Kemerosotan Moral Pemuka Agama: Penyimpangan yang Mulai Dinormalisasikan

Redaksi
Esai
10 Mar 2025
Thumbnail Artikel Kemerosotan Moral Pemuka Agama: Penyimpangan yang Mulai Dinormalisasikan
Indonesia merupakan negara multikultural yang dihuni oleh masyarakat dengan perbedaan latar belakang agama, budaya, dan suku. Sebagai negara dengan populasi mayoritas beragama Islam, Indonesia menempati nomor 7 dengan skor 98.7 dalam survei yang dilakukan World Atlas, majalah Ceo World, dan Global Business Policy Institute. Survei tersebut bertujuan untuk mengukur negara paling religius di dunia, dengan mengulik perspektif tentang cara agama dapat mempengaruhi sosial, budaya, dan politik. Penelitian tersebut akan membuktikan bahwa “kereligiusan” dapat membentuk norma sosial dengan mempengaruhi etika, moralitas, dan hubungan antar individu di tengah keberagaman masyarakat.

Iman dan kepercayaan tinggi masyarakat Indonesia dengan agama menjadi fondasi kuat  dalam kehidupan sosial untuk beretika dan bermoral. Sayangnya, hal ini menjadi suatu celah yang mudah dieksploitasi oleh oknum pemuka agama yang tidak bermoral dan mengesampingkan nilai luhur agama. “Mereka” seringkali memanfaatkan agama, dengan gelar “habib”, “gus”, “ustad”, dan “kyai” untuk kepentingan diri pribadi dalam bentuk finansial, seksualitas, politik, maupun pengaruh sosial. Tidak hanya itu, “mereka” memperlihatkan cara dakwah yang dapat memperburuk citra agama Islam, seperti dakwah menggunakan bahasa kasar, cerita fiktif, alunan Disc Jockey (DJ) dengan goyangan di tengah “konser” bertema sholawatan, dan masih banyak lagi dan hal tersebut ada di Indonesia.

Tingginya nilai kereligiusan di Indonesia, sayangnya tidak selalu mencerminkan cara beragama dengan benar dan bermoral. Tindakan pelecehan seksual dan penyimpangan seksual seringkali termuat dalam berita harian nasional di Indonesia. Salah satunya, Abi Sudirman yang kerap bergestur gemulai dan melakukan kekerasan seksual kepada 23 anak laki-laki di panti miliknya. Selain itu, aksi penganiayaan yang dilakukan oknum “habib”, Bahar bin Smith kepada remaja dan sopir taksi, mengakibatkan dirinya di penjara. Hal ini semakin menyoroti bagaimana kedudukan atau predikat religius seseorang tidak selalu mencerminkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Tindakan kekerasan ini mencerminkan penyalahgunaan posisi dan kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan dan kasih sayang sesama ciptaan Tuhan. Sejatinya, pemuka agama yang baik dapat menuntun dengan hati nurani dan menjadi contoh untuk jamaah sesuai dengan ajaran agama. 

Tidak berhenti di situ, baru-baru ini pernyataan dan tindakan yang dilakukan oleh Miftah Maulana atau “Gus Miftah” dan Zaidan Yahya, telah menimbulkan kontroversi di masyarakat. Pelecehan verbal terhadap seorang penjual es teh dan candaan seksis terhadap wanita oleh Miftah jelas merupakan tindakan yang tidak pantas. Mengingat posisinya sebagai pemuka agama yang memiliki banyak pengikut dari kalangan pria maupun wanita.

Serupa dengan kroninya, Zaidan Yahya, yang dikenal sebagai seorang habib atau anak ajaib karena tidak tidur selama dua hari, turut melakukan aksi kurang terpuji dengan menertawakan insiden penjual es teh, melontarkan candaan seksis, serta berjoget riang di atas panggung acara pengajian. Seharusnya, sebagai seseorang yang menyandang gelar habib yang dikaitkan dengan keturunan Nabi Muhammad SAW, mencerminkan nilai-nilai Islam, bukan justru menjadi alasan untuk bertindak seenaknya tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat. Sekian, karena banyak contoh yang dapat teman-teman baca di luaran sana, seperti musik DJ di pengajian Gus Iqdam.

Sudah selayaknya agama sebagai sumber utama moralitas, seharusnya mampu menciptakan masyarakat yang harmonis. Sebagai wahyu dari Tuhan, agama berfungsi dalam membimbing manusia untuk menjauhi perilaku tidak bermoral. Namun, hal ini hanya dapat terwujud apabila ajaran agama diamalkan dengan benar dan tidak disalahgunakan. Lantas, mengapa banyak pemuka agama yang melakukan tindakan yang menyimpang dari agama?

Dilansir dari penelitian (Erni & Asror, 2022),  menyebutkan faktor degradasi moral oleh pemuka agama, diantaranya:

  1. 1. Kurangnya pemahaman akan agama karena memahami agama dengan asal akan menimbulkan permasalahan di tengah masyarakat. 
  2. 2. Memiliki tingkat kecerdasan emosional yang rendah. Hal ini, dapat mengakibatkan sulitnya dalam mengendalikan diri sendiri. sendiri. 

Banyaknya penyimpangan oleh oknum pemuka agama, kenyataannya masih banyak masyarakat yang tetap mengidolakan mereka. Berdasarkan hal ini, penulis menyimpulkan adanya faktor yang menjadi sebab masyarakat terus mengidolakan penyimpangan dalam ruang keagamaan, diantaranya:

  1. 1. Kurangnya berpikir kritis “masyarakat”. Hal ini, menyebabkan masyarakat tidak punya ruang untuk menilai yang salah atau benar.
  2. 2. Spiritualitas. Faktor ini sifatnya keterikatan atas kepercayaan kepada mereka yang memberikan manfaat spiritual. 
  3. 3. Budaya kultus. Fanatisme yang berlebihan sehingga “masyarakat” terbutakan atas penyimpangan yang dilakukan oleh tokoh yang ia idolakan. 



إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ  

Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Ar-Ra’d: ayat 11) 

Penulis: Soselu
Desainer : Ekas Abdul Baits


Sumber:

Erni, & Arsor, M. A. (2022). Degradasi Moral Dikalangan Pemuka Agama. Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora.

Salsabilla, A. D. (2024, Maret 28). 10 Negara Paling Religius di Dunia Versi CEOWORLD, Saudi Tak Masuk. Retrieved from detikhikmah: https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-7265969/10-negara-paling-religius-di-dunia-versi-ceoworld-saudi-tak-masuk

LPM Channel

Podcast NOL SKS