Gogon alias Gosip Underground: Dalam Dunia yang Penuh Alat Represif, Biarkan Gogon Tumbuh Seliar Mungkin

Redaksi
Artikel
29 Dec 2023
Thumbnail Artikel Gogon alias Gosip Underground: Dalam Dunia yang Penuh Alat Represif, Biarkan Gogon Tumbuh Seliar Mungkin
“suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila kau memaksa diam/aku siapkan untukmu pemberontakan!”  - sajak suara (Wiji Thukul)

Sebagai seseorang yang percaya bahwa gogon atau gosip underground berguna bagi perkembangan sebuah tatanan organisasi, baik masyarakat, UKM, maupun kampus, saya tak pernah mendiskreditkan atau bahkan menghalang-halangi gogon-gogon untuk tumbuh, dalam bentuk seliar mungkin barangkali. Karena dari gogon inilah sebenarnya kita bisa tahu apa yang sedang terjadi di lapangan (dibaca: kenyataan) dengan atau tanpa kita berada di lapangan tersebut, apa kekurangan dan kelebihan sebuah organisasi, keburukan-keburukan rezim, berbagai konspirasi CIA, atau bahkan sampai ke ranah personal seseorang yang kadang sebenarnya tidak perlu kita tahu juga, misalnya bahwa salah seorang Ketua Umum UKM  baru putus dari kekasihnya dan sekarang sedang galau lalu melamun dari hari ke hari di sekre sampai ke informasi tentang berbagai gaya sex yang disukai Presma. 

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Meinarno, Bagaskara, dan Rosalina (2011), menurut Foster ada empat fungsi utama gosip, salah duanya adalah sebagai sebuah mekanisme pertukaran informasi dan sebagai alat untuk mempengaruhi. Dalam fungsi yang pertama, gosip disebut seringkali dianggap sebagai sebuah alat yang efisien dan eksklusif dalam mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Dalam hal tersebutlah, gosip berguna sebagai salah satu bentuk awal ‘observasi’ atau semacam pengambilan sampel. Sebagai penyampai informasi yang berada di lapangan, terlepas informasi yang didapatkan benar atau tidak. Hal selanjutnya, tentu adalah crosscheck

Selain fungsi mengumpulkan, fungsi menyebarkan ini juga bisa digunakan sebagai senjata ampuh untuk menyebarkan ‘kesadaran’ individu sehingga munculnya kesadaran kolektif. Informasi yang sudah dikumpulkan tersebut, yang mungkin hanya diketahui oleh beberapa orang saja, bisa mudah tersebar dan diketahui oleh (hampir) semua orang dengan gosip. Adriano Qalbi, seorang stand up comedian, dalam sebuah joke-nya berkata justru gara-gara gosiplah akhirnya Indonesia bisa merdeka. Adri bilang pasti ada salah satu orang yang pertama sadar bahwa Belanda itu brengsek dan pada akhirnya orang itu menyebarkan kesadarannya hingga muncullah kesadaran kolektif untuk menjatuhkan Belanda.

Sebegitu pentingnya gosip, apalagi yang underground! Namun, gogon memerlukan tempat, baik daring maupun luring. Di media sosial, gogon cepat menyebar, misalnya berbagai berita kericuhan PKKMB Unsika 2023 (Universitas dan Fakultas) dalam hitungan jam saja berita tersebut sudah menyebar ke seluruh Karawang, bahkan teman saya yang berada di Cirebon menanyakan hal tersebut kepada saya setelah beberapa jam kejadian itu terjadi. Tentu, sebagai seseorang yang menjadikan kampus sebagai kosan, saya tahu jelas apa yang terjadi. Walaupun saat kejadian tersebut berlangsung, saya dan kawan-kawan masih tertidur nyenyak.

Kenapa saya bisa tahu dengan jelas walaupun saya masih tidur nyenyak? Jelas karena gogon. Dua hari sebelumnya, berita akan diricuhkannya acara tersebut sudah terdengar di telinga saya dan sudah menjadi bahasan di tongkrongan. Bukan lewat media sosial, namun lewat mulut ke mulut. Melalui mulut ke mulut inilah biasanya berita mudah tersebar, lewat mulut ke mulut inilah kita bisa membuat kesadaran kolektif. Tapi hal ini berbeda dengan apa yang dialami teman saya, dia tidak tahu apa-apa tentang kericuhan tersebut, padahal dia sudah bangun dan sudah berada di kampus sejak pagi hari. Ya, ketiadaan akses dan tempat penyebaran informasi  yang tidak ada. 

Gogon memerlukan tempat untuk menyebar, namun sayang di kampus kita tidak tersedia lahan untuk penyebaran ini. Bahkan untuk kelas saja kurang. Jika kita lihat secara seksama denah kampus 1 Unsika, ada berapa gedung yang sudah dibangun? Dan berapa yang dipakai secara efektif?

Satu waktu, saya menceritakan keresahan ini ke salah satu kawan dan dengan enteng dia merespon, “Kenapa ngga kita hancurin saja itu gedung G5 dan Gedung Fasilkom yang dikorupsi itu? Daripada terbengkalai, ngehalangin pemandangan. Lumayan buat tempat nongkrong.”

Di Unsika, jika kita lihat, berapa mahasiswa yang berdiskusi, berkumpul, dan nongkrong saat selesai atau tidak ada kelas? Kebanyakan mahasiswa berkumpul karena ada kelas atau kerja kelompok. Sehabis itu? Kebanyakan mahasiswa langsung pulang dan menuju kos. Untuk kelas saja, kadang mahasiswa harus mencari kelas yang kosong dan mengantre lama karena kelasnya penuh. Kerja kelompok pun begitu, tempatnya kalau tidak di kosan ya mencari kelas kosong kayak tadi, syukur kalau ada.

Ketiadaan tempat untuk bergosip, diskusi, atau bahkan sekadar berkumpul harusnya cukup meresahkan bagi pihak kampus karena dari tempat-tempat itu lah kadang pemikiran dan perubahan terjadi. Dari sana lah bisa jadi kritik-kritik terhadap kampus muncul dan tentu, jika dimanfaatkan, bisa menjadi evaluasi bagi pihak kampus. Inilah tempat di mana kampus bisa mendengarkan mahasiswanya, nongkrong dan sebat bareng. Dalam dunia yang penuh alat represif untuk bersuara dan menyampaikan pendapat, kebenaran-kebenaran kadang hanya bisa digogon-kan.

Awal semester ganjil 2023, kampus membangun kembali kantin yang sekarang sedang gencar dipromosikan, baik dengan pemasangan papan pemberitahuan menuju ke sana atau dengan memperbaiki jalannya yang menurut gogon jalan tersebut bahkan bukan milik Unsika. Ini langkah yang bagus, tapi apakah maksud kampus membangun kantin belakang adalah untuk mengakomodir tempat berkumpul mahasiswa? Atau hanya untuk bisnis semata? Buat apa gedung Puska?

Seharusnya saya tak perlu repot-repot menjelaskan pentingnya dari berkumpul yang akhirnya bisa menyebarkan gogon tersebut. Berapa peristiwa dan berapa pembaharuan yang terjadi setelah adanya perkumpulan, diskusi, dan gosip? Bangun dan buatlah tempat untuk berkumpul, jangan takut pada suara mahasiswa.

Penulis: Winarta

LPM Channel

Podcast NOL SKS