Jejak Kelam UU Ciptaker: Diselimuti Berbagai Kontroversi Hingga Tuai Tanggapan Dosen dan Mahasiswa Unsika
Redaksi
Berita
27 Apr 2023

Salah satu produk legislasi di penghujung tahun 2020 ini, mendapat perhatian publik yang cukup besar yaitu UU No. 11 tentang Cipta Kerja. Dari semenjak pembentukan hingga saat ini, UU Cipta Kerja kerap menimbulkan berbagai polemik dan kontroversi. UU ini menuai kecaman dari masyarakat sipil terutama kalangan buruh, lingkungan hidup, dan HAM.
Tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja (Ciptaker) ini untuk menghadapi dinamika perekonomian global yang dapat berdampak signifikan kepada perekonomian nasional dan pembangunan nasional, namun utamanya dengan memberikan kemudahan berusaha serta peningkatan ekosistem investasi, sehingga mampu menyerap tenaga kerja, menciptakan keadilan, dan kesejahteraan rakyat. Namun, mengapa UU Ciptaker dalam penetapannya terjadi banyak kontroversi?
Dalam perjalanannya, UU Ciptaker memang tidak pernah mulus. Undang-undang ini mendapat banyak penolakan sejak awal, meski pada akhirnya tetap disahkan. Dilansir NuOnline.or.id sejumlah elemen buruh menggugat UU Ciptakerja dengan mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian, melalui putusan bernomor 91/PUU-XVIII/2020 Majelis Hakim MK menyatakan bahwa UU Ciptaker cacat formil dan dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat, Kamis, (25/11/2021). MK memerintahkan untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan. Namun, jika dalam tenggang waktu itu perbaikan tidak dilakukan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional (bertentangan dengan Undang-Undang Dasar) secara permanen.
Menanggapi hal itu, Presiden RI, Joko Widodo malah menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 untuk menggantikan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Aturan itu didasarkan atas pertimbangan akibat kondisi ekonomi global yang tidak menentu. Lebih lanjut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan Perppu Cipta Kerja mendesak karena Indonesia dan semua negara tengah menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim.
Perppu Cipta Kerja ini menuai penolakan dari berbagai pihak terutama kaum buruh yang khawatir hak-hak mereka direnggut. Elemen kaum buruh dan mahasiswa berulang kali melakukan unjuk rasa dan menyuarakan aspirasi, menolak dan memprotes terbitnya Perppu Cipta Kerja ini.
Di tengah-tengah penolakan dari berbagai pihak, Perppu Cipta Kerja tetap disahkan menjadi UU melalui Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan IV Sidang 2022-2023, Selasa (21/03/2023). Adapun isi UU Cipta kerja ini terdiri atas 11 klaster pembahasan dengan beberapa poin di dalamnya, di antaranya:
- • Penyederhanaan perizinan berusaha
- • Persyaratan investasi
- • Ketenagakerjaan
- • Kemudahan dan perlindungan UMKM
- • Kemudahan berusaha
- • Dukungan riset dan inovasi
- • Administrasi pemerintahan
- • Pengenaan sanksi
- • Pengadaan lahan
- • Investasi dan proyek pemerintahan
- • Kawasan ekonomi
Banyaknya pembahasan mengenai kontroversial UU Cipta Kerja, salah satu dosen Ilmu Pemerintah Unsika, Kariena Febriantin memberikan perspektif pemerintahan mengenai UU Ciptaker. "Kalo dari perspektif pemerintahan, sebenernya kebijakan Undang-undang Cipta Kerja itu memang dibutuhkan, tetapi isinya apakah sesuai atau tidak,’’ saat diwawancarai langsung pada (05/04/2023).
Berdasarkan hasil analisis Kareina, ada sejumlah pasal yang kontradiktif atau aneh, yaitu dihapusnya Analisis Dampak Lingkungan (Amdal). "saya analisis, ya, sebenernya kalo diliat dari Undang-undang Cipta Kerja yang kemarin disahkan itu ada sejumlah pasal-pasal, sebenernya pasal-pasal yang kontradiktif atau agak aneh.’’
