Kehidupan setelah Kelas

Redaksi
Cerpen
25 May 2024
Thumbnail Artikel Kehidupan setelah Kelas
Mungkin di antara seribu manusia yang gak suka bengong, gue adalah salah satu yang justru suka banget bengong. Gak tau kenapa, 'bengong' udah jadi passion gue. Di mana pun itu, gue suka banget bengong, entah di motor, mobil, kereta, bahkan di MRT. Kebiasaan bengong gue ini sebenernya gak sekedar bengong tanpa tujuan. Bagi orang lain mungkin keliatan kayak melamun tanpa arah, tapi buat gue, bengong adalah momen berharga buat merenung, ngeksplorasi pikiran, dan ngasih ruang buat imajinasi gue bebas berkeliaran.

Kayak sekarang. 

“Kok lo bengong aja, sih?” tanya Hari.

“Emangnya gue harus apa?” sahut gue sambil terkekeh.

“Ini first time gue liat lo bengong Han, lo banyak pikiran ape gimane?” tanya Hari yang sedikit khawatir melihat Hana—yang  biasanya aktif dan ceria, kali ini hana terlihat murung dan banyak sekali diam. 

“Aman saja sih Har, tumben banget lo care sama gue. Biasanya juga ngomel doang ke gue kerjaan lo,” timpal Hana tepat di depan muka Hari.

Hari yang sedari tadi duduk depan gue mungkin bingung dengan sikap gue, karena beberapa kali bengong tertangkap oleh matanya. Sebenarnya, dalam keadaan ‘bengong’ gue justru bisa lebih menghayati segala sesuatu dengan perasaan yang damai, tenteram, atau bahkan sedih gitu.

Setelah selesai kelas, kali ini gue lagi nongkrong bareng Hari. Kita duduk di depan bangunan yang lumayan ‘nyaman’ tapi ada pemandangan yang kurang elok dipandang mata. Ada selokan yang tersumbat dan banyak sampah, membuat gue mengurungkan kata ‘nyaman’ dalam argumen yang baru aja gua sampaikan. Bangunan kampus seluas ini, ya—walaupun gak terlalu luas, gue belum pernah lihat aja ada pekerja yang suka bersih-bersih jalanan atau area sekitar. Yang gue lihat, beberapa pekerja hanya berfokus pada bagian dalam gedung kampus. Dan akhirnya, gue cuma misuh dalam hati. 

“Lu laper gak?” tanya Hari.

Pertanyaan Hari lagi-lagi buat gue sadar dan menyusuri setiap sudut yang ada di kampus ini. Mulai dari jalanan ke arah kantin, banyak banget genangan yang mengganggu. Bahkan, kalo gue bukan mahasiswa sini, gue nggak akan tahu ada kantin di dalam kampus. Letaknya agak tersembunyi karena jalan menuju tempat tersebut di antara pepohonan, tapi lucky me gue udah lumayan sepuh di sini. Jadi, gue tahu ada makanan enak di dalam kantin kampus ini. 

“Laper sih Ri, ke Moms Iqbale yok gue ngidam nasi telurrr!” 

“Gas Han,” balasnya bersemangat, karena beberapa bulan belakangan ini kantin sudah mulai ramai lagi. 

Tadinya, kantin itu lumayan terbengkalai, walaupun sekarang gak sepenuhnya terlihat bersih dan rapi. Kondisinya masih banyak tumbuhan liar dan sedikit mirip dengan kebun, plus belum tertata.

“Mungkin sedang proses penataan kali ya,” kata Hana dalam hati.

Terlalu banyak melamun, tanpa sadar gue merasa ada sesuatu yang basah. Saat gue lihat ke bawah, ternyata kaki gue udah terbenam di genangan air yang baru saja ingin mereka lewati.

Huft!

“Berat banget itu, helaan nafas lo, Han,” celetuk Hari.

“Ini lo liat! Kaki gue penuh lumpur Riiiii!” geram gue sambil menunjukkan kaki yang udah tenggelam semata kaki di dalam genangan air. Gue berusaha melewati genangan itu tanpa menyentuh sedikit pun, tapi kenyataannya malah kena juga. 

“HAHAHA!”

Suara tertawa Hari terdengar begitu keras sampai mereka menjadi tontonan peserta SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Test). Situasi kampus saat ini ramai sekali. Pasalnya, mereka selesai kelas siang hari, dimana masih banyak peserta yang masih berlalu-lalang di dalam kampus SNBT. 

“Ri, gue ke toilet dulu deh bentar,” pamit gue.

“Gue ikut Han, kita kan cuma berdua. Lo mau ninggalin gue?” balas Hari sambil mengejar langkah gue yang mungkin sudah jauh dari pandangan matanya. “Han ... Han tunggu dong!” 

