Istilah Keseharian yang Salah Kaprah
Redaksi
Artikel
01 Jan 2025

Bahasa Indonesia memiliki kekayaan kosakata yang luar biasa. Namun, dalam percakapan sehari-hari, sering kali muncul istilah atau kata yang digunakan tidak sesuai dengan makna aslinya. Hal ini terjadi karena kebiasaan turun-temurun atau pengaruh dari konteks tertentu yang menyimpangkan arti kata tersebut. Ternyata banyak banget istilah dalam bahasa Indonesia yang sering kita gunakan, tapi sebenarnya salah kaprah lho!
Yuk, simak Kulik Bahasa kali ini agar tahu arti sebenarnya kita tahu arti sebenarnya dan bisa menggunakannya dengan tepat!
- 1. Absen
Dalam kehidupan sehari-hari, kata absen sering dianggap sebagai hadir atau mengisi daftar hadir. Akan tetapi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti absen sebenarnya ialah tidak hadir. Penggunaan kata yang tepat untuk menggambarkan kegiatan mengisi daftar hadir ialah presensi.
Contoh salah:
“Dia sudah absen di kelas tadi pagi.”
Salah karena menggambarkan kehadiran, seharusnya kalimat tersebut menggambarkan kegiatan untuk mencatat kehadiran atau tidak hadir, dan untuk itu, kita seharusnya menggunakan kata presensi.
Contoh benar:
“Dia absen dari kelas Regulasi dan Etika Jurnalistik hari ini.”
Dalam hal ini, kalimat tersebut menggambarkan bahwa orang tersebut tidak hadir dalam kelas tersebut.
- 2. Acuh
Kata acuh sering kali digunakan dengan maksud menggambarkan seseorang yang tidak peduli, cuek, atau apatis. Namun, makna sebenarnya justru sebaliknya, yaitu peduli, memperhatikan, atau memberi respons terhadap sesuatu. Kesalahpahaman ini muncul karena frasa seperti “acuh tak acuh” yang sering digunakan. Padahal, frasa tersebut sebenarnya berarti “peduli atau tidak peduli sekaligus” sehingga menciptakan ambiguitas.
Contoh salah:
“Dia tidak acuh akan larangan orang tuanya.”
Dimaksudkan tidak peduli atau tidak memperhatikan. Dalam hal ini, kalimat yang benar seharusnya menggunakan kata lain seperti cuek atau tidak peduli untuk menggambarkan sikap tersebut.
Contoh benar:
“Dia acuh terhadap masalah pendidikan di daerahnya.”
Kalimat ini benar karena acuh di sini digunakan dengan makna yang sesuai, yaitu peduli atau memperhatikan. Artinya, dia menunjukkan perhatian terhadap masalah pendidikan, yang sesuai dengan definisi kata acuh yang sebenarnya.
- 3. Garing
Kata garing dalam bahasa Indonesia memiliki arti asli yang berkaitan dengan tekstur atau kondisi sesuatu yang kering, renyah, dan keras. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), garing secara khusus merujuk pada sifat tekstur, seperti pada makanan yang digoreng hingga renyah atau biskuit yang mengeluarkan suara “kriuk” ketika digigit. Contoh penggunaan ini sangat lazim dalam deskripsi makanan dan minuman.
Namun, pergeseran makna dalam masyarakat telah membuat kata ini memiliki arti yang jauh berbeda dari konteks aslinya. Penggunaan dalam komunikasi sehari-hari, terutama dalam bahasa gaul, menunjukkan makna baru yang sama sekali tidak berhubungan dengan renyah atau kering.
Dalam percakapan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda, kata garing sering kali digunakan untuk menggambarkan suasana atau lelucon yang dianggap tidak lucu, gagal, atau tidak sesuai dengan ekspektasi humor. Misalnya, jika seseorang melontarkan sebuah lelucon yang tidak membuat orang lain tertawa, maka lelucon itu dianggap garing.
Contoh salah:
“Leluconmu garing banget, nggak ada yang ketawa.”
Dalam kalimat ini, kata garing digunakan untuk menggambarkan kegagalan sebuah lelucon untuk memancing tawa. Meskipun sangat populer, penggunaan ini tidak sesuai dengan makna asli kata garing.
Contoh benar:
“Kerupuk ini garing sekali, rasanya jadi lebih enak.”
Pada kalimat ini, kata garing digunakan sesuai dengan makna aslinya, yaitu untuk menggambarkan tekstur makanan yang keras, kering, dan renyah.
- 4. Kabar Burung
Dalam keseharian, banyak yang salah memahami istilah kabar burung berarti sebagai berita atau kabar buruk. Namun, makna sebenarnya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kabar angin atau berita yang belum tentu benar; desas-desus. Dalam beberapa kebudayaan, burung—khususnya burung gagak—sering dianggap sebagai simbol kesialan atau pertanda buruk.
Meskipun secara literal tidak berarti kabar buruk, istilah ini sering diasosiasikan dengan informasi yang merugikan atau negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh sifat rumor yang sering kali membawa berita tidak menyenangkan atau merugikan bagi individu atau kelompok tertentu. Dalam budaya masyarakat, kabar burung sering kali menjadi alat untuk menyebarkan informasi yang bisa menimbulkan ketakutan atau kekhawatiran.
Contoh salah:
“Saya dengar kabar burung kalau perusahaan akan melakukan PHK.”
Situasi seperti ini memperkuat angggapan keliru bahwa kabar burung selalu memiliki makna buruk. Kalimat ini salah karena kabar burung diartikan sebagai informasi yang buruk, padahal sebenarnya istilah ini tidak selalu merujuk pada hal negatif.
Contoh benar:
“Saya dengar kabar burung bahwa akan ada pertemuan penting minggu depan, tetapi saya belum tahu pasti.”
Kalimat ini benar karena kabar burung digunakan untuk merujuk pada informasi yang belum dikonfirmasi dan bisa jadi hanya berupa rumor atau desas-desus. Dalam konteks ini, kabar burung menunjukkan bahwa informasi tersebut belum bisa dipastikan kebenarannya, yang sesuai dengan makna asli dari ungkapan tersebut.
- 5. Preman
Kata preman berasal dari bahasa Belanda, vrijman, yang berarti orang bebas atau freeman. Pada masa penjajahan Belanda, kata ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak terikat oleh aturan. Kata ini, pada masa kolonial diartikan sebagai kelompok masyarakat yang menolak persetujuan kolonial sehingga melakukan perlawanan.
Setelah kemerdekaan, makna preman beralih dari pejuang kebebasan menjadi simbol perilaku yang cenderung melanggar hukum, terutama selama era Orde Baru. Pada era tersebut, kata preman diartikan sebagai sebuah kelompok yang menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk mencapai tujuan tertentu. Hingga pada masa kini, kata preman sering dipakai untuk menyebut individu atau kelompok yang terlibat dalam kekerasan atau aktivitas kriminal. Namun, ada juga yang menggunakan kata ini untuk menggambarkan seorang penjaga atau pelindung di lingkungan tertentu.
Perubahan makna ini tidak terlepas dari faktor-faktor, seperti urbanisasi, ketidaksetaraan ekonomi, dan keterbatasan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Pergeseran makna kata preman menjadi cerminan perubahan dalam tatanan sosial Indonesia dari masa ke masa. Fenomena perubahan makna dari positif menjadi terdengar lebih negatif dalam disiplin ilmu bahasa (linguistik) disebut peyorasi.
Contoh salah:
“Pria itu mengenakan pakaian serba hitam yang memberikan kesan seperti seorang preman.”
Kalimat tersebut merupakan penggunaan kata preman yang salah karena menilai seseorang hanya berdasarkan penampilan. Kata preman sebenarnya lebih mengacu pada perilaku atau tindakan tertentu, bukan sekadar gaya berpakaian.
Contoh benar:
“Dia adalah seorang preman yang memiliki alasan kuat untuk menolak kebijakan pemerintah.”
Menggambarkan seseorang yang menolak kebijakan pemerintah karena memiliki alasan dibaliknya. Penggunaan kata preman pada kalimat tersebut, sesuai dengan sejarah dan makna yang sebenarnya.
Penting bagi kita untuk terus belajar dan memahami arti yang tepat agar bisa berkomunikasi dengan lebih efektif dan tepat. Dengan demikian, setelah membaca pembahasan ini, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan bahasa yang benar dan sesuai konteks.
Penulis: Redaktur Bahasa
Desainer: DNL
Sumber
Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Absen”. Diakses pada 24 Desember 2024, dari Arti kata absen - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online
Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Kabar”. Diakses pada 26 Desember 2024, dari https://kbbi.web.id/kabar
Kompasiana. “Jejak sejarah kata preman: Dari asal usul hingga konotasi modern”. Diakses pada 26 Desember 2024, dari https://www.kompasiana.com
Dwi, A. Kumparan. “Pergeseran makna bahasa pada kata garing. Diakses pada 26 Desember 2024, dari https://kumparan.com/agustindwi012/pergeseran-makna-bahasa-pada-kata-garing-1unpilZvXUW