“sebenernya terkait dengan lingkungan hidup juga ada, jadi gini, ada aturan nih saya baca, ya, sekarang itu kalo misalkan ada investor, misal mau bikin usaha penambangan, itukan biasanya suka ada izin dulu dong, izin gangguan, izin bahwa misalnya nanti akan membuang limbah, itu tuh izinnya harus melalui orang-orang yang paham mengenai efek lingkungan, pemerhati lingkungan, dulu tiap perusahaan yang mau melakukan usaha, harus ada Amdal dulu, izin Amdal, oh, ini nanti akan membuang limbah, mungkin akan ada ngeganggu daerah samping, mungkin ada masyarakat di samping-samping atau sekitar perusahaan itu, itu harus ada izinnya, tapi sekarang nggak perlu ada izinnya, kan aneh,” jelasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti pasal-pasal yang dianggap merugikan pekerja, di antaranya meliputi:
- 1. Pasal 88C, Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu, serta upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
- 2. Pasal 156, jika terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak, untuk masa kerja maksimal, yaitu delapan tahun atau lebih mendapatkan sembilan bulan upah, dan untuk penghargaan, masa kerja 24 tahun atau lebih mendapatkan 10 bulan upah.
- 3. Pasal 18, jaminan kehilangan pekerjaan yang termasuk dalam program jaminan sosial.
- 4. Pasal 46A, pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan.
- 5. Pasal 56, perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu, ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
- 6. Pasal 57, PKWT tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
- 7. Pasal 59, PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sekali selesai, selesai dalam waktu tidak terlalu lama, musiman, atau bersifat tidak tetap.
- 8. Pasal 77, 78, dan 79, waktu kerja normal adalah tujuh jam per hari dan 40 jam per minggu untuk enam hari kerja dalam satu minggu dan/atau delapan jam per hari dan 40 jam per minggu untuk lima hari kerja dalam satu minggu. Waktu kerja lembur hanya dilakukan paling lama empat jam per hari dan 18 jam per minggu. Waktu istirahat antara jam kerja paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan tidak termasuk jam kerja. Serta istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.
- 9. Pasal 79, Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti, cuti yang diberikan adalah cuti tahunan yang paling sedikit 12 hari kerja setelah bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
Wida Ningsih, mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan angkatan 2019 memberikan perspektif mengenai UU Cipta Kerja. "Undang-undang Cipta Kerja ini kalau secara bahasa mungkin kita juga bisa tahu, Cipta Kerja untuk menciptakan pekerjaan. Memang dari berbagai media dan berbagai analisis ahli juga gitu, kebetulan saya kan (dari) Ilmu Pemerintahan, jadi sedikit banyaknya melihat atau menonton para analisis kebijakan atau mungkin pakar hukum menganalisis tentang problematika ini, perdebatan perihal cipta kerja. Selanjutnya disini juga memang tujuannya cipta kerja memperluas lapangan pekerjaan, karena sesuai intinya, menciptakan lapangan pekerjaan melalui usaha juga perlindungan, pemberdayaan usaha UMKM, peningkatan ekosistem investasi tetapi dalam perjalanan dan isinya, dari draftnya itu yang udah disahkan kalau tidak salah itu kebanyakan menyoroti masalah investasi, bahkan disini kan banyak sekali perusahan kontranya gitu, para pengusaha menyambut hangat Undang-undang Cipta Kerja sedangkan para buruh menolak, tidak setuju karena banyak hal yang dirasa itu merugikan para buruh," ujarnya saat diwawancarai melalui Telegram pada (27/03/2023).