“Dimana dah ini toilet?” Gue bergumam seraya berjalan ke arah Fakultas Pendidikan Agama Islam yang diingat di sana terdapat beberapa toilet yang terletak di luar gedung tersebut. 

“Nah ini-ini!” seru gue, bergegas masuk ke dalam toilet yang ada di belakang fakultas ketika sudah dekat. 

“Ri, jagain ya? Lo di sini saja,” ucapnya pada Hari, meminta temannya untuk berjaga di luar. Tanpa membuang waktu, gue segera bergegas masuk dan membersihkan kakinya yang kotor tadi.

Setelah bersih, Hana menarik tangan Hari menuju gerbang Universitas.

“Makan di warteg depan aja-lah, Ri. Biar ini kaki aman sentosa!” ajaknya gue dengan nada penuh keluhan yang pastinya terlihat jelas dari raut wajah gue udah muak dengan hari ini.

Kalo jalan kaki capek juga ya, Han” keluh Hari seraya mendekati gue yang berjalan di depannya. 

“Makanya Ri, olahraga. Gede doang ini badan, jalan saja ga kuat! Cemen bener,” ledek gue sambil menjulurkan kepalan tangan yang menyisakan jari jempol mengarah ke bawah—tanda bahwa Hari adalah laki–laki payah yang gue temui. 

Yaelah Han! Gue jago basket, satu lawan satu aja deh sama gue Han,” tantangnya seraya menunjuk lapangan basket yang dipisah menjadi 3, karena terlihat ada lapangan baru yaitu lapangan tenis. 

“Tenis aja gak, sih?”

“Harus VIP Han, lo kan reguler bakal digeser terus jadwalnya. HAHAHA!” timpal Hari sambil berlari menghindari gue yang Hari tahu bahwa dia akan dihadiahi oleh cubitan dari gue. 

“Lo gak bakal bisa lari dari gue kali, Ri,” ucap gue dengan berusaha mencubit kecil ke arah Hari.

Hari lupa bahwa ia harus menyeberangi jalan sebelum bisa sampai ke warung tegal yang kami tuju. Sekarang Hari menjadi sasaran cubitan gue. Dia tahu betul Hana adalah ratu dari segala cubitan; cubitan maut yang kecil-kecil tapi menusuk dan sedikit perih.

“Ampun Han!” 

Hari berusaha menahan gue yang memang tidak akan berhenti sebelum puas. 

“Han! Hana!” Tiba-tiba suara panggilan untuk gue menginterupsi, semakin mendekat.

“Eh, Kak Bagas?” Gue menoleh ke arah suara itu. Ternyata itu Bagas, seseorang yang Hana kenal sejak lama. Dia adalah teman kecilnya yang udah gue anggap seperti kakak sendiri.

Di seberang sana, Hari udah lari bahkan sudah sampai di warteg seberang. Gue tertahan bersama Bagas, yang tentu aja demi menjaga image sikap gue akan berubah di depan Kak Bagas yang penuh wibawa ini. 

“Tadi sama siapa, Han?” tanyanya.

“Teman Kak, hehe. Kak Bagas sendiri mau ngapain?”

“Aku ada rapat sih, tapi tadi liat kamu. Hana  mau ke mana?” tanya Kak Bagas penuh kelembutan.

“Mau makan aja sih, kak sama yang teman yang tadi.”

“Ya udah Han, jaga kesehatan yaaa. Semangat terus kuliahnya, salam ya buat ibu. Nanti kalo mau pulang kabarin aku aja ya? Sudah lama gak ketemu ibu,” tuturnya seraya mengelus rambut gue. Kebiasaan yang sering dia lakukin sebelum gue masuk ke dalam rumahnya dulu—waktu kami berdua berada di SMA yang sama. 

“Rindu ya, ternyata,” kata gue dalam hati. 

Hanya kerinduan yang tersisa di hati gue kali ini. Tatapan dalam matanya dan kerinduan akan sosok kakak membuat gue terdiam di tempat, di mana gue menemukan Kak Bagas. Memori akan keseruan kami bahkan terputar kembali di benakku. 

“Akh!” Gue merintih. 

Gue arahkan tangan untuk mengusap kepala sembari mencoba mencari siapa yang melemparkan batu kecil ke arahku. Aku bahkan hampir lupa akan tujuanku untuk ke warteg dan Hari yang adalah pelaku dari lemparan batu tadi.

Hari berhasil menghalau kepingan masa lalu gue yang mengalir deras.
 
“Hari awas lo ya!” teriak gue dalam hati kemudian berusaha mencari Hari di warteg. 

Tamat. 

Penulis: Putri Malu
Desainer: TAH

LPM Channel

Podcast NOL SKS