Keterkaitan Tuntutan Kaji Ulang RUU KUHAP dengan Reformasi Polri #IndonesiaGelap

Redaksi
Opini
04 Apr 2025
Thumbnail Artikel Keterkaitan Tuntutan Kaji Ulang RUU KUHAP dengan Reformasi Polri #IndonesiaGelap
Saat ini, Indonesia tengah diramaikan dengan tagar Indonesia Gelap. Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah disahkan, Danantara resmi berdiri, target efisiensi anggaran yang tidak tepat, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kurang tepat dalam realisasinya, dan masih banyak lagi. Sehingga dapat saya simpulkan saat ini dinamika politik Indonesia dalam keadaan tidak pasti, tidak ideal, terpuruk, dan krisis kepercayaan dari masyarakat. Dilansir dari Kompas.com melalui Media Sosial X, pada 17 Februari 2025 bahkan hingga saat ini, terjadi aksi unjuk rasa oleh mahasiswa dari berbagai Universitas dengan membawa banyak tuntutan. Akan tetapi, dari berbagai tuntutan tersebut di sini saya akan membahas diantaranya tuntutan kaji ulang RUU Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) serta reformasi Polri (Kepolisian Negara Republik Indonesia).

RUU TNI yang saat ini telah resmi menjadi Undang-Undang (UU) TNI tuai kontroversi karena memungkinkan timbulnya dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), hal ini sejalan dengan RUU KUHAP yang ditargetkan berlaku pada awal tahun 2026, khususnya pada Pasal 111 Ayat 2 dan Pasal 12 Ayat 11 sebab kedua pasal ini membuat ambigu antara tugas kejaksaan dan kepolisian. Dikutip dari SINDOnews.com, dalam Pasal 111 Ayat (2) RUU KUHAP, jaksa diberi kewenangan untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian. Padahal pasal ini bertentangan dengan ketentuan penangkapan yang diatur dalam KUHAP tentang penangkapan. Seperti telah tertera pada pasal 16, 17, dan 18 bahwa untuk kepentingan penyelidikan, penyidik atas perintah yang berwenang dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tindak pidana berdasarkan bukti permulaan serta dilakukan oleh petugas Polri dengan memperlihatkan surat tugas, surat perintah penangkapan dan menyebutkan alasan penangkapan.

Dengan diberlakukannya pasal 111 Ayat (2), RUU KUHAP justru seolah meragukan pasal yang telah ditetapkan dalam KUHAP mengenai penangkapan. Menurut Lon L. Fuller, seorang filsuf hukum, ada tujuh syarat utama untuk sebuah UU agar dianggap sah dan dapat dijalankan dengan baik. Syarat-syarat tersebut dikenal dengan istilah The Morality of Law dengan salah satunya berkaitan UU yang dibuat tidak boleh saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Jika ada kontradiksi, hal itu dapat menyebabkan kekeliruan pelaksanaan dan interpretasi hukum. Belum lagi jika benar ditetapkan, RUU ini akan menyulitkan proses penangkapan pelaku tindak pidana hingga memungkinkan pelaku dapat menghilangkan barang bukti.

Selain itu juga, terdapat kekeliruan pada Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP yang menjelaskan bahwa apabila masyarakat melapor polisi tetapi dalam waktu 14 hari tidak ditanggapi maka masyarakat bisa menindaklanjuti ke kejaksaan. Pasal ini tentu membuat ambigu antara tugas kejaksaan dan kepolisian yang sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam UU Republik Indonesia (RI). UU RI No.11 tahun 2021 Pasal 1 menyatakan kejaksaan RI fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Perlu diketahui bahwa kejaksaan bertugas di bidang penuntutan, lain hal dengan kepolisian yang tercantum pada KUHAP tentang penyelidik dan penyidik yang menyatakan penyelidik adalah setiap pejabat Polri, dengan kewenangannya menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Pembagian di sini seharusnya sudah jelas, ketika ada tindak pidana, maka saksi melaporkannya kepada penyidik yang tak lain dari Polri, kemudian jaksa nantinya akan berperan ketika persoalan memasuki pengadilan. Dengan adanya RUU KUHAP ini justru dapat menjadi suatu bentuk konkret yang menunjukkan ketidakmampuan Polri dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.

Pembahasan Polri ini memang selalu menarik dan relevan dari tahun ke tahun karena terus menjadi persoalan yang tak kunjung teratasi. Fungsi Polri sebagaimana diatur dalam UU RI No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah untuk pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi, saat ini justru menjadi profesi yang kian mengalami penurunan kepercayaan terhadap masyarakat. Survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024, yang dirilis Oktober tahun lalu, mengungkapkan tingkat ketidakpercayaan masyarakat Indonesia tertinggi dipegang oleh Politisi sebanyak 45%, serta Pejabat kabinet/kementerian dan Polisi masing-masing 41%. Hasil survei ini menjadikan pertimbangan bagi masyarakat khususnya mahasiswa untuk diadakannya reformasi Polri.

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap profesi Polri dengan adanya pasal kontroversial membuat asumsi bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai instansi pemerintah yang berwenang membuat perundang-undangan juga tidak mempercayai kinerja kepolisian. Tetapi, mengatasi kepolisian yang tidak kompeten seharusnya tidak dengan melegalkan pelaporan langsung pada kejaksaan, semua memiliki tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing. Sudah sepatutnya ketika ada rasa ketidakpercayaan masyarakat maka diupayakan agar timbul kembali rasa percaya dari masyarakat, bukan justru mengalihkan kepercayaan. Sejalan dengan tuntutan mahasiswa, sekiranya solusi yang dapat dilakukan untuk menimbulkan kembali kepercayaan masyarakat adalah dengan reformasi Polri.

Dengan melegalkan jaksa untuk mempertanyakan sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan yang dilakukan kepolisian serta melegalkan pelaporan langsung ke kejaksaan jika kepolisian tidak menanggapi dalam 14 hari, maka Polri semakin digambarkan sebagai instansi pemerintahan yang sangat tidak menjanjikan pemeliharaan masyarakat. Belum lagi saat aksi Indonesia Gelap, lagu Sukatani yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” naik ke permukaan, hal ini disebabkan karena band Sukatani merilis video klarifikasi terkait penurunan lagu tersebut dari segala platform. Sukatani diduga dibungkam oleh pihak kepolisian karena lagunya menyinggung kinerja polisi yang perlu bayaran untuk proses tindak lanjut. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah kenyataan yang terjadi berkata selayaknya lagu dari band punk tersebut. Perlunya biaya yang dikeluarkan untuk suatu persengketaan dapat ditindaklanjuti adalah bentuk konkrit dari alasan penurunan kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, padahal persengketaan terkait juga belum tentu dapat terselesaikan. 

Jika menitikberatkan pada permasalahan pungutan liar oleh kepolisian dan juga dari RUU KUHAP, seharusnya reformasi Polri dilakukan untuk memperbaiki Sumber Daya Manusia (Polri) agar meningkatkan reaksi tanggap darurat serta mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah yang seharusnya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Saya kira tidak perlu melegalisasi pelaporan ke kejaksaan, apa lagi harus menunggu 14 hari tanggapan dari Polri. Ada baiknya DPR mengadakan kajian ulang terhadap RUU KUHAP dengan tetap memisahkan jelas pembagian Tupoksi antara kejaksaan dengan kepolisian. DPR perlu penalaran lebih dalam penyusunan RUU KUHAP dengan mengutamakan kepentingan rakyat, mengingat segala bentuk penegakan hukum Pidana nantinya diatur dan diterapkan dalam KUHAP di tahun depan mendatang.


Penulis: NSK
Desainer: Ajeng Putri Yunita

LPM Channel

Podcast NOL SKS