Wida juga mengungkapkan bahwa dalam prosesnya UU Cipta Kerja ditetapkan secara cepat, tanpa melibatkan masyarakat. "Dari draft sampai dengan ditetapkan memang cepat banget dan padahal masih polemik di masyarakat, perdebatan di masyarakat masih belum mereda. Selama prosesnya juga publik nggak dilibatkan, dalam artian kita nggak tahu nih masyarakat atau mungkin nggak semua masyarakat harus terlibat. Nah masalahnya perwakilan di sini mana gitu, mana yang mewakili publik, mana yang benar-benar melihat kebutuhan di lapangan karena kan, ya, seperti itulah sistem pembuatan kebijakan atau peraturan. Jadi memang harus ada tuntutan baru dibuat kebijakan atau peraturannya dan di situ dalam prosesnya harus ada keterlibatan publik juga karena kan memang kebijakan atau peraturannya itu tujuannya memang untuk masyarakat. Perwakilan nggak harus semua masyarakat, kita butuh transparansi. Masyarakat punya hak untuk menyampaikan aspirasinya,"
"Kita hanya melihat samar-samar, hanya tahu sebagian-sebagian, ditetapkan sebagai Perpu dan disahkan menjadi undang-undang dengan alasan ada urgency karena kondisi, kondisi global yang tidak menentu termasuk perekonomian, kita harus bisa melihat peluang katanya, pemerintah membuat peraturan ini melalui undang-undang untuk menciptakan lapangan kerja, tetapi yang menjadi highlight disini adalah Undang-undang Cipta Kerja lebih menyoroti kepada investor daripada buruh. Undang-undang Cipta Kerja untuk siapa? untuk masyarakat Indonesia atau masyarakat luar? itu perlu dipertanyakan juga gitu dan ya sebenarnya dari semua yang tadi disampaikan gitu yang menjadi sorotan banget gitu artinya ya dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja ini terjadi ketidakpastian mendapatkan upah, ketidakpastian mendapatkan jaminan sosial," lanjutnya.
Kariena berharap dengan adanya kebijakan ini mampu mengakomodir tuntutan, harapan, serta cita-cita dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga swasta. “Harapan saya sih, ya, semoga dengan adanya aturan ini, kebijakan ini, mampu mengakomodir tuntutan, harapan, cita-cita dari semua pihak, untuk benefitnya misalnya untuk pihak pemerintah, untuk masyarakat paling utama, dan juga nantinya berdampak juga buat swasta kan gitu, ya semoga aja dengan adanya aturan Undang-undang Cipta Kerja ini, sinergitas antara pemerintah, masyarakat, dalam hal ini buruh ya, terus juga swasta bisa saling guyub lah untuk peningkatan perbaikan ekonomi di Indonesia, itu sih harapan saya gitu,” harapnya.
Selain itu, Wida juga mengungkapkan harapannya terkait disahkannya UU Cipta Kerja. "Harapannya, yaudah diterima dulu, dicoba dulu. Kita harus memaksimalkan dan melihat bagaimana pelaksanaan dan implementasi, Undang-undang Cipta Kerja ini apakah benar-benar yang kita khawatirkan. Nah, disitu kita bisa melihat apa aja yang seharusnya diperbaiki dan diubah, karena memang namanya kebijakan itu tidak ada yang sempurna. Ketika lihat pelaksanaannya bener nggak mendukung, mensejahterakan masyarakat. Tetapi jika pelaksanaannya tidak ada yang berubah, kita harus tuntut kembali. Misalnya, nggak ada perubahan sama sekali, ya, bagaimana dengan nasib masyarakat Indonesia kedepannya. Bukannya mengatasi satu masalah, malah ada masalah sosial lainnya dan sebenarnya, kan, masalah sosial juga itu komplek dari satu ke yang lainnya dari ketenagakerjaan, kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, dan yang lainnya. Makanya kita perlu peninjauan dengan matang. Secara overhandship juga gitu, dan itu PR pemerintah, PR tenaga ahli. Kita harus melihat dari sini memantau, jangan sampai mereka kerja lurus-lurus aja," ucapnya.
Harapan juga datang dari salah satu mahasiswa Fakultas Hukum angkatan 2021, Davin. “Setidaknya apabila UU Cipta Kerja ini tidak bisa dicabut, setidaknya ada perevisian yang melibatkan masyarakat agar tidak ada undang-undang yang merugikan masyarakat lingkungan dan lainnya, biar lebih ketemu jalan tengahnya," ujarnya saat diwawancarai langsung pada (27/03/2023).
(AR, IDN)