Kekerasan Seksual, Hukum, dan Norma Masyarakat di Indonesia

Redaksi
Esai
29 Jun 2025
Thumbnail Artikel Kekerasan Seksual, Hukum, dan Norma Masyarakat di Indonesia
Kekerasan seksual di Indonesia merupakan isu kompleks yang terjalin erat dengan norma sosial, budaya, dan sistem hukum yang berlaku, memerlukan pendekatan multidisiplin untuk memahami dan menanganinya secara efektif. Kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan dampak fisik tetapi juga psikologis yang mendalam bagi korban, mempengaruhi kesehatan mental, kepercayaan diri, dan kemampuan mereka untuk berinteraksi secara sosial (Arsyad, 2022). Selain itu, kekerasan seksual dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis, termasuk kekerasan fisik, emosional, psikologis, ekonomi, dan struktural, yang masing-masing memerlukan strategi penanganan yang berbeda (Ristanti, 2022). 

Dalam konteks Indonesia, norma-norma sosial dan budaya sering kali memainkan peran ambigu dalam isu kekerasan seksual. Di satu sisi, terdapat nilai-nilai luhur seperti kesopanan, saling menghormati, dan perlindungan terhadap yang lemah, yang seharusnya mencegah terjadinya kekerasan seksual (Ariyanti, 2023). Namun, di sisi lain, terdapat pula norma-norma patriarkis yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, serta pandangan-pandangan yang menyalahkan korban dalam kasus kekerasan seksual, yang justru dapat melanggengkan praktik kekerasan (Kifli & Ismail, 2022).

Sistem hukum di Indonesia telah berupaya untuk mengatasi masalah kekerasan seksual melalui berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (Sari & Purwanti, 2018). Namun, implementasi dari peraturan-peraturan ini sering kali menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya kesadaran hukum di masyarakat, kesulitan dalam pengumpulan bukti, serta proses peradilan yang panjang dan mahal.

Kekerasan seksual di Indonesia bukan cuma soal hukum, tapi juga bagaimana kita sebagai masyarakat memandang dan menangani isu ini. Ini adalah masalah pelik yang nyangkut di norma sosial, budaya, sampai sistem hukum yang ada. Bukan cuma soal luka fisik, tetapi juga dampak psikologis yang bisa bikin korban kehilangan kepercayaan diri, kesehatan mental, bahkan kemampuan buat bersosialisasi (Arsyad, 2022). Bayangkan, seseorang yang mengalami trauma ini harus berjuang untuk bangkit, tetapi sering kali malah dihadapkan pada stigma sosial. Nah, ini yang bikin masalahnya jadi tambah rumit.

Kekerasan seksual sendiri nggak cuma satu jenis. Ada kekerasan fisik, emosional, psikologis, ekonomi, sampai yang bersifat struktural, kayak diskriminasi sistemik (Ristanti, 2022). Masing-masing jenis ini butuh pendekatan yang berbeda. Misalnya, kekerasan fisik mungkin bisa diatasi dengan hukuman tegas, tetapi kalau soal kekerasan psikologis, korban butuh pendampingan dan dukungan emosional yang intens. Di Indonesia, budaya kita sering jadi pisau bermata dua. Di satu sisi, kita punya nilai-nilai luhur seperti sopan santun, saling menghormati, dan melindungi yang lemah, yang seharusnya bisa mencegah kekerasan seksual (Ariyanti, 2023). Tapi di sisi lain, budaya patriarkis yang masih kental sering kali menempatkan perempuan di posisi yang nggak setara. Lebih parah lagi, ada pandangan yang suka menyalahkan korban seperti “kenapa dia malam-malam di luar?” atau “pakaiannya terlalu terbuka” yang justru bikin pelaku merasa dibenarkan (Kifli & Ismail, 2022).

Dari sisi hukum, Indonesia sebenarnya sudah punya beberapa aturan untuk menangani kekerasan seksual, seperti UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU Perlindungan Anak (Sari & Purwanti, 2018). Tetapi, aturan bagus di atas kertas nggak selalu mulus di lapangan. Banyak tantangan yang bikin hukum ini susah diterapkan. Misalnya, banyak masyarakat yang masih tidak paham hak dan kewajiban mereka menurut hukum. Terus, ngumpulin bukti untuk kasus kekerasan seksual itu tidak gampang, sering kali cuma kata korban melawan kata pelaku. Belum lagi proses peradilan yang bisa makan waktu bertahun-tahun dan biaya yang tidak murah. Akibatnya, banyak korban yang memilih diam ketimbang melapor, karena merasa tidak akan dapat keadilan.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Pertama, edukasi itu kunci. Kita perlu ngasih pemahaman ke masyarakat bahwa kekerasan seksual bukan cuma soal pelaku dan korban, tetapi juga tentang sistem yang membiarkan ini terjadi. Sekolah, komunitas, bahkan keluarga bisa jadi tempat untuk mulai bicara soal kesetaraan gender dan pentingnya menghormati satu sama lain. Kedua, pemerintah perlu memperkuat sistem pendukung untuk korban, seperti layanan konseling gratis atau jalur pelaporan yang lebih mudah dan aman. Ketiga, penegakan hukum harus lebih tegas dan cepat, biar pelaku tidak merasa bisa lolos gitu aja.

Meski tantangannya banyak, bukan berarti tidak ada harapan. Perubahan sosial itu memang lambat, tetapi dengan kerja sama antara masyarakat, pemerintah, dan organisasi sosial, kita bisa perlahan-lahan membangun Indonesia yang lebih aman dan adil untuk semua. Yang penting, kita tidak boleh berhenti bicara soal ini, karena diam justru bikin masalah ini terus hidup.

Referensi:
Ariyanti, V. (2023). Nilai Budaya dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Indonesia. Jurnal Sosiologi Nusantara.

  • Arsyad, M. (2022). Dampak Psikologis Kekerasan Seksual pada Korban. Jurnal Psikologi Indonesia.

  • Kifli, A., & Ismail, R. (2022). Patriarki dan Stigma Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Gender Studies.

  • Ristanti, D. (2022). Tipologi Kekerasan Seksual: Pendekatan Multidisiplin. Jurnal Kriminologi.

  • Sari, R., & Purwanti, A. (2018). Implementasi UU PKDRT dan Tantangannya. Jurnal Hukum Keluarga.


Penulis: NOL
Desainer: GHI

LPM Channel

Podcast NOL SKS