Jangan Sampai Meme ‘Lelaki Tidak Bercerita’ Jadi Alasan Kita Gak Peduli

Redaksi
Opini
23 Jul 2025
Thumbnail Artikel Jangan Sampai Meme ‘Lelaki Tidak Bercerita’ Jadi Alasan Kita Gak Peduli
Siapa sih yang nggak pernah lihat meme “Lelaki tidak bercerita, tapi…” di timeline? Biasanya gambarnya itu cowok duduk ngerokok sambil bengong di kursi Indomaret. Kelihatannya lucu miris gitu ya, terus kita ketawa bareng, share ke grup.

Saya juga sama. Pernah lihat, ketawa, bahkan ikutan share. Namun, kalau dipikir-pikir, sebenarnya kenapa meme itu bisa relate banget? Kenapa kita bisa ngakak sambil bilang itu cocok sama diri kita?

Coba lihat di kampus. Kita pasti pernah punya teman yang awalnya rame, aktif di kelas, semangat ikut organisasi, suka nongkrong. Lama-lama dia jarang kelihatan. Chat dibalas singkat. Kalau pas nongkrong, dia lebih banyak diam.

Kita kadang cuma bilang, “Ah dia mah emang gitu” atau becandain, “Sok sibuk lu”, padahal siapa tahu aja dia lagi nggak baik-baik. Namun, enggan untuk cerita sebenarnya. Ini bukan cuma perasaan. Data Susenas 2022 bilang ada sekitar 1,4 juta lelaki di Indonesia yang sedang menghadapi masalah mental. Bayangin, kayak satu kota penuh orang yang capek sama hidup, tetapi semuanya memilih diam.

Di kampus pun tekanannya berat seperti tugas-tugas menumpuk, deadline makin mepet, presentasi bergantian, dan skripsi yang belum juga selesai. Tekanan dari orang tua yang minta lulus cepat. Tuntutan IPK tinggi supaya “gampang cari kerja”. Di organisasi juga kadang sering drama, lembur rapat, tanggung jawab acara. Mau ngeluh malah takut dibilang manja atau nggak tahan banting. Katanya sih sekarang kita generasi yang lebih open minded soal mental health. Nyatanya, meme kayak “Lelaki tidak bercerita” masih viral. Kenapa? Karena pola pikir lama belum hilang. Cowok dibilang harus kuat, nggak boleh nangis, dan nggak boleh cerita.

Padahal, cowok juga manusia: bisa sedih. Bisa takut. Bisa capek.

Media sosial kadang malah bikin tambah berat. Lihat teman posting nongkrong di kafe, liburan, padahal siapa tahu setelah itu dia stress sendiri di kos. Kita jadi merasa harus selalu keliatan “oke” di sosmed, biar nggak dikira lemah.

Kalau dipikir lagi, dampaknya ke mana-mana. Teman yang memutuskan nggak mau cerita bisa jadi susah diajak ngobrol serius. Dampaknya adalah jadi lebih mudah marah atau menarik diri. Dalam organisasi bisa bikin tim nggak kompak. Di kelas bisa bikin kerja kelompok nggak enak. Dalam hubungan pribadi juga bisa bikin nggak jujur soal perasaan.

Jadi, sebenarnya kita bisa apa? Caranya cukup sederhana kok.

Pertama, mulai lebih terbuka sama teman. Cukup bilang, “Gue selalu ada di sini kalau mau cerita”. Jangan langsung becandain kalau ada teman yang mulai curhat. Kadang kita tugasnya cuma perlu dengerin.

Kedua, manfaatin fasilitas kampus. Banyak kampus/organisasi punya layanan Kesma untuk mahasiswa, bahkan sekarang banyak konseling online lewat chat atau telepon. Gak harus ke psikolog yang mahal. Konseling itu bukan buat orang “gilaaja, tetapi salah satu cara ngerawat diri.

Ketiga, lebih peka sama teman. Kalau lihat dia berubah, tanyain aja dengan tulus. “Lo gapapa?” atau “Belakangan keliatan beda”. Kadang orang cuma butuh ditanya buat mancing supaya dia mau cerita.

Keempat, belajar berani buat jujur. Bilang kalau lagi capek. Bilang kalau lagi sedih. Kita juga nggak harus selalu kuat. Nggak harus pura-pura.

Saya sendiri mau mulai dari hal kecil. Mau dengerin teman tanpa ngetawain. Mau belajar bilang kalau lagi capek. Sebab peduli itu bukan kelemahan. Itu tandanya kita manusia.

Dan kampus harusnya jadi tempat kita belajar banyak hal, termasuk belajar saling peduli sesama. Mulailah dari hal kecil dulu kayak belajar benar-benar dengerin teman tanpa langsung menertawakan atau menyepelekan. Berani bilang kalau lagi capek atau sedih tanpa merasa malu. Justru kepedulian itu bukan tanda lemah, melainkan bukti bahwa kita masih punya sisi kemanusiaan.

Kampus bukan sekadar tempat menumpuk nilai, mengejar IPK, atau sibuk rapat organisasi. Harusnya juga jadi ruang belajar untuk jadi lebih peka. Belajar mengenali kalau di balik tawa teman, ada rasa lelah yang nggak kelihatan. Belajar berhenti meremehkan luka mental, dan mulai mengulurkan tangan.

Memang kelihatannya nggak mudah. Banyak yang masih ragu membuka diri, takut dicap alay atau manja. Namun, jika nggak mulai sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita yang merawat ruang ini jadi lebih aman dan nyaman, siapa lagi?


Penulis: Saber Roam
Desainer: GHI

LPM Channel

Podcast NOL SKS