Kegiatan kepemimpinan mahasiswa baru selalu dilanggengkan dengan kedok lawas, yaitu melatih mahasiswa baru untuk lebih disiplin dan peka terhadap sekitarnya, seringkali kegiatan ini dijadikan wadah penetrasi untuk menumpahkan dominasi serta pertunjukan kuasa dari para senior angkatan sebelum mereka. Kegiatan ini merupakan panggung tepat untuk mereka yang tergesa-gesa ingin roleplay jadi penguasa dengan praktik premanisme di dalamnya. Hal ini bisa menjadi indikator sejauh mana masyarakat kita candu akan budaya premanisme dan mengapa hal yang berbau kekerasan sangat lekat dengan masyarakat kita, bahkan dalam kultur pendidikan?
Beberapa pertanyaan menguap di kepala saya saat melihat para senior melakoni perannya bak aparatus moralitas pemegang pakem kedisiplinan, bagaimana lakon-lakon ini bisa menghegemoni di lingkungan akademik? Sebetulnya, doktrinasi dan pendekatan budaya macam apa yang telah disuntikkan pada kepala-kepala mereka? Sedari kapan hal itu telah berlangsung? Dengan ironi yang juga memperkeruh yaitu bagaimana keseluruhan populasi kampus seakan-akan tunduk pada fenomena ini.
Dalam misi ekspansi kapitalisme, tindak kekerasan dilakukan sebagai sebuah proses untuk menjerat dan membangun sebuah ketergantungan yang secara sengaja dilakukan oleh kelas dominan, tindak kekerasan tersebut berlangsung pada tiga aras: negara, struktur sosial, dan personal atau komunitas. Dalam masing-masing aras, tindak kekerasan ini perilaku kekerasan dilakukan oleh aktor yang berbeda, dengan dimensi, medium, dan ruang lingkup yang berbeda. Pada aras negara, kekerasan dilakukan oleh aparat negara dan bersifat komprehensif, artinya bisa meliputi segala segi hidup manusia. Kekerasan itu juga bisa terjadi pada tingkat struktur sosial dan komunitas, tidak terkecuali ruang pendidikan termasuk kampus kita sendiri.
Perlu dipahami bahwa kekerasan yang berlangsung bukanlah sebuah perlakuan fisik kasar melukai seseorang secara terang-terangan, tetapi suatu praktik atau dominasi untuk mendirikan tiang “ketundukan” dan harus disembah oleh para mahasiswa baru. Hal tersebut dapat tercapai melalui manipulasi dan kontrol. Para senior paham betul dalam memainkan alat-alat tersebut untuk menjalankan modus kekerasannya; pembentukan aturan ketat, adanya komisi kedisiplinan, bullying berkedok ketegasan senior, kekerasan verbal, sampai dengan adanya aturan yang melampaui ranah otoritas individu lain adalah contoh produk kekuasaan untuk melanggengkan kekerasan yang telah mereka rancang. Michael Foucault, seorang filsuf pelopor strukturalisme, berbicara bahwa kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan, dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat menciptakan kekuasaan. Kekhasan konsep kekuasaan dari Foucault adalah bahwa kekuasaan lebih dilaksanakan daripada dimiliki, tidak melekat pada pelaku atau kepentingan, tetapi menyatu dalam berbagai bentuk praktik. Dalam relasi antara mahasiswa baru dan senior, pada konteks kekerasan berlangsung saat kegiatan kepemimpinan mahasiswa baru, senior selaku kelas dominan sudah lebih dahulu menjalankan/melaksanakan kekuasaannya (power) karena ia memiliki kepemilikan dan pengakuan atas status sosialnya yang cukup mengintimidasi yaitu sebagai “senior” dalam lingkungan kampus, disimbolkan sebagai sosok terhormat dan heroik, sementara mahasiswa baru selaku objek adalah disimbolkan sebagai sosok rakyat sipil dengan kekuasaan minim (powerless). Seperti disampaikan oleh Foucault bahwa relasi-relasi ini selalu timpang, terdapat hal kontras antara relasi mahasiswa lama dengan mahasiswa baru yang celakanya para pelaku memanfaatkan celah ketimpangan ini sebagai penyalahgunaan kuasa.
“Siapa suruh kamu duduk, memangnya sudah saya izinkan?”
“Lambat sekali kalian jalannya, dipercepat!”
“Anda menangis? Lemah sekali!”
“Siapa yang suruh anda pakai make-up!, anda kesini dan mau mengikuti ajang kecantikan?”
Begitulah hal-hal remeh yang menjadi potensi amukan para senior terhadap mahasiswa baru, disusul respon rektor feodal menanggapinya dengan simplifikasi;
“Ya, tidak apa-apa ya kalau kakak-kakaknya sedikit galak itu demi kebaikan kalian agar lebih disiplin kedepannya.”
Saya yakin betul, dengan menyaksikan hal tersebut para mahasiswa baru pasti telah bertempur dalam pikirannya. Tetapi, proses kemarahan tersebut dijegal dengan adanya validasi dari orang yang lebih ditinggikan kedudukannya dalam lingkungan tersebut, jelas ini sebuah kekalahan telak. Kekerasan seperti ini tidak meninggalkan jejak lebam pada tubuh seseorang, tetapi ia meninggalkan sekat-sekat moralitas palsu yang membudaya atas nama kesantunan dan kepatuhan, tentunya ini menganggu proses katalisasi potensi seseorang mahasiswa baru. Praktik ini menjadi sebuah lelucon karena para panitia dan senior itu sendirilah yang meruntuhkan tujuan dari adanya kegiatan kepemimpinan mahasiswa baru ini yang seharusnya dapat menjadi ajang bonding dan meningkatkan kemampuan interpersonal para mahasiswa baru.
Menurut Pierre Bourdieu, kekerasan bisa terjadi melalui persetujuan (symbolic violence) yang artinya kekerasan dapat didistribusikan secara halus dalam bentuk paling dekat dengan setiap individu, seperti bahasa, budaya, dan norma-norma sosial. Dalam operasinya, kekerasan simbolik dengan pendekatannya yang lembut seringkali tidak diperhatikan oleh penerima kekerasan itu sendiri, hal ini merupakan bentuk bahwa kekuasaan bisa terjadi atas persetujuan secara tidak sadar. Praktik inilah yang diadaptasi para senior kampus dalam melanggengkan kekuasaannya dengan balut kekerasan. Dalam kekerasan simbolik, kelas dominan mempunyai kendali atas mendefinisikan apa yang dianggap sebagai pengetahuan, budaya, dan juga menyusun suatu bentuk perilaku yang dianggap sah.
Singkatnya, kelas dominan memiliki kemampuan untuk mendeklarasi suatu kondisi normal yang baru. Kelas yang kalah muatan dominasinya secara sukarela menjadi penerima kekerasan itu sendiri, mereka berpikir bahwa apa yang berlangsung adalah bentuk alamiah dan bukan merupakan konstruksi sosial (Habitus). Secara tanpa sadar mereka telah berkontribusi kepada ketidaksetaraan yang diwujudkan oleh kelas dominan dan menganggap kekerasan tersebut merupakan suatu kewajaran. Inilah yang dialami mahasiswa baru sebagai objek penyaluran kekerasan oleh para seniornya. Lebih parah dari itu para mahasiswa baru banyak menganggap bahwa perilaku-perilaku tersebut merupakan sebuah kebutuhan yang memang seharusnya mereka dapatkan untuk mendisiplinkan diri mereka. Bahkan tumbuh hasrat bahwa praktik tersebut merupakan suatu hal yang harus diwariskan kepada mahasiswa baru lainnya setelah mereka. Ironi ini membuktikan bahwa praktik kekerasan telah secara halus membangun kontrak persetujuan penerimanya di bawah alam sadar mereka.
Biasanya, para senior akan berteriak dan bertindak arogan dengan pernyataan bahwa mereka adalah aparatus kedisiplinan. Sebetulnya ini sebuah rantai budaya, melekat pada setiap lapisan masyarakat kita, yang saya kritisi adalah betapa lekatnya budaya tersebut telah menyetubuhi setiap lapisan masyarakat sampai menjamah ruang pendidikan kita. Kegiatan ini bukan hanya dirancang oleh para senior kampus, kegiatan ini tentunya harus melalui beberapa validasi dari birokrasi kampus. Mirisnya, semua elemen kampus tidak merasakan terdapat hawa usang dari kebudayaan kekerasan yang terjadi pada kegiatan kepemimpinan mahasiswa barunya setiap tahun. Keberpihakan tersebut menjadi sebuah indikasi bahwa setiap elemen dalam kampus telah sangat akrab pada praktik tersebut, mereka berpikir bahwa kekerasan terselubung itu adalah suatu hal normal yang “semestinya”, “wajar” dan “mendisiplinkan”.
Doktrinasi kebudayaan telah terjadi dalam hal ini, kampus menjadi lengan perpanjangan negara dalam melakukan sebuah kekerasan untuk kekuasaan atas nama ideologi dan tujuan nasional, intrik ini merupakan warisan orde baru yang mengelakar pada badan pendidikan kita. Marwah kampus dilemahkan sebagai alat yang “ditundukkan” oleh para penguasa. Keterikatan ini tidak lepas dari pengaruh orde baru dalam kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) yang bertujuan untuk melakukan depolitisasi terhadap aktivitas mahasiswa. Kebijakan NKK dan BKK mulai diterapkan pada 19 April 1978 serta tahun berikutnya sebagai respons terhadap meningkatnya gerakan mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan Pemerintah Orde Baru. Pengaruh kebijakan ini menyublim pada tingkah laku kemahasiswaan dan juga ruang kampus, karena istilah “normalisasi” dalam kebijakan NKK/BKK merujuk pada upaya pemerintah untuk mengembalikan kampus ke fungsi utamanya sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan, bebas dari pengaruh politik praktis. Alhasil, setiap kegiatan kemahasiswaan dalam praktiknya tidak bisa lepas dari wacana yang dibawa oleh orde baru. Karakteristik orde baru ala militerisme menempel pada setiap gaya berperilaku mahasiswa, tidak terkecuali kegiatan kepemimpinan mahasiswa baru itu sendiri. Dalam pengaruh ini, kegiatan kepemimpinan mahasiswa baru menggunakan gaya komandoisme kental, yang diharapkan menghasilkan kepatuhan, keteraturan, dan kedisiplinan fana. Apakah hal-hal tersebut merupakan hal yang benar-benar dibutuhkan mahasiswa baru dalam secara maksimal mengaktualisasi potensi dirinya sendiri? Pengaruh suatu rezim yang melekat ini merupakan benang merah bahwa negara mencoba menjangkau koridor-koridor masyarakatnya dari lini paling krusial, yaitu ruang pendidikan. Kekerasan yang terkemas rapi dalam pengaruh kebudayaan rezim merupakan suatu upaya negara mencoba untuk mencetak dan mengkurasi individu mahasiswa sesuai dengan kebutuhannya, dan kita, mahasiswa, buruh pendidikan seringkali secara tak langsung menjadi perpanjangan tangannya.
“Education workers-the teachers-were trained in the spirit of bourgeois prejudices and habits, in a spirit hostile to the proletariat, with which they have had no ties whatever.”-Lenin.
Penulis: PercikSuar
Desainer: Laila Nakesya Siswoyo