Bukit Karst Karawang Mau Ditambang? Ini Dampak Nyatanya Buat Hidup Kita
Redaksi
Opini
27 May 2025

Di Karawang Selatan, tepatnya di Desa Tamanmekar, karst yang membentang luas selama jutaan tahun kini berada di ujung tanduk. Kawasan yang mestinya dilindungi justru terancam oleh aktivitas tambang yang semakin mendesak masuk, menggerogoti batuan kapur yang selama ini menjadi penopang kehidupan ekologis dan sosial masyarakat sekitar. Karst bukan sekadar tumpukan batu. Ia adalah sistem yang hidup mengatur aliran air, menyimpan cadangan dalam pori-porinya, dan mengalirkan kehidupan ke mata air yang menopang pertanian warga. Namun kini, semuanya terancam hilang oleh kepentingan industri. Jujur, saya tidak pernah nyangka bisa sesedih ini cuma gara-gara bukit kapur. Tapi itulah yg saya rasain waktu baca berita soal tambang karst di Desa Tamanmekar, Karawang Selatan. Sebagai warga Karawang yang sejak kecil melihat perbukitan kapur sebagai bagian dari lanskap alam yang tenang dan indah, sekarang mau dikeruk. Bukan buat masyarakat, tapi buat industri. Rasanya kayak lihat bagian dari rumah sendiri dicabut pelan-pelan, atas nama “pembangunan”.
Sebagai konteks pada awal tahun 2024, masyarakat dikejutkan oleh terbitnya izin lingkungan untuk Perseroan Terbatas (PT) Mas Putih Beliung, perusahaan yang berencana melakukan penambangan di kawasan tersebut. Izin ini keluar meski bertentangan dengan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Karawang yang masih berlaku dan jelas menyatakan kawasan ini sebagai kawasan lindung geologi karst. Lucu ya, izinnya resmi, tapi jelas nabrak aturan RTRW Karawang yang bilang kawasan itu harusnya dilindungi sebagai kawasan geologi karst. Kebayang tidak, seolah-olah ada undang-undang, tapi bisa dilanggar asal kamu punya cukup kekuatan (baca: duit dan koneksi). Ini bukan sekadar soal tambang, ini soal siapa yang punya kuasa, dan siapa yang dirugikan.
Bagi sebagian orang, karst mungkin hanya batuan tandus yang tidak berguna. Tapi bagi saya dan banyak warga sekitar, karst adalah sumber kehidupan. Di balik tampilan kerasnya, batuan itu menyimpan air dalam pori-porinya, mengalirkannya pelan-pelan ke mata air yang selama ini digunakan untuk bertani dan hidup sehari-hari. Dampaknya? Tidak main-main. Sumur bisa kering. Mata air bisa mati. Banjir jadi lebih sering, dan musim kemarau bakal lebih kejam. Belum lagi risiko polusi udara, gangguan pernapasan, sampai hilangnya flora fauna lokal. Semua cuma karena kita pikir “ya elah, cuma batu”. Tapi enggak. Ini bukan cuma batu. Ini tentang sistem kehidupan yang pelan-pelan disingkirin. Karst adalah sistem alam yang diam, tapi bekerja tanpa pamrih untuk kita.
Dampaknya tidak main-main. Jika eksploitasi karst tetap dilanjutkan, maka masyarakat sekitar berpotensi kehilangan sumber air bersih mereka. Struktur batuan karst yang rusak tidak bisa lagi menahan dan menyalurkan air, mengakibatkan sumur-sumur warga kering dan mata air mati. Ancaman ini bukan hanya soal kekurangan air, tapi juga risiko banjir saat musim hujan dan intrusi air laut ke dalam tanah saat musim kemarau panjang. Ekosistem yang selama ini hidup berdampingan dengan karst pun akan runtuh. Tumbuhan dan hewan yang hanya bisa hidup di lingkungan ini akan kehilangan habitatnya. Polusi udara akibat aktivitas tambang juga berisiko memicu gangguan pernapasan dan penyakit lain bagi warga.
Karawang bukan yang pertama. Rembang, Tuban, Yogya juga udah lebih dulu merasakan pahitnya konflik tambang vs. warga. Dan satu hal yang pasti: ketika karst hancur, yang hilang bukan cuma pemandangan, tapi sumber hidup kita yang tinggal di luar Tamanmekar pun tetap punya tanggung jawab. Setidaknya, suarakan. Bikin rame. Diskusiin. Tunjukin solidaritas. Karena bumi ini rumah kita bareng-bareng, bukan milik segelintir orang yang bisa beli segalanya. Menjaga karst bukan hanya soal menyelamatkan batu, tetapi soal menyelamatkan kehidupan itu sendiri. Karst membutuhkan waktu jutaan tahun untuk terbentuk, namun bisa hancur dalam hitungan tahun. Jika kita tidak segera bertindak, bukan tidak mungkin yang tersisa kelak hanya cerita tentang air yang tak lagi mengalir, tentang tanah yang tak lagi subur, dan tentang suara suara yang pernah berjuang namun tidak cukup didengar.
Generasi muda, khususnya kita nih sebagai mahasiswa, memiliki peran penting dalam merespons situasi ini. Suara dari kampus-kampus, ruang diskusi, media sosial, dan tulisan-tulisan opini seperti ini bisa menjadi alat untuk memperluas kesadaran publik. Melalui pemahaman yang lebih dalam, gerakan yang lebih terorganisir, dan keberanian untuk menyuarakan yang benar, perubahan tetap mungkin dilakukan.
Saya menulis ini bukan karena sok tahu, tapi karena gamau pura-pura gak peduli. Saya ingin Karawang tetap punya bentang alam yang hidup, bukan hanya bekas lubang tambang. Maka dari itu kita semua berhenti melihat alam hanya sebagai objek eksploitasi. Karena ketika karst rusak, bukan cuma batu yang hilang air, udara, dan harapan kita pun ikut terkikis.
Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?
Penulis: Saber Roam
Desainer: Deviana Cahya Lestari