Ironi Mahasiswa dalam Organisasi: Kesaksian tentang Eksploitatif Ormek
Redaksi
Opini
04 Aug 2025

Apa sih Organisasi Mahasiswa Eksternal (Ormek)? Organisasi yang tidak mendapat surat keputusan rektorat? Organisasi yang berbau politik praktis? Organisasi yang memiliki ideologi sendiri? Atau apa? Barangkali banyak pertanyaan yang muncul di kepala saya ketika saya baru aja jadi bagian dari mahasiswa salah satu kampus di Jawa Barat.
Hari itu, sebelum saya mulai Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) kebetulan saya sudah kenal dengan salah satu Kakak Tingkat (Kating) dari Fakultas saya. Dia kasih saya sedikit demi sedikit informasi tentang dunia kampus, salah satunya yang dia sebut dengan eksternal. Kami berkomunikasi melalui X, saat itu dia bilang ke saya, “jangan masuk ke eksternal” pasalnya kebetulan dia melihat media sosial saya mengikuti salah seorang yang menurut dia anggota Ormek.
Di percakapan itu juga, dia banyak sebut istilah-istilah yang saya tidak mengerti, karena sekarang saya sudah tahu, ternyata dia sebut macam-macam nama Ormek. Saya sempat tanya, kenapa saya tidak boleh masuk eksternal? Kata dia, “ketua dari salah satu Ormek itu pelaku pelecehan”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut walaupun saya sudah mempertanyakan banyak hal ke dia. Di akhir percakapan kami, jawaban yang saya dapatkan hanya, saya dengan dia perlu banyak bicara.
Dengan seribu pertanyaan yang masih betah di kepala, saya masuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang Kakak Tingkat (Kating) saya bilang anti eksternal, karena dia bilang demikian tidak ada perasaan ragu untuk bergabung, saya kira itu betulan aman untuk saya. Barangkali dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dapat jawaban bersamaan dengan jiwa-jiwa penasaran saya, ketika pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) UKM ini, saya tanya ke mereka, kenapa UKM ini anti eksternal?
Ketika itu saya tidak dapat jawaban yang mendetail, saya kira mungkin karena saya baru di tahap awal. Katanya, mereka tidak bisa menerima anggota yang menjadi bagian dari eksternal, tetapi mereka juga bilang kalau mereka tidak melarang saya sama sekali untuk gabung di eksternal, hanya saja saya tidak akan diterima di UKM ini. Rasanya pertanyaan yang tak kunjung beranjak ini semakin menjamur.
Hingga tiba saat dimana terbit penugasan yang mengharuskan saya melibatkan mahasiswa dari fakultas lain. Saya bingung, saya belum punya banyak teman dari fakultas lain, pilihan saya hanya teman yang kebetulan satu SMA dan bertemu lagi di kampus ini. Saya sudah jadwalkan untuk bertemu sekitar jam 3 sore, pasalnya hari itu dia bilang kelasnya baru selesai sekitar jam segitu, ya sudah saya tunggu.
Setengah jam berlalu, Air Conditioner (AC) perpustakaan membuat saya menggigil, sementara teman saya masih belum menampakkan diri. Ketika saya hubungi lagi ternyata berada di kantin, dia bilang di tahan sama katingnya. Saya tidak tahu kenapa dia ditahan, saya kira dia lagi digodain saja. Namun, ketika bertemu, dia cerita sama saya, dia ditahan sama kating yang bujuk dia dan teman-temannya untuk bergabung dengan Ormek. Katanya dia pergi duluan, sementara teman-temannya masih terjebak sama bujukan—atau mungkin saya bisa sebut dengan paksaan—katingnya.
Saya bingung, kenapa dia sampai dapat paksaan seperti itu? Apa sebelumnya memang sudah kenal, atau bagaimana? Dia hanya menggeleng, katanya, “di Fakultas gue semua mahasiswa dipaksa join kayak gini, mereka sampai masuk ke kelas-kelas buat promosiin organisasinya, kalo gak mau join biasanya bakal ditanyain kenapa, diyakinin dan apapun lah caranya biar kita masuk ke organisasinya”. Aneh, pikir saya. Belum lagi tambahan informasi yang dikasih ke saya, apabila mahasiswa dari Fakultas itu justru bergabung ke Ormek lain—Ormek yang tidak dominan di sana—mahasiswa itu akan dipanggil dan dipertanyakan kenapa bisa nyangkut di sana. Sial, rezim.
