Gift, Joget, dan Live Tiktok: Apakah Penyebab Munculnya Mental Pengemis?
Redaksi
Opini
19 Mar 2025

“Beras Habis, Live Solusinya.”
Akhir-akhir ini, Live joget TikTok adalah fenomena baru di dunia digital yang bisa dibilang cukup unik. Bayangkan, seseorang hanya perlu berjoget di depan kamera, lalu tiba-tiba mereka bisa mendapatkan uang dari gift penonton. Banyak orang melihat ini sebagai revolusi teknologi untuk mengubah hidup, terutama bagi mereka yang belum mencapai sejahtera. Namun, di sisi lain fenomena ini juga menuai kebencian besar dari netizen. Banyak orang merasa tidak terima melihat seseorang yang “hanya” berjoget bisa mendapatkan uang dengan mudah. Komentar, seperti “kerja dong!”, “dasar pengemis online”, “cari kerja yang bener”, atau “pemalas” sering muncul di kolom komentar Live tersebut. Orang-orang melihat ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Kok bisa cuma joget-joget dapat duit? Lebih ironis lagi, justru kebencian dan hujatan inilah yang membuat Live TikTok semakin besar. Semakin banyak orang yang kesal dan meninggalkan komentar negatif, membuat algoritma TikTok menyebarkan informasi Live tersebut ke lebih banyak orang. Akhirnya, jumlah penonton naik, engagement bertambah, dan peluang saweran juga makin besar. Inilah paradoks kebencian di era digital kritik yang bertujuan menghentikan justru menjadi bahan bakar kesuksesan.
Sadar atau tidak, pola ini sudah sering terjadi di berbagai platform media sosial. Dulu, orang-orang membenci TikTok hanya karena dianggap sebagai aplikasi joget-joget tidak jelas. Misalnya, fenomena “Bowo TikTok” yang sempat jadi bahan olok-olokan karena dia bisa terkenal hanya dari TikTok. Namun, sekarang TikTok justru berkembang pesat, baik sebagai media hiburan maupun konten kreatif lainnya. Hal yang sama terjadi dengan platform-platform sebelumnya. Instagram pernah dikritik sebagai “cuma tempat pamer”. YouTube, dicap sebagai “buang-buang waktu”, tetapi semua platform tersebut justru berkembang dan menciptakan ekosistem ekonomi sendiri. Begitu juga dengan Live TikTok. Mau sebanyak apa pun orang mengkritik, kalau mereka tetap menonton dan berkomentar maka kontennya akan tetap naik, bahkan melebihi ekspektasi mereka. Hal yang sering luput dari perhatian adalah bagaimana algoritma media sosial bekerja. Platform, seperti TikTok tidak memandang apakah interaksi terjadi secara positif atau negatif, yang penting adalah adanya interaksi. Komentar penuh kebencian atau kritik pedas justru dianggap sebagai bentuk engagement yang baik bagi algoritma. Semakin kontroversial suatu konten maka semakin banyak pula interaksi yang dihasilkan (viral). Kalau memang tidak suka dengan fenomena ini, menurut penulis solusi terbaiknya sederhana, yaitu jangan ditonton maupun dikomentari. Semakin banyak interaksi, semakin besar peluang Live itu terus muncul di For Your Page (FYP). Prinsip “Not My Business” berlaku juga untuk konten yang tidak kita sukai. Dalam era digital, mengabaikan adalah bentuk protes yang paling efektif.
Di sisi lain, perlu juga kita renungkan mengapa kita begitu resah melihat orang lain mencari nafkah dengan cara yang berbeda. Namun, kalau ada orang yang memilih menjadikan Live TikTok sebagai sumber penghasilan, ya mau bagaimana lagi itu rezeki mereka. Selama tidak melanggar hukum atau merugikan orang lain, harusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Fenomena Live TikTok juga mencerminkan transformasi besar dalam konsep pekerjaan di era digital. Definisi “kerja” yang dulu terbatas pada aktivitas fisik atau intelektual di tempat tertentu, kini telah berevolusi. Kreativitas, kemampuan menghibur, bahkan kesediaan untuk membagikan momen-momen pribadi telah menjadi keterampilan yang bisa dimonetisasi. Mungkin kita perlu memperluas pemahaman tentang apa yang disebut sebagai “kerja yang bener”. Dalam ekonomi digital, nilai tidak lagi semata ditentukan pada jam kerja atau tingkat kesulitan, tetapi juga oleh dampak dan jangkauan. Seseorang yang berjoget di Live TikTok mungkin menghibur ribuan orang.
Pada akhirnya, media sosial akan terus berkembang, dan fenomena, seperti ini akan selalu ada. Mau suka atau tidak, kita hanya bisa memilih untuk ikut berpartisipasi atau membiarkannya berlalu begitu saja. Daripada membenci, mungkin lebih baik memahami bagaimana dunia digital bekerja dan meresponsnya dengan bijak. Kita bisa membuat pilihan cerdas tentang konten mana yang layak mendapat perhatian kita, dan mana seharusnya diabaikan. Hal tersebut, karena dalam preferensi konten, setiap klik, komentar, dan tontonan adalah titik yang menentukan konten akan terus berkembang di masa depan.
Penulis: Saber Roam
Desainer: ZFS