Pada akhir November 2025 Indonesia kembali berduka dengan bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di pulau Sumatera khususnya Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Jika kita melihat berita yang dilansir oleh Tempo (30/11/2025), bencana ini tidak hanya disebabkan oleh siklus cuaca saja, tetapi juga ketidakoptimalan hutan dalam menyerap air. Hal serupa juga diungkapkan oleh peneliti dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Hatma Suryatmojo, ia menyatakan bahwa pulau Sumatera secara geografis memang selalu memiliki curah hujan yang tinggi, maka  daerah ini seharusnya memiliki resapan air dengan optimal, tetapi hal ini tidak terjadi karena tingginya deforestasi (penggundulan hutan) dan alih fungsi lahan. Jika kita melihat berita yang dilansir oleh dataloka (30/11/2025), pada tahun 2024 luas deforestasi di Sumatera sudah terjadi sebanyak 78.030 Ha.

 

Namun, anehnya hal ini justru didukung oleh presiden Prabowo Subianto. Pada acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dilaksanakan pada hari Senin, 30 Desember 2024. Presiden Prabowo Subianto menyatakan “Saya kira ke depan kita harus tambah tanam sawit. Nggak usah takut membahayakan, deforestasi,” kemudian ia juga mengatakan jika kelapa sawit sama-sama memiliki daun. Oleh karena itu, ia meminta gubernur dan bupati setempat untuk menjaga perkebunan kelapa sawit, padahal jika kita meneliti lebih jauh kebun kelapa sawit tidaklah sama dengan hutan biasa. Pertama, pembakaran hutan untuk dialihkan menjadi kebun kelapa sawit saja sudah menghasilkan Karbon Dioksida (CO2) yang cukup tinggi meskipun kelapa sawit memang menyerap CO2, tetapi lahannya tidak pernah berhenti menghasilkan CO2. Kedua, dibandingkan dengan hutan biasa yang memiliki penutup atau kanopi yang lebar, kelapa sawit justru memiliki kanopi yang renggang akibatnya meningkatkan resiko erosi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan kondisi tanah yang lebih padat sehingga menyulitkan air untuk terserap kedalam tanah, dan masih banyak lagi dampak negatif dari perekonomian di sektor ini.

 

Meskipun kebun kelapa sawit memiliki dampak positif dalam ekonomi cukup besar, tetapi hal ini juga dibarengi oleh dampak ekologis yang sama besarnya. Jadi, jangan bicara meningkatkan ekonomi jika bisnis yang sangat amat dilindungi pemerintah justru membahayakan bisnis lain. Bisnis di Sumatera  tidak hanya perkebunan kelapa sawit dan tambang saja, terdapat pabrik, pertanian, perkebunan, peternakan, umkm, dan lain-lain. Jika akses distribusinya terputus karena bencana ekologis yang disebabkan oleh kebijakan sektor ekonomi serampangan, maka bagaimana roda perekonomian bisa berjalan? Belum lagi biaya reparasi dan kerugiannya yang pasti menyentuh angka lebih dari 1 triliun Rupiah. Kita baru bahas dari segi ekonomi. Belum lagi membahas dari segi psikologi, yang sama-sama kita tahu provinsi Aceh masih menyimpan trauma pasca tsunami tahun 2004. 

 

Lebih aneh lagi, meskipun pada saat opini ini ditulis jumlah korban bencana ini telah mencapai 744 jiwa dengan korban hilang telah mencapai 511 jiwa, pemerintah justru belum menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (TNI), Suharyanto, menyatakan jika bencana ini hanya setingkat daerah. Tidak hanya itu, Suharyanto juga mengungkapkan jika bencana ini hanya mencekam di media sosial saja. Hal ini tentu sangat tidak masuk akal karena status bencana seharusnya tidak hanya bergantung pada jumlah korban, tetapi juga akses distribusi serta komunikasi. Semakin tertutup akses yang bisa dilewati maka semakin sulit juga untuk bantuan kemanusiaan sampai kepada korban, dan bencana ekologis di Sumatera telah memenuhi kriteria tersebut; korban jiwa, akses distribusi tertutup, dan akses komunikasi terbatas. Beberapa kabupaten sudah sangat kesulitan dalam menangani bencana ini; terutama provinsi Aceh, tetapj mengapa presiden Prabowo belum menyatakan bencana ini sebagai bencana nasional?

 

Menurut Wisner et al., (2004), bencana tidak hanya disebabkan oleh alam, tetapi juga hasil kumulatif dari kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Dengan demikian, pemerintah seharusnya lebih hati-hati dalam menentukan suatu kebijakan, jangan sampai bencana ekologis ini terulang kembali. Maka pernyataan presiden Prabowo Subianto  pada acara peringatan hari guru nasional tanggal 28 November 2025 tentang pentingnya menjaga alam, seharusnya tidak hanya dijadikan peredam kemarahan rakyat saja, tetapi juga harus direalisasikan secara tertulis melalui Undang-Undang sehingga kata-kata seperti “jangan takut melakukan deforestasi” yang terucap oleh presiden Prabowo pada tanggal 30 Desember 2024 tidak terulangi kembali. Selain itu, alih-alih mendukung, pemerintah harus segera berhenti membentuk strategi pembangunan ekonomi yang justru mengorbankan ekosistem. Kemudian, pemerintah harus segera melakukan audit ekologis pada daerah yang terdampak, kemudian menjadikan hasil audit ini sebagai rujukan utama dalam strategi pembangunan ekonomi.

 

Kemudian, karena situasi yang terjadi disana tidak lagi kondusif, banyak masyarakat membenarkan segala cara untuk bertahan hidup maka sebagai langkah jangka pendek presiden Prabowo harus segera menetapkan bencana ini sebagai status bencana nasional. Hal ini sangat dibutuhkan karena peningkatan status pada bencana ini dapat mengakibatkan menambah jumlah bantuan yang dapat diterima, baik pada masyarakat maupun pemerintah daerah, sekaligus presiden juga dapat meredam situasi mencekam di sana. Terakhir, pemerintah harus segera fokus pada program Rehabilitas Hutan dan Lahan (RHL) yang berdasarkan pada prinsip hidrologi. Hal ini dapat meredam dampak yang diterima jika dalam waktu dekat terjadi curah hujan dengan cukup tinggi. 

 

Tak hanya pemerintah, bencana ekologis yang terjadi di Sumatera seharusnya dapat menyadarkan kita tentang pentingnya menjaga ekosistem. Kita tidak boleh pasif kemudian menyalahkan alam atas bencana yang terjadi. Bagi kita yang berada di luar area bencana sangat bagus jika kita membantu korban dengan donasi atau setidaknya mendoakan mereka. Namun, akan lebih bagus lagi jika kita dapat berperan sebagai pengawas aktif dari setiap kebijakan pemerintah, terutama kebijakan yang harus mengobarkan ekosistem. Bencana ekologis ini menjadi sebuah cermin bahwa kedaulatan lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan rakyat.

 

Referensi:

Tempo.co. ( 30 November 2025). Fakta-fakta Banjir dan Longsor Sumatera, Dari Dampak Hingga Penyebab. https://www.tempo.co/politik/fakta-fakta-banjir-dan-longsor-sumatera-dari-dampak-hingga-penyebab-2094379

 

CNN Indonesia. (1 Desember 2025). Peneliti UGM Beber Dosa Ekologis Picu Banjir Besar Sumatera. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20251201123613-20-1301375/peneliti-ugm-beber-dosa-ekologis-deforestasi-picu-banjir-besar-sumatra

 

Dataloka.Id. (12 Maret 2025). Luas deforestasi Sumatra 2024 capai 78.030,6 Ha, Riau tertinggi. https://dataloka.id/humaniora/5686/luas-deforestasi-sumatra-2024-capai-78-0306-ha-riau-tertinggi/#google_vignette

 

Tempo.co. (30 November 2025). Prabowo Minta Lahan Sawit Diperluas: Jangan Takut Deforestasi. https://www.tempo.co/ekonomi/prabowo-minta-lahan-sawit-diperluas-jangan-takut-deforestasi-1188146

 

McCalmont, J., Kho, L. K., Teh, Y. A., Lewis, K., Chocholek, M., Rumpang, E., & Hill, T. (2021). Short- and long-term carbon emissions from oil palm plantations converted from logged tropical peat swamp forest. Global Change Biology, 27(10), 2253–2267. https://doi.org/10.1111/gcb.15544 

 

Liu, J., Hu, Y., Feng, Z., & Xiao, C. (2025). A review of land use and land cover in mainland Southeast Asia over three decades (1990–2023). Land, 14(4), 828. https://doi.org/10.3390/land14040828 

 

Jaya, A., Salampak, Rumbang, N., Saptono, M., Widiastuti, L., Rahayuningsih, S. E. A., & Winerungan, S. (2023). Effects of forest conversion to oil palm plantation on soil erosion and surface runoff. Journal of Experimental Biology and Agricultural Sciences, 11(4), 767–779. http://dx.doi.org/10.18006/2023.11(4).767.779 

 

Tempo.co. (1 Desember 2025). Sederet Alasan Pemerintah Belum Tetapkan Banjir Sumatera Sebagai Bencana Nasional. https://www.tempo.co/politik/sederet-alasan-pemerintah-belum-tetapkan-banjir-sumatera-sebagai-bencana-nasional-2094640

 

Kompas.com. (3 Desember 2025). Data Terkini BNPB Korban Bencana Sumatra: 744 Orang Meninggal dan 551 Jiwa Masih Hilang. https://www.kompas.com/sumatera-barat/read/2025/12/03/055000788/data-terkini-bnpb-korban-bencana-sumatra--744-orang-meninggal-dan#:~:text=Pusdatin%20Badan%20Nasional%20Penanggulangan%20Bencana%20%28BNPB%29%20melaporkan%20bahwa,744%20jiwa%2C%20sementara%20551%20orang%20masih%20dinyatakan%20hilang

 

Kompas.com. (28 November 2025). Prabowo Singgung Pembabatan Hutan Saat Bicara Banjir dan Longsor di Aceh hingga Sumbar. https://nasional.kompas.com/read/2025/11/28/17404661/prabowo-singgung-pembabatan-hutan-saat-bicara-banjir-dan-longsor-di-aceh

 

Wisner, B., Blaikie, P., Cannon, T., & Davis, I. (2004). At risk: Natural hazards, people's vulnerability and disasters (2nd ed.). Routledge. 

 

Penulis: MOS

Desainer: VIO