatan mental mereka (Avast, 2024).

 

Lebih mengkhawatirkan lagi, data dari tahun 2025 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan 35% insiden body shaming di TikTok dibandingkan tahun 2024. Satu dari empat siswa sekolah menengah di Amerika Serikat mengatakan mereka pernah menerima ancaman langsung melalui aplikasi pesan media sosial. Dan yang paling menyedihkan, 12% remaja yang mengalami cyberbullying pada periode 2024 hingga 2025 memiliki pikiran untuk bunuh diri terkait pengalaman tersebut (SQ Magazine, 2025).

 

Di Indonesia sendiri, meski data spesifik tentang akun kampus masih terbatas, tren ini berkembang sangat cepat di Instagram dan TikTok. Anak muda Indonesia menghabiskan rata rata 6 hingga 8 jam per hari di media sosial, membuat mereka sangat terpapar dengan konten konten yang mengobjektifikasi. Ini bukan lagi tentang trend yang akan berlalu, tapi tentang pembentukan budaya yang menormalisasi penilaian manusia berdasarkan fisik.

 

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Pertama, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap pujian berbasis fisik. Penelitian oleh American Psychological Association tahun 2023 menemukan bahwa remaja dan dewasa muda yang mengurangi penggunaan media sosial mereka sebesar 50% selama beberapa minggu mengalami perbaikan signifikan dalam cara mereka memandang berat badan dan penampilan mereka secara keseluruhan (Goldfield et al., 2023).

 

Kedua, sebagai komunitas kampus, kita perlu secara aktif menolak untuk berpartisipasi dalam akun akun yang mengobjektifikasi teman-teman kita. Jangan follow, jangan like, jangan share. Setiap interaksi kita dengan konten tersebut adalah dukungan implisit terhadap praktik yang merusak.

 

Ketiga, kampus dan organisasi mahasiswa perlu mengambil sikap tegas. Beberapa universitas di luar negeri telah mulai membuat kebijakan yang melarang akun akun semacam ini karena dianggap sebagai bentuk cyberbullying dan sexual harassment. Kita bisa belajar dari mereka.

 

Keempat, dan ini yang paling penting, kita perlu memulai percakapan terbuka tentang ini. Bicarakan dengan teman teman, dengan dosen, dengan pihak kampus. Fenomena ini tidak akan hilang sendiri jika kita diam. Setiap suara yang berbicara menentang objectification adalah langkah menuju kampus yang lebih aman dan menghormati martabat setiap individu.

 

Penutup: Martabat di Atas Viral

Sebagai generasi yang tumbuh bersama media sosial, kita punya tanggung jawab untuk membentuk budaya digital yang lebih sehat. Akun "Cantik Kampus" atau "Musang" mungkin terlihat seperti hiburan ringan, tapi dampaknya jauh lebih dalam dari yang kita kira. Setiap mahasiswa yang fotonya dipajang di sana adalah manusia dengan perasaan, dengan mimpi, dengan harga diri yang bisa hancur karena komentar komentar yang kita anggap tidak berbahaya.

 

Kita tidak perlu menunggu ada korban yang benar benar terluka parah, atau ada yang mengakhiri hidupnya karena perundungan online, baru kita sadar bahwa ini adalah masalah serius. Data dan penelitian sudah menunjukkan bahwa objectification, bahkan yang tersamar sebagai pujian, membawa dampak psikologis yang nyata dan berbahaya.

 

Mari kita ciptakan budaya kampus di mana orang dihargai karena pemikiran mereka, kontribusi mereka, kepribadian mereka, bukan sekadar wajah dan tubuh mereka. Mari kita jadikan kampus sebagai ruang aman di mana setiap mahasiswa bisa berkembang tanpa takut dijadikan objek penilaian publik.

 

Karena pada akhirnya, viral memang menyenangkan. Tapi martabat manusia jauh lebih berharga.

 

Sumber Referensi:

Avast. (2024). The cyberbullying statistics you need to know in 2024. https://www.avast.com/c-cyberbullying-statistics

Anti-Bullying Alliance. (n.d.). Appearance targeted bullying. https://anti-bullyingalliance.org.uk/tools-information/all-about-bullying/appearance-targeted-bullying

 

Cary, K. M., Maas, M. K., & Bowles, R. P. (2024). Development and validation of the Online Sexual Objectification Experiences Scale among college women. Sex Roles.

 

Fredrickson, B. L., & Roberts, T. A. (1997). Objectification theory: Toward understanding women's lived experiences and mental health risks. Psychology of Women Quarterly, 21(2), 173-206.

 

Goldfield, G. S., et al. (2023). Effects of reducing social media use on body image in young adults. Psychology of Popular Media, American Psychological Association.

 

Henry, N., Flynn, A., & Powell, A. (2020). Technology-facilitated domestic and sexual violence: A review. Violence Against Women, 26(15-16), 1828-1854.

 

Martino, S., & Zimmer-Gembeck, M. J. (2021). Media-induced sexual harassment: The routes from sexually objectifying media to sexual harassment. Sex Roles, 84, 645-662.

 

Oliver, C., Cummings, S., Puiras, E., & Mazmanian, D. (2024). Technology-facilitated sexual harassment against women and psychological dysfunction: A test of objectification theory. Violence Against Women, 30(12-13), 3399-3420.

 

Sáez, G., Riemer, A. R., Klein, O., & Gervais, S. J. (2024). The evaluative process model of objectification: How men's evaluations of patriarchal security and women's fit with conventional beauty and sexuality norms interact to predict perpetration of sexually objectifying behaviors. Frontiers in Social Psychology, 2.

 

SQ Magazine. (2025). Social media bullying statistics 2025: Platforms, demographics, etc. https://sqmagazine.co.uk/social-media-bullying-statistics/

 

Vince, J. (2024). After objectification: Locating harm. Journal of Applied Philosophy, 41(1), 153-170.

 

Penulis: Aulia Syahda Nurzakiah

Desainer: Rini Agustiani