Beralih ke kegiatan UKM saya, malam itu sekitar jam 7, saya masih kumpul sama teman-teman saya. Kebetulan di malam itu juga kami dapat informasi kalau ada Ormek yang mengadakan kegiatan di kampus kami. Memang di Kampus saya ada peraturan tertulis yang melarang Ormek berkegiatan di kampus, membawa identitas, menggunakan fasilitas, dan lain sebagainya. Maksud Ormek dalam konteks ini adalah organisasi-organisasi yang tidak mendapatkan surat keputusan oleh kampus.
Maka ketika mendengar itu, kami—saya, dan dua teman saya—segera menghampiri tempat di mana mereka berkegiatan. Ormek yang kali ini saya kunjungi ternyata organisasi yang bernuansa religius. Mereka melaksanakan aktivitas spiritual dan diakhiri dengan pidato singkat oleh seseorang yang terlihat sudah berumur untuk dikatakan mahasiswa, sedikit lebih muda untuk dikatakan bapak-bapak.
Kami tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang mereka laksanakan, hanya saja kami tetap di sana, menyaksikan dan mendengar. Malam itu, di sana, kami mendapat tatapan tidak bersahabat dari mereka, tak saya lupakan juga ada salah satu dari mereka yang merekam kami, entah untuk apa, mungkin untuk laporan karena ada mahasiswa yang bergabung dalam acara, tetapi bukan bagian dari ‘mereka’. Ada pidato yang sampai saat ini terus saya ingat dan membuat semakin yakin bahwa menurut saya, pemikiran mereka yang menjadi bagian dari organisasi ini adalah pemikiran-pemikiran melenceng.
Saat itu acara akan segera berakhir, orator dengan microphone-nya menyampaikan kalimat—kira-kira begini, “kalian jadi mahasiswa itu jangan belajar-belajar doang. Ketika masa Soekarno, ketika dia mahasiswa, dia berjuang untuk negerinya, untuk bangsanya”. Saya mengerutkan dahi, bingung, bukan saya menentang perjuangan, tetapi bukankah membandingkan antara mahasiswa sekarang dengan Soekarno tidak apple-to-apple? Kita sudah di beda zaman, kita sudah merdeka. Barangkali yang dimaksud berjuang dalam konteks saat ini adalah berjuang menghadapi pemerintah-pemerintah yang menyimpang dari tugasnya. Namun, ini tidak jadi alasan pembenaran penggunaan kata “jangan belajar-belajar doang”. Karena kampus memang tempat untuk belajar.
Tidak berhenti sampai di sana, kala itu ada Pemilihan Umum Raya (Pemira) di fakultas saya. Kandidat yang saat itu dirumorkan akan naik adalah salah satu mahasiswa yang menjadi bagian dari Ormek. Mendengar rumor itu rasanya hilang sudah minat saya untuk berpartisipasi dalam Pemira ini. Sampai tiba saat saya melihat foto profil teman-teman fakultas saya menggunakan ilustrasi kotak kosong, ternyata ada kampanye kotak kosong. Kata mereka, untuk menuju fakultas saya yang lebih baik. Kadang ada rasa bersyukur menjadi bagian dari fakultas ini karena meskipun tidak luput dari Ormek, mahasiswanya sudah mulai berani membuka mata.
Hingga tak terasa, saya kembali memasuki masa-masa PKKMB —- Konteksnya PKKMB Universitas — Sebenarnya saya bukan salah satu panitia, tetapi ada perasaan-perasaan ingin berpartisipasi pada arak-arakan penyambutan Mahasiswa Baru (Maba). Perkaranya di sini, mereka — Ormek — mengibarkan benderanya di dalam Kampus, di depan mahasiswa baru. Wah, kalang kabut pikiran saya ketika itu, buru-buru saya dokumentasikan karena untuk langsung menurunkan bendera saya kira menjadi tindakan yang tidak mempertimbangkan kawan, lawan dan medan, alias tindakan yang gila.
Namun, akhirnya datanglah mahasiswa yang berani untuk menarik dan menjatuhkan benderanya. Suasana jadi menegangkan, tak peduli berapa Maba yang menyaksikan tindakan gila itu. Mereka berdebat panjang dan sengit, keringat dingin mengalir di badan saya. Yang tidak saya mengerti adalah setelah penurunan bendera, ketika saya dan mahasiswa itu diamankan ke area yang tidak dapat dilihat Maba, bendera kembali dikibarkan, mereka marah layaknya bendera merah putih—bendera negeri ini—baru saja diinjak-injak.
Tidak ada tindakan lebih lanjut dari sivitas akademika, padahal mereka juga yang membuat peraturan rektor melarang kegiatan Ormek. Bukankah ini menimbulkan pertanyaan, setelah kejadian yang sama terjadi berulang dan tidak ada tindakan, apa tujuan mereka membuat peraturan itu? kampus seperti apa yang mereka inginkan? Kampus yang berpolitik? Kampus dengan mahasiswanya yang doktrin oleh pemikiran tidak bermutu? Apa sebenarnya yang mereka coba lakukan?
Lebih-lebih setelah ini terjadi, ketika PKKMB itu selesai—konteksnya adalah PKKMB fakultas—khususnya ketika pemulangan maba, bendera kembali dikibarkan. Perlu diingat perkara sebelumnya bahkan belum selesai, saya betulan heran apa yang ada di pikiran mereka. Jangankan diselesaikan, ketika saya dokumentasikan pengibaran itu lagi, justru olok-olokan yang terdengar. “Mbak, fotoin saya juga dong, kenapa benderanya saja yang di foto? Kebagusan ya benderanya?”
Kebingungan-kebingungan ini sebenarnya sudah pernah saya diskusikan ke teman-teman saya, walaupun saya dan teman saya tidak pernah benar-benar mendapat jawaban, tapi akhirnya sering menjadi bahan diskusi. Ketiadaan respon mereka—mahasiswa fakultas ‘itu’ yang kontra dengan ‘mereka’ kemungkinan antara takut dan ragu untuk bertindak karena mereka golongan minoritas, atau mungkin malas saja berhubungan sama mereka. Barangkali bersengketa sama mereka layaknya berbicara dengan tong kosong, kalau diketuk bunyinya nyaring, tapi jika dilihat isinya kosong, tidak ada apa-apa. Jadi buat apa?
Oh, kating saya, kating fakultas saya itu, juga pernah bilang ke saya, “gak usah masuk ke eksternal, aku bisa kok magang ke Kemendikbud tanpa ada orang dalam atau relasi aneh-aneh”. Oleh karena itu, saya jadi tahu ternyata marketing mereka agar maba tertarik bergabung itu dengan menjanjikan magang di tempat-tempat bergengsi, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Agama dan lain sebagainya lah. Ah, saya kira tergantung otak juga, sudah masuk Ormek kalau halnya otak tidak memadai rasanya percuma.
Lagi pula, semua hal butuh timbal balik. Biasanya bentuk timbal baliknya ketika ada Pemilihan Umum (Pemilu), mereka yang menjadi bagian akan diminta suaranya atau kalau di lingkup mahasiswa lebih sering ketika suatu organisasi membuat Pakaian Dinas Harian (PDH) atau Pakaian Dinas Lapangan (PDL), mereka harus memesannya ke senior-senior Ormek. Saya dengar-dengar saja sih, seperti yang harganya dibuat tinggi dari harga asli lalu uangnya masuk ke kantong-kantong pribadi, wah kotor lah pokoknya.
Saya kira masuk organisasi itu memang penting untuk maba, tetapi untuk apa bergabung ke organisasi-organisasi berbau politik praktis seperti Ormek? Mungkin sebagian orang akan berpikir perihal benefit-benefit seperti yang saya sebutkan sebelumnya, padahal saya kira benefit-nya tidak akan pernah sebanding dengan apa yang kita beri.
Bayangin kamu di kasih kesempatan magang di Mahkamah Konstitusi tapi bayarannya kamu harus kasih suara ke calon-calon pemimpin yang mungkin menurut kamu sebenarnya tidak kompeten atau bayangin kamu magang di Mahkamah Agung, tetapi bayarannya kamu harus ngeliat tindakan korupsi jelas di depan mata kamu dan kamu tidak bisa apa-apa, egois dan apatis di saat yang bersamaan. Bukannya jelas ini semua tidak sebanding?
Penulis: Minggu
Desainer: JN
Hari itu, sebelum saya mulai Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) kebetulan saya sudah kenal dengan salah satu Kakak Tingkat (Kating) dari Fakultas saya. Dia kasih saya sedikit demi sedikit informasi tentang dunia kampus, salah satunya yang dia sebut dengan eksternal. Kami berkomunikasi melalui X, saat itu dia bilang ke saya, “jangan masuk ke eksternal” pasalnya kebetulan dia melihat media sosial saya mengikuti salah seorang yang menurut dia anggota Ormek.
Di percakapan itu juga, dia banyak sebut istilah-istilah yang saya tidak mengerti, karena sekarang saya sudah tahu, ternyata dia sebut macam-macam nama Ormek. Saya sempat tanya, kenapa saya tidak boleh masuk eksternal? Kata dia, “ketua dari salah satu Ormek itu pelaku pelecehan”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut walaupun saya sudah mempertanyakan banyak hal ke dia. Di akhir percakapan kami, jawaban yang saya dapatkan hanya, saya dengan dia perlu banyak bicara.
Dengan seribu pertanyaan yang masih betah di kepala, saya masuk Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang Kakak Tingkat (Kating) saya bilang anti eksternal, karena dia bilang demikian tidak ada perasaan ragu untuk bergabung, saya kira itu betulan aman untuk saya. Barangkali dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung dapat jawaban bersamaan dengan jiwa-jiwa penasaran saya, ketika pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) UKM ini, saya tanya ke mereka, kenapa UKM ini anti eksternal?
Ketika itu saya tidak dapat jawaban yang mendetail, saya kira mungkin karena saya baru di tahap awal. Katanya, mereka tidak bisa menerima anggota yang menjadi bagian dari eksternal, tetapi mereka juga bilang kalau mereka tidak melarang saya sama sekali untuk gabung di eksternal, hanya saja saya tidak akan diterima di UKM ini. Rasanya pertanyaan yang tak kunjung beranjak ini semakin menjamur.
Hingga tiba saat dimana terbit penugasan yang mengharuskan saya melibatkan mahasiswa dari fakultas lain. Saya bingung, saya belum punya banyak teman dari fakultas lain, pilihan saya hanya teman yang kebetulan satu SMA dan bertemu lagi di kampus ini. Saya sudah jadwalkan untuk bertemu sekitar jam 3 sore, pasalnya hari itu dia bilang kelasnya baru selesai sekitar jam segitu, ya sudah saya tunggu.
Setengah jam berlalu, Air Conditioner (AC) perpustakaan membuat saya menggigil, sementara teman saya masih belum menampakkan diri. Ketika saya hubungi lagi ternyata berada di kantin, dia bilang di tahan sama katingnya. Saya tidak tahu kenapa dia ditahan, saya kira dia lagi digodain saja. Namun, ketika bertemu, dia cerita sama saya, dia ditahan sama kating yang bujuk dia dan teman-temannya untuk bergabung dengan Ormek. Katanya dia pergi duluan, sementara teman-temannya masih terjebak sama bujukan—atau mungkin saya bisa sebut dengan paksaan—katingnya.
Saya bingung, kenapa dia sampai dapat paksaan seperti itu? Apa sebelumnya memang sudah kenal, atau bagaimana? Dia hanya menggeleng, katanya, “di Fakultas gue semua mahasiswa dipaksa join kayak gini, mereka sampai masuk ke kelas-kelas buat promosiin organisasinya, kalo gak mau join biasanya bakal ditanyain kenapa, diyakinin dan apapun lah caranya biar kita masuk ke organisasinya”. Aneh, pikir saya. Belum lagi tambahan informasi yang dikasih ke saya, apabila mahasiswa dari Fakultas itu justru bergabung ke Ormek lain—Ormek yang tidak dominan di sana—mahasiswa itu akan dipanggil dan dipertanyakan kenapa bisa nyangkut di sana. Sial, rezim.
Beralih ke kegiatan UKM saya, malam itu sekitar jam 7, saya masih kumpul sama teman-teman saya. Kebetulan di malam itu juga kami dapat informasi kalau ada Ormek yang mengadakan kegiatan di kampus kami. Memang di Kampus saya ada peraturan tertulis yang melarang Ormek berkegiatan di kampus, membawa identitas, menggunakan fasilitas, dan lain sebagainya. Maksud Ormek dalam konteks ini adalah organisasi-organisasi yang tidak mendapatkan surat keputusan oleh kampus.
Maka ketika mendengar itu, kami—saya, dan dua teman saya—segera menghampiri tempat di mana mereka berkegiatan. Ormek yang kali ini saya kunjungi ternyata organisasi yang bernuansa religius. Mereka melaksanakan aktivitas spiritual dan diakhiri dengan pidato singkat oleh seseorang yang terlihat sudah berumur untuk dikatakan mahasiswa, sedikit lebih muda untuk dikatakan bapak-bapak.
Kami tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan yang mereka laksanakan, hanya saja kami tetap di sana, menyaksikan dan mendengar. Malam itu, di sana, kami mendapat tatapan tidak bersahabat dari mereka, tak saya lupakan juga ada salah satu dari mereka yang merekam kami, entah untuk apa, mungkin untuk laporan karena ada mahasiswa yang bergabung dalam acara, tetapi bukan bagian dari ‘mereka’. Ada pidato yang sampai saat ini terus saya ingat dan membuat semakin yakin bahwa menurut saya, pemikiran mereka yang menjadi bagian dari organisasi ini adalah pemikiran-pemikiran melenceng.
Saat itu acara akan segera berakhir, orator dengan microphone-nya menyampaikan kalimat—kira-kira begini, “kalian jadi mahasiswa itu jangan belajar-belajar doang. Ketika masa Soekarno, ketika dia mahasiswa, dia berjuang untuk negerinya, untuk bangsanya”. Saya mengerutkan dahi, bingung, bukan saya menentang perjuangan, tetapi bukankah membandingkan antara mahasiswa sekarang dengan Soekarno tidak apple-to-apple? Kita sudah di beda zaman, kita sudah merdeka. Barangkali yang dimaksud berjuang dalam konteks saat ini adalah berjuang menghadapi pemerintah-pemerintah yang menyimpang dari tugasnya. Namun, ini tidak jadi alasan pembenaran penggunaan kata “jangan belajar-belajar doang”. Karena kampus memang tempat untuk belajar.
Tidak berhenti sampai di sana, kala itu ada Pemilihan Umum Raya (Pemira) di fakultas saya. Kandidat yang saat itu dirumorkan akan naik adalah salah satu mahasiswa yang menjadi bagian dari Ormek. Mendengar rumor itu rasanya hilang sudah minat saya untuk berpartisipasi dalam Pemira ini. Sampai tiba saat saya melihat foto profil teman-teman fakultas saya menggunakan ilustrasi kotak kosong, ternyata ada kampanye kotak kosong. Kata mereka, untuk menuju fakultas saya yang lebih baik. Kadang ada rasa bersyukur menjadi bagian dari fakultas ini karena meskipun tidak luput dari Ormek, mahasiswanya sudah mulai berani membuka mata.
Hingga tak terasa, saya kembali memasuki masa-masa PKKMB —- Konteksnya PKKMB Universitas — Sebenarnya saya bukan salah satu panitia, tetapi ada perasaan-perasaan ingin berpartisipasi pada arak-arakan penyambutan Mahasiswa Baru (Maba). Perkaranya di sini, mereka — Ormek — mengibarkan benderanya di dalam Kampus, di depan mahasiswa baru. Wah, kalang kabut pikiran saya ketika itu, buru-buru saya dokumentasikan karena untuk langsung menurunkan bendera saya kira menjadi tindakan yang tidak mempertimbangkan kawan, lawan dan medan, alias tindakan yang gila.
Namun, akhirnya datanglah mahasiswa yang berani untuk menarik dan menjatuhkan benderanya. Suasana jadi menegangkan, tak peduli berapa Maba yang menyaksikan tindakan gila itu. Mereka berdebat panjang dan sengit, keringat dingin mengalir di badan saya. Yang tidak saya mengerti adalah setelah penurunan bendera, ketika saya dan mahasiswa itu diamankan ke area yang tidak dapat dilihat Maba, bendera kembali dikibarkan, mereka marah layaknya bendera merah putih—bendera negeri ini—baru saja diinjak-injak.
Tidak ada tindakan lebih lanjut dari sivitas akademika, padahal mereka juga yang membuat peraturan rektor melarang kegiatan Ormek. Bukankah ini menimbulkan pertanyaan, setelah kejadian yang sama terjadi berulang dan tidak ada tindakan, apa tujuan mereka membuat peraturan itu? kampus seperti apa yang mereka inginkan? Kampus yang berpolitik? Kampus dengan mahasiswanya yang doktrin oleh pemikiran tidak bermutu? Apa sebenarnya yang mereka coba lakukan?
Lebih-lebih setelah ini terjadi, ketika PKKMB itu selesai—konteksnya adalah PKKMB fakultas—khususnya ketika pemulangan maba, bendera kembali dikibarkan. Perlu diingat perkara sebelumnya bahkan belum selesai, saya betulan heran apa yang ada di pikiran mereka. Jangankan diselesaikan, ketika saya dokumentasikan pengibaran itu lagi, justru olok-olokan yang terdengar. “Mbak, fotoin saya juga dong, kenapa benderanya saja yang di foto? Kebagusan ya benderanya?”
Kebingungan-kebingungan ini sebenarnya sudah pernah saya diskusikan ke teman-teman saya, walaupun saya dan teman saya tidak pernah benar-benar mendapat jawaban, tapi akhirnya sering menjadi bahan diskusi. Ketiadaan respon mereka—mahasiswa fakultas ‘itu’ yang kontra dengan ‘mereka’ kemungkinan antara takut dan ragu untuk bertindak karena mereka golongan minoritas, atau mungkin malas saja berhubungan sama mereka. Barangkali bersengketa sama mereka layaknya berbicara dengan tong kosong, kalau diketuk bunyinya nyaring, tapi jika dilihat isinya kosong, tidak ada apa-apa. Jadi buat apa?
Oh, kating saya, kating fakultas saya itu, juga pernah bilang ke saya, “gak usah masuk ke eksternal, aku bisa kok magang ke Kemendikbud tanpa ada orang dalam atau relasi aneh-aneh”. Oleh karena itu, saya jadi tahu ternyata marketing mereka agar maba tertarik bergabung itu dengan menjanjikan magang di tempat-tempat bergengsi, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Agama dan lain sebagainya lah. Ah, saya kira tergantung otak juga, sudah masuk Ormek kalau halnya otak tidak memadai rasanya percuma.
Lagi pula, semua hal butuh timbal balik. Biasanya bentuk timbal baliknya ketika ada Pemilihan Umum (Pemilu), mereka yang menjadi bagian akan diminta suaranya atau kalau di lingkup mahasiswa lebih sering ketika suatu organisasi membuat Pakaian Dinas Harian (PDH) atau Pakaian Dinas Lapangan (PDL), mereka harus memesannya ke senior-senior Ormek. Saya dengar-dengar saja sih, seperti yang harganya dibuat tinggi dari harga asli lalu uangnya masuk ke kantong-kantong pribadi, wah kotor lah pokoknya.
Saya kira masuk organisasi itu memang penting untuk maba, tetapi untuk apa bergabung ke organisasi-organisasi berbau politik praktis seperti Ormek? Mungkin sebagian orang akan berpikir perihal benefit-benefit seperti yang saya sebutkan sebelumnya, padahal saya kira benefit-nya tidak akan pernah sebanding dengan apa yang kita beri.
Bayangin kamu di kasih kesempatan magang di Mahkamah Konstitusi tapi bayarannya kamu harus kasih suara ke calon-calon pemimpin yang mungkin menurut kamu sebenarnya tidak kompeten atau bayangin kamu magang di Mahkamah Agung, tetapi bayarannya kamu harus ngeliat tindakan korupsi jelas di depan mata kamu dan kamu tidak bisa apa-apa, egois dan apatis di saat yang bersamaan. Bukannya jelas ini semua tidak sebanding?
Penulis: Minggu
Desainer